Matahari terus-menerus terbit dari arah timur, belum pernah terjadi perputaran haluan dari munculnnya sang surya tersebut. Namun, tentu berbeda dengan manusia. Perkembangan zaman menuntut manusia untuk selalu menciptakan gagasan dan cara pandang baru. Sekuat apapun kita bertahan, kita akan dipaksa melaju kepada situasi itu, bahwa yang terbarulah yang lebih menarik.
Seiring berjalannya waktu, setiap tahun tentu terjadi perbedaan kulturasi budaya. Al-Qur’an saja turun di negara yang berbeda, di zaman yang berbeda serta budaya yang berbeda dengan Indonesia. Munculnya para mufassir membantu kita untuk memahami kontekstualisasi dari Al-Qur’an. sudah pasti sangat sulit dipahami dan sulit diamalkan di Indonesia, jika Al-Quran pemahamannya secara tekstual. Begitu pun dengan pemikiran manusia di masa lalu.
Baca Juga: Monadologi G.W. Leibniz: Rasionalisasi Entitas Melalui Ayat Kauniyah |
Kita tak perlu mengadakan sidang paripurna untuk menyepakati bahwa pemikiran manusia di zaman dulu terdapat beberapa perbedaan dengan manusia di zaman sekarang. Teori-teori yang sudah ada haruslah dipahami secara kontektual sehingga manusia zaman sekarang dapat menemukan benang merahnya untuk diterapkan. Tak jarang juga dari teori-teori yang sudah ada akan melahirkan gagasan dan cara pandang baru.
Gagasan dan cara pandang baru ini juga sangat mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan. Teori yang sudah ada akan terus menerus dikombinasikan dengan sedemikian rupa sesuai kemajuan peradaban. Seakan tidak pernah puas, manusia terus-menerus memproduksi pengetahuan baru. Hal ini terbilang sangat wajar. Mengingat manusia adalah makhluk multidimensi yang memang tidak pernah menyimpan kata selesai dalam kamusnya.
Sama halnya dengan alasan kelahiran post-modernisme, manusia tidak puas dengan pandangan yang begitu populer sebelumnya yaitu modernisme. Ketidaksempurnaan modernisme terhadap perkembangan zaman, membuat pandangan ini tersingkir oleh sesuatu yang dianggap lebih sejalan dengan kemajuan berpikir. Ketidaksempurnaan ini menjadi sempurna ketika modernisme gagal mengangkat martabat manusia.
Post-modernisme adalah pandangan yang menggantikan zaman modernisme. Tapi, masih sulit sekali bagi saya untuk menyimpulkan apa sebenarnya definisi dari post-modernisme. Namun, secara umum kita dapat mengambil keputusan bahwa arti dari post-modernisme adalah sesuatu atau gerakan yang terjadi di akhir abad ke-20.
Meski sulit untuk didefinisikan. Kita bisa mengacu kepada pendapatnya Jean-Francois. Dia adalah orang yang meperkenalkan post-modernisme dalam bidang filsafat. Menurutnya, post-modernisme diartikan sebagai segala kritik terhadap pengetahuan universal, atas tradisi metafisik, fondasional maupun modernisme.
Jika kita melihat kenangan-kenangan yang ada di masa lalu, tentu kita akan menemukan bagaimana takjubnya manusia kepada alam semesta. Berangkat dari memikirkan bagaimana terbentuknya alam semesta ini tak terlepas dari doktrin dewa-dewi yang menguasai fenomena alam. Bentuk pemikiran seperti ini bisa kita temukan dengan cara berbalik badan dengan membaca buku-buku sejarah tentunya.
Ketika zaman sudah tak pantas lagi untuk mempertanyakan bagaimana alam ini terbentuk dan menganggap alam adalah misteri besar, manusia lebih memilih memahami alam dan mempelajarinya lewat ilmu sains. Di abad ke 18 manusia sudah meninggalkan paham-paham mitologinya dan lebih memilih membuktikan dengan fakta empiris. Mulai dari sinilah setiap fenomena alam selalu ada penjelasan ilmiahnya.
Ketika zaman lebih maju lagi terkadang perbedaan budaya, ideologi, argumen, atau apapun bisa memicu konflik. Sangat jelas terlihat di abad ke-20 bahwa perang dunia terjadi dua kali dalam waktu yang terbilang singkat. Ini juga merupakan validasi atas ketidakmampuan modernisme menjawab alur kehidupan. Post-modernisme di sini hadir karena rasa bosan manusia terhadap paham modernisme
Baca Juga: Post-Modernism: Krusialitas Falsifikasi Karl Popper |
Angela Mcrobbie dalam bukunya “Post-Modernisme dan Popular Culture” mengatakan bahwa post-modernisme memungkinkan apa yang menjadi masalah sosiologis muncul kembali dalam agenda intelektual. Hal ini secara implisit menantang kesempitan dari visi strukturalis.
Ini juga kembali membuktikan bagaimana manusia-manusia lebih mementingkan sains-sains dan sama sekali tidak memberikan ruang untuk hal-hal yang bersifat subyek. Dengan fenomena-fenomena ini membuat saya semakin bingung, apa sebenarnya definisi dari post-modernisme?
Perbedaan pendapat dan keyakinan tidak akan pernah dapat kita hapuskan sampai kapanpun. Maka yang harus hadir untuk menjawab semua itu adalah cara pandang yang bijak dan tersusun agar tidak langsung memvonis salah terhadap sesuatu yang berbeda dengan kita. Hal ini bisa kita temukan di post-modernisme
Meski masih harus bertarung dengan kebingungan, saya berani berargumen bahwa kehadiran post-modernisme ini dapat memberikan angin segar atas aneka ragam peristiwa yang terjadi. Kita tak dapat menyangkal bahwa setiap sesuatu tentu mempunyai kekurangan. Namun, post-medernisme ini akan membuka pikiran kita atas kebhinekaan dan toleransi, sehingga mampu meminimalisir peperangan yang terjadi akibat perbedaan pendapat.
Keberhasilan post-modernisme ini dapat diukur melalui sikap manusia yang saling menghargai. Memahami tentang keanekaragaman bahwa setiap individu mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kemajemukan yang terjadi tentu akan menambah warna dari pelangi kehidupan sehingga hal tersebut tidak perlu untuk dipermasalahkan.
Jika kemudian hari kita masih menemukan perpecahan, maka yang harus dilakukan adalah evaluasi secara masif. Ada dua hal yang bisa dijadikan kambing hitam dari permasalahan ini. entah itu sistemnya atau pribadi manusianya.
Post-modernisme juga memiliki beberapa kelemahan. Jika suatu saat dianggap tidak mampu menjawab sentuhan sejarah, maka sewaktu-waktu bisa diganti oleh terobosan yang lebih komprehensif. Namun, bagaimana jika yang bermasalah adalah pribadi manusianya? Tentu kita akan kesulitan mencarikan vaksin atas penyakit itu. Terlebih kita dipicu oleh nafsu dan sifat yang haus akan kuasa.
Sumber Refrensi:
McRobbie, Angela. 1994. Postmodernisme: Menjawab Kemajuan Peradaban. London: Routledge
Setiawan, Johan. 2018.Pemikiran Post-Modernisme dan Pandangannya Terhadap Ilmu.
Editor: Ainu Rizqi
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
0 Comments