Sudah sewajarnya manusia meminta dan berdoa kepada Tuhan, di samping sebagai perintah dari-Nya, memang manusia tiada memiliki kekuatan apapun selain bersandar kepada-Nya. Tuhan selalu bersedia mengabulkan doa dan harapan, asal dilandasi dengan keimanan yang kuat (QS. al-Ghafir: 60). Dengan kata lain jika saja doa yang kita sematkan berhari-hari bahkan berbulan-bulan, namun belum juga terkabul maka ada indikasi bahwa keimanan kita sedang dalam kondisi yang belum maksimal.
Normatif memang, bahkan tidak bisa dipukul rata perihal sikap dan keimanan dalam berdoa. Yang jelas, ditujukan kemana doa kita? itu saja. Jika setiap Minggu ke gereja, atau setiap hari Jumat ke masjid, bukan menjadi satu masalah atau kiat, karena yang terpenting adalah sikap kita dalam mengerjakan doa itu bagaimana.
Baca juga: Doa yang Didengar Allah
Sederhananya jika kita ingin rezeki (ingat ini bukan hanya berbentuk materi) yang melimpah-ruah maka caranya bukan menyimpan sebanyak-banyaknya, melainkan memberi sebanyak-banyaknya. Kondisi ini mirip dengan konsep ‘karma’ dalam tradisi Budha, yakni situasi di mana kita juga akan mengalami hal yang telah kita lakukan kepada orang lain. Dalam hal ini Allah, melalui al-Quran, menegaskan bahwa jika kamu (manusia) bersyukur (salah satunya dengan berbagi kepada siapapun di sekitar kita) maka Allah akan menambah nikmat tersebut.
Sayangnya, tidak sedikit yang menyangka bahwa rezeki itu berbentuk materi. Sehingga akan ada rasa kecewa ketika permintaan kita tentang rezeki yang dimaksud adalah uang, namun Tuhan belum juga mewujudkannya. Sehingga berbagai sikap kekecewaan kita lontarkan bahkan kita umpatkan kepada-Nya.
Jika di Prancis pra-Sosialisme lebih mengedepankan estetik, ketimbang etik. Maka hari ini yang dibutuhkan justru etika, karena tanpa disadari ketika etika yang menjadi dasar maka estetika akan ikut dengan sendirinya.
Baca juga: Nasehat Syekh Ibnu Atha’illah as-Sakandari tentang Kenyataan, Keinginan, dan Doa
Agaknya sering sekali lewat di telinga kita ungkapan “Wajar, jika manusia cenderung mengeluh.” Tetapi ada pertanyaan sederhana untuk menyangkal ekspresi tersebut: mengapa manusia cenderung santai dan kadang merasa tidak menggebu-gebu dalam menyatakan ketertarikannya kepada lawan jenis, atau jika berkaitan dengan kepentingan politisnya? Jawabannya, karena tidak jarang manusia sering salah tingkah ketika berhadapan dengan kondisi seksualitas, atau menumpuk rasa hormat di dalam dirinya. Lantas apa yang dieluhkan?
Ada satu cerita yang mungkin semua orang pernah mendengarnya, bahwa konon Tuhan mengabulkan doa sang nabi Musa yang berharap bahwa Firaun akan celaka jika belum melihat kekuasaanNya. Namun doa ini baru dikabulkan oleh Tuhan setelah 40 tahun proses berdoanya Nabi Musa. Lantas, apakah Nabi Musa hanya menunggu selama 40 tahun? Agaknya tidak, ia justru berusaha untuk menunjukkan kebesaran Tuhan sembari menunggu keadilan Tuhan untuk Firaun.
Dalam hal ini, interpretasi saya adalah Tuhan tidak ingin manusia atau makhluknya suka mengeluh, Ia ingin manusia menjadi mandiri, dan Ia akan memfasilitasi berbagai kemandirian kita. Sehingga bukan perihal apa yang kita minta kepada Tuhan, tetapi bagaimana kita menyikapi permintaan kita kepada-Nya.
Oke lah jika ketika kita mengumpat sembarangan dianggap sebuah bentuk kemesraan, tetapi apakah hal itu benar-banar mesra? Tidakkah di dalam hati kita muncul berbagai gejolak? Saya tidak tahu sih bagaimana hati panjenengan semua, pun sebaliknya.
Baca juga: Sudah Sopankah Doa Anda?
Tetapi hal terpenting yang ingin saya tekankan adalah bagaimana etika ketika dalam berdoa. Bukan semata-mata hanya mengikuti intruksi dogma agama, melainkan ada satu sikap kritis kepada diri kita, agar diri kita mampu menampung kemesraan Tuhan. Karena untuk menyatakan cinta kepada-Nya, pembuktiannya adalah diri kita. Dengan mengenal diri kita lebih baik, maka kita akan mengenal Tuhan dengan baik pula.
Rumah Kali Putat, 2019
0 Comments