Sebagai makhluk sosial dan budaya, manusia dituntut untuk selalu belajar kapan dan di manapun. Karena pengajaran dan pembelajaran itu menentukan kelangsungan kebudayaan dan kehidupan manusia itu sendiri.
Dalam perspektif agama, Islam memberikan perhatian yang jelas tentang pendidikan, bahkan seorang muslim dituntut untuk menjadi seorang yang terdidik. Bahkan menuntut ilmu adalah suatu kewajiban bagi seorang muslim baik laki-laki maupun perempuan.
Dalam Islam, seorang pendidik dan yang dididik mendapatkan tempat yang istimewa di hadapan Allah SWT dan mendapatkan penghormatan khusus di mata masyarakat secara umum.
Kini, seiring perubahan zaman dan pergantian generasi dari tahun ke tahun, pendidikan di negara kita telah mengalami kemajuan dari aspek pembangunan yang tentunya dapat menyokong tujuan dari pendidikan itu, yaitu memanusiakan manusia.
Tetapi apakah realita yang terjadi sekarang sesuai dengan tujuan pendidikan yang tertera di dalam UUD 1945?
Kenyataannya, pembangunan infrastruktur untuk sekolah-sekolah dan perguruan tinggi memang berkembang pesat, tapi kita tidak bisa menutup mata bahwa pembangunan moral mengalami degradasi. Hal ini ditandai dengan semakin bobroknya akhlak siswa. Mereka seolah tak mengenal lagi sopan santun dan tata krama, bahkan terhadap guru-guru mereka.
Tidak hanya sampai di situ, betapa banyak orang-orang yang telah bersekolah tinggi tetapi sikap dan prilakunya tidak mencerminkan sebagai seorang yang berpendidikan. Dan masih banyak lagi remaja-remaja masa kini yang berprilaku seperti tidak mendapatkan pendidikan yang baik dari guru-guru mereka.
Dilema Profesi Guru
Hakikatnya, seorang guru menginginkan yang terbaik untuk muridnya, menginginkan siswa-siswinya berhasil, tidak hanya berhasil secara akademis tetapi berhasil juga di dalam membentuk akhlak dan prilaku siswa.
Semestinya pula, semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin baik budi pekertinya. Tetapi faktanya tidak seperti demikian, keikhlasan, kebaikan dan ketulusan seorang guru kadang kala menjadi bumerang bagi guru. Kasih sayang guru kadang dibalas dengan jeruji besi. Bahkan, perhatian guru berakhir tragis di tangan siwanya. Inilah potret pendidikan kita sekarang.
Di lain sisi, guru yang mempunyai tanggung jawab mencerdaskan, mendidik, dan mengayomi agar siswanya menjadi manusia seutuhnya, tidak berbanding lurus dengan gaji yang mereka peroleh. Ditambah lagi peraturan pemerintah yang terlalu memanjakan para siswa, sehingga membuat guru tidak bisa berbuat apa-apa.
Mereka diancam dengan pasal-pasal yang tidak masuk akal, berapa banyak para guru yang telah masuk ke dalam bui justru karena menjalankan tanggung jawabnya? Efeknya, terjadi pembiaran tingkah laku siswa, banyak guru tidak terlalu intens lagi terhadap prilaku siswa-siswinya, bahkan dunia pendidikan sekarang cenderung hanya transfer ilmu saja.
Maka, tidak heran dengan sistem seperti yang sekarang ini banyak orang yang terpelajar, tapi hanya sedikit yang terdidik. Mempunyai ilmu pengetahuan yang tinggi namun tidak memiliki moral dan akhlak yang baik. Jika sudah demikian, siapa yang harus bertanggung jawab dengan keadaan yang seperti ini? Para guru, atau sistem pendidikan di negara kita?
Bagi saya, sebagai salah seorang pengajar, pendidikan akhlak lebih baik daripada hanya transfer pengetahuan saja, karena yang diperhatikan dalam dunia pendidikan bukan hanya aspek kognitifnya (intelektual) saja, tapi juga harus mencakup aspek afektif (akhlak).
Dalam Islam, hal ini sejalan dengan alasan diutusnya Nabi Muhammad SAW ke permukaan bumi, sebagaimana hadis riwayat Al-Bayhaqi, “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak”.
Jadi, menurut saya, jika sekarang para guru bisa terancam masuk jeruji dunia hanya karena menjalankan tugasnya sebagai pendidik, maka hal itu lebih baik daripada masuk dalam jeruji akhirat karena tidak menjalankan tanggung jawabnya.
0 Comments