Hanya selisih dua tahun setelah Soekarno membacakan teks ploklamasi kemerdekaan, seorang mahasiswa cerdas menulis semacam pamflet yang kelak menjadi sangat masyhur, “Himpunan mahasiswa Islam”.
Tentu maksudnya bukan pamflet biasa, tetapi rumah ide yang sangat megah; yang kelak diandaikan bagi siapa-siapa yang pernah memasukinya, ketika keluar dari rumah itu akan menjadi seorang pendekar, sang jawara intelektual yang siap bertempur di medan kehidupan.
Kalau Soekarno terkenal dengan diktumnya, “Berikan saya sepuluh pemuda maka saya akan goncang dunia”, maka dengan kesadaran penuh bahwa dirinya bukanlah Soekarno, seorang mahasiswa tadi dengan nama lengkap Lafran Pane, hanya butuh tambahan frase “plus empat pemuda” untuk mengguncang dunia.
Ya, hanya dengan 14 teman-temannya, seorang Lafran Pane, mahasiswa STI (Sekolah Tinggi Islam), sekarang UII (Universitas Islam Indonesia) berkumpul memanfaatkan ruang kelas sederhana untuk membicarakan rumah ide; rumah pikiran; rumah sebagai tempat untuk berjuang bersama; atau apapun namanya, yang jelas rumah tersebut dimaksudkan sebagai katub pengaman bagi bangsa dan negara.
Jakarta adalah ibu kota di mana kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. HMI juga diproklamasikan di Ibu Kota Negara, tentu bukan Jakarta, tetapi di Ibu Kota Yogyakarta pada tanggal 05 Februari 1947.
Dalam perjalanan masa, HMI benar-benar tumbuh sebagai organisasi yang tak kepalang tanggung besarnya; tidak saja sebagai tempat di mana pikiran diolah tetapi juga sebagai tumpuan masyarakat Indonesia untuk memperbaiki nasib bangsa.
Tetapi seperti kata pepatah, pohon yang besar dan menjulang tinggi ke langit harus siap dengan terpaan angin topan sewaktu-waktu.
Baca juga: Aktivis Milenial, Corona dan Kampus Abad 21 |
Demikian juga dengan HMI tidak luput dari terpaan angin topan dan badai yang datang secara tiba-tiba. Ada gangguan PKI yang terus-menerus mendesak Presiden Soekarno untuk mengeluarkan semacam SKB pelarangan HMI.
Dengan pongah dan sombongnya seorang DN Aidit memprovokasi massa: “Kalau kalian tidak bisa membubarkan HMI, lebih baik pakai ‘sarung’ aja”. Keren juga pernyataan Aidit ini dari perspektif analogi; bahwa sarung diasosiasikan sebagai jiwa yang penakut, lemah dan pecundang.
Tetapi bagi saya, Aidit lupa sedang berhadapan dengan siapa. Bukan kader HMI namanya kalau takut pada gertakan sambel semacam itu. Dengan lantang kader-kader HMI menjawab seruan Ketua PKI tersebut: “Langkahi dulu mayatku sebelum membubarkan HMI”.
Ketegangan-ketengan ini tidak untuk mengulang-ulang luka lama, tetapi itu adalah memoar sejarah yang harus diucapkan apa adanya; supaya kader-kader HMI mengerti bagaimana pergumulan sejarah lama yang pelik, namun siap menghadapinya.
Di situlah HMI bertahan di tengah-tengah terpaan rintangan badai dan mampu menyingkirkan dengan tangannya sendiri.
Sejak lama sangat masyhur bahwa penghuni rumah HMI adalah orang-orang yang senang dengan pergulatan ide; senang mempertentangkan gagasan satu antar yang lain; dan tidak pernah alergi dengan perbedaan pikiran.
Memang, HMI didesain untuk mengakomodasi semua pikiran, dan tidak untuk menyatukan gelombang pikiran yang berbeda-beda. Tidak boleh ada satu doktrin kebenaran di dalam tubuh HMI, semua relatif dan bisa dipertanyakan ulang.
Karena itu, anda akan menemukan kader-kadernya di manapun berada; tidak pernah seragam warna pikirannya, tidak pernah seragam afiliasi politiknya, bahkan tidak pernah seragam aliran ideologinya yang sekarang sangat sensitif menjadi mazhab di republik ini.
Dulu, seorang kader HMI Yogyakarta, Ahmad Wahib, selalu bersitegang dengan Nurcholis Madjid dkk dalam memandang persepsi kemajuan perdaban; Wahib menuduh Cak Nur sebagai kader yang kolot dalam mengajukan tesis kemajuan zaman –tentu sebelum Cak Nur berkelana ke negri Syam-.
Karena itu, Ahmad Wahib mengusulkan perombakan nama HMI dari Himpunan mahasiswa Islam menjadi “Himpunan mahasiswa Indonesia”. Bagi Wahib inilah yang paling relevan dan tidak terkesan golongan-sentris.
Meski pada akhirnya, Wahib memilih untuk keluar dari HMI karena tidak puas. Betapapun ketidak-puasan itu, Wahid dan Cak Nur adalah salah dua kader terbaik di antara kader-kader terbaik lainnya.
Perjalanan zaman berlangsung cepat sampai pada satu masa di mana tampuk PB HMI berada di tangan seorang pendekar korban Pesawat Sriwijawa, Al-Marhum Mulyadi P. Tamsir (semoga Allah membalas jasa baiknya).
Dalam sebuah acara talk show di salah satu stasiun Televisi mainstrem, seorang pejabat tinggi negara, Saut Situmorang, menyinggung perasaan kader-kader HMI: “Saya selalu bilang, kalau di HMI dia minimal ikut LK 1. Lulus itu dia anak-anak mahasiswa, pintar. Tetapi, begitu jadi menjabat, dia jadi jahat, curang”.
Sontak saja seluruh kader-kader HMI marah. Karena itu, Ketum Mulyadi P. Tamsir atas nama PB HMI mengintruksikan seluruh kader se Indonesia turun ke jalan untuk menuntut pengadilan atas pencemaran nama baik HMI.
Saya yang hanya kader abal-abal juga ikutan turun ke jalan di depan Gedung Pemda Kota Malang. Hanya sekadar pelengkap barisan untuk saling dorong-dorongan dengan para polisi, sampai-sampai sandal mewah saya dengan merk SWALLOW terputus, mungkin hanya saya yang ‘pakek’ sendal jepit di antara peserta aksi.
Meski kelanjutan kasus Saut Situmorang atas pernyataannnya yang kontroversial itu tidak jelas sampai hari ini.
Bagi saya secara pribadi, pernyataan Saut Situmorang tidak harus selalu dipandang sebagai pelecehan dan pencemaran nama baik, tetapi sebagai kritik terhadap HMI.
Sayangnya, Saut Situmorang tidak mengerti politik bahasa; mana premis yang mesti diucapkan terlebih dahulu dan mana konklusi.
Sebagai pejabat publik, seharusnya dia mengucapkan kritik dengan elegan, misalnya begini: Tidak ada yang bisa membantah bahwa ada segelintir kader HMI yang terlibat kasus-kasus korupsi, kendati demikian, saya pun tidak bisa memungkiri ada jauh lebih banyak kader-kader HMI lain yang terlibat dalam kerja-kerja kemanusian;
Ada yang jadi guru ngaji di pedalaman sana bertahun-tahun tanpa di gaji negara; Ada kader HMI berbaris rapi di depan loket antrian, tidak untuk antri sembako tetapi menunggu kapan sidang pengadilan atas perampasan tanah petani dimulai; dan begitu seterusnya.
Kritik dengan frase demikian mungkin tidak akan menimbulkan polemik panjang seperti pada tahun-tahun itu. Saya tidak alergi dengan kritik: yang saya persoalkan bukan bentuk kritiknya, tetapi si pengucap kritik sebagai pejabat publik, karena dia masih terikat dengan kode etik publik.
Kecuali kritik itu datang dari rakyat biasa; se vulgar apapun kritik terhadap HMI, kader-kader HMI menurut saya seharusnya tidak boleh marah, apalagi sampai mempersoalkannya secara hukum.
Tetapi hari ini menjelang peringatan hari dimana HMI bertunas 05 Februari 1947 _ 05 Februari 2021, kalau pun diminta untuk memilih antara membenci Saut Situmorang atau berterima kasih, saya akan memilih poin yang kedua.
Di situlah tumbuhnya momen refleksi yang paling dalam untuk kader-kader HMI merenung; bahwa kader-kader HMI di luar sana sudah banyak yang lupa tentang tujuan HMI yang agung, yaitu mempertahankan kemerdekaan serta meninggikan harkat martabat manusia dan sekaligus mensyiarkan Islam yang Rahmatallil ‘alamin.
Kemudian diperas oleh Nurcholis Madjid dkk menjadi “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi, yang bernafaskan islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Alllah SWT”;
Bahwa kader HMI kehilangan kompas intelektualnya yang dulu menjadi tradisi rutin di dalam tubuh HMI; bahwa kader HMI faktanya ada yang terlibat kasus korupsi; dan sejumlah cacat lainnya, yang kalau menjadi menu perbincangan tidak akan pernah ada habis-habisnya.
Meski demikian, betapapun banyaknya cacat yang menempel dalam tubuh HMI, saya meyakini para kader-kadernya; baik yang pernah berproses lama maupun yang hanya numpang lewat di LK I, pasti tidak akan menyesal pernah berkenalan dengan HMI. Saya hanya ingin memastikannya begitu.
HMI bagi sebagian kader-kadernya telah menjadi darah dan daging, menyatu menggerakkan otak dan fisiknya bekerja secara simultan, menjadikan dirinya selalu peka terhadap lingkungan sosial dan begitu seterusnya.
Saya tidak ada bunga sebagai tanda untuk mengenang kelahiran rumah megah ini, hanya ada sebongkah tulisan yang kacau; tidak sistematis; terpotong tiba-tiba; dan tak ada mutu dan bobotnya sama sekali. Ini adalah sebab miskinnya pengetahuan saya tentang HMI yang hanya kader abal-abal.
Saya pernah ditanya seorang teman, sebut saja Sahabat PMII, “apa yang membuat anda tertarik masuk HMI?”. Saya bengong karena tak tahu harus menjawab apa, tetapi kemudian saya jawab dengan jujur, “saya masuk HMI hanya tertarik pada logonya saja; logonya indah lebih indah dari pada logo-logo yang lain, sesekali ya senang juga melihat para kohatinya (kader HMI perempuan) yang cantik-cantik”.
Maka, jangan pernah tanyakan saya tentang HMI, saya tidak tahu, tanyakan pada yang lain.
Baca juga: Kenapa Mahasiswa Lebih Percaya Diri Punya Pacar? |
Mengakhiri tulisan ini, saya teringat pada sebongkah batu nisan yang digurati tulisan ‘Pahlawan Nasional, Prof. DRS. H. Lafran Pane’ di Pemakaman Karangkajen tempat di mana jasad Lafran Pane dibaringkan.
“Allahummaghfir lahu warhamhu wa’afihi wa’fu ‘anhu”. Tentu saya tahu bahwa do’a tidak cukup. Kanda Lafran lebih senang apabila kader-kadernya melanjutkan pekerjaannya yang belum selesai.
Perkenalkan, penulis adalah Kader HMI Yogyakarta.
Editor: Sukma Wahyuni
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
Lanjutkan perjuanganmu.