Secara etimologi, kata nafs merupakan istilah bahasa Arab-Persia yang memiliki makna luas, antara lain: esensi (dari suatu objek), jiwa yang menghidupkan, psikis, ruh, pikiran, kehidupan, manusia, individu, hasrat, identitas pribadi atau identitas diri.
Dengan demikian, jika seseorang ingin memahami kata nafs, maka ia harus jeli memperhatikan konteks suatu kalimat atau teks.
Dalam buku-buku sufi, istilah nafs biasanya secara kiasan merujuk kepada al-nafs al-ammarah, jiwa yang rendah (Latin; cupido libido), yaitu ego atau hasrat manusia yang dikendalikan oleh sifat-sifat negatif. Sedangkan dalam konteks tulisan ini, setiap kata nafs mengacu pada makna jiwa yang hadir dalam setiap jati diri manusia sebagai motor alamiah bagi mereka.
Sebagian besar sufi berpendapat – sebagaimana dikutip Javad Nurbakhsy dalam Psychology of Sufism (1992) – bahwa nafs tersusun atas empat tingkatan, yaitu: nafs yang memerintah (nafs ammarah), nafs yang penuh penyesalan (nafs lawwamah), nafs yang terinspirasi (nafs muhmalah), nafs yang tenang (nafs mutma’innah). Setiap nafs tersebut memiliki kecenderungan dan kondisi tertentu.
Baca juga: Manifesto Intelektual Sufi (Bagian 4) |
Berikut tahap-tahap perkembangan nafs (jiwa) dalam ajaran tasawuf.
- Nafs yang memerintah (nafs ammarah)
Nafs yang memerintah – atau nafs yang menyuruh seseorang untuk melakukan segala bentuk kejahatan – merupakan nafs dari orang-orang awam pada umumnya.
Inilah nafs yang belum dimurnikan atau dibersihkan oleh cahaya hati dan menjadi sumber segala jenis kejahatan. Nafs ini menghiasi perbuatan-perbuatan manusia dengan berbagai jenis keburukan, kemurkaan dan keinginan menguasai.
Dalam Kasyf al-Asrar, Maibudi menyebutkan bahwa nafs yang memerintah memaksa seseorang melakukan kejahatan dan mengundang mereka kepada kehancuran diri. Mereka yang memenuhi keinginan nafs ini akan tenggelam dalam berbagai penderitaan dan kejahatan.
Nafs ini juga mendorong seseorang cenderung ke arah sifat-sifat jasmani dan kesenangan-kesenangan serta hasrat seksual.Apabila seseorang tunduk kepada nafs yang memerintah, maka kemungkinan besar ia lebih mudah untuk berbuat keburukan dan kejahatan sebagaimana sifat bawaan nafs itu sendiri.
Dalam hal ini nafs amarah memiliki sepuluh sifat buruk, yaitu: penentang, pemarah, pendendam, kejam, sombong dan angkuh, pendengki, iri hati, tamak dan serakah, ingkar serta munafik.
- Nafs yang penuh penyesalan (nafs muhmalah)
Nafs yang penuh penyesalan (nafs lawwamah) dikenal demikian karena dia menyesal dan menyalahkan seseorang atas perbuatan-perbuatan buruknya yang telah lalu.
Istilah nafs yang penuh penyesalan didapatkan oleh kaum sufi dari ayat Al-Qur’an, “Aku bersumpah dengan hari Kiamat, dan aku bersumpah demi jiwa yang selalu menyesali (dirinya sendiri).” (QS. Al-Qiyamah [75]: 1-2).
Sumber dari nafs yang penuh penyesalan adalah nafs yang memerintah. Ketika nafs yang memerintah dibersihkan dari sebagian besar keburukannya atas izin Allah dan akibat pengaruh kebersihan hati, maka nafs ini bertransformasi menjadi nafs yang penuh penyesalan.
Pada tahap ini, seseorang cenderung menyesali perbuatan buruknya di masa lalu dan menyalahkan dirinya atas kesalahan itu. Nafs yang penuh penyesalan adalah nafs yang diterangi cahaya hati dan dibangunkan dari ketidakpedulian menuju pembersihan dirinya.
Pada tahap ini, jika seseorang melakukan perbuatan-perbuatan buruk karena kegelapan sifatnya, maka dia dapat mengatasi hal ini melalui cahaya Ketuhanan dan “penyesalan.” Proses tersebut dapat membawanya kepada pencarian menuju ampunan ilahi.
Jika nafs yang memerintah memiliki sepuluh sifat buruk, maka nafs yang penuh penyesalan memiliki sepuluh karakter baik, yaitu: pertapaan, kesalehan, pengendalian diri, ketaatan, kepatuhan untuk tetap mengerjakan shalat, puasa, haji, perjalanan mencari ilmu, membayar zakat dan perjuangan spiritual. Sebagian sufi mengatakan bahwa nafs yang penuh penyesalan sama seperti akal.
- Nafs yang diberi ilham (nafs muhmalah)
Nafs yang diberi ilham (nafs muhmalah) adalah nafs yang diilhami oleh Allah swt untuk mampu membedakan antara jalan petunjuk yang benar dan jalan kesesatan.
Para sufi mendapatkan istilah ini dari ayat Al-Qur’an, “Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya,maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya.” (QS. Asy-Syam [91]: 7-8).
Asal usul nafs yang diberi ilham adalah nafs yang penuh penyesalan pasca disinari dan diterangi oleh cahaya ruh manusia yang bersumber dari Allah swt. Pada tahap ini, nafs yang penuh penyesalan bertransformasi menjadi nafs yang diberi ilham.
Nafs inilah yang kemudian mendorong seseorang untuk melakukan segala perbuatan baik atas dasar ilham Allah swt kepadanya. Menurut para sufi, nafs yang diberi ilham memiliki sepuluh karakter utama, yakni: kemampuan berfikir, kebijaksanaan, pengetahuan, penyingkapan, ilham, kesadaran, kesempurnaan, kemuliaan, amal kebaikan, dan kemurahan hati.
Nafs ini biasanya akan menghindari semua hal yang berbau kejahatan dan cenderung kepada berbagai hal yang merupakan kebaikan.
- Nafs yang tenang (nafs mutma’innah)
Nafs yang tenang merupakan nafs yang berada pada puncak tingkatan perkembangan jiwa karena ia telah mendapatkan kedamaian dan ketentraman dari Allah swt melalui pancaran cahaya hati. Para sufi mendapatkan istilah ini dari ayat Al-Qur’an, “Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya.” (QS. Al-Fajr [89]: 27-28).
Nafs yang tentang adalah kelanjutan dari nafs yang diberi ilham. Ketika nafs yang penuh penyesalan bertransformasi menjadi nafs yang diberi ilham, lalu disucikan oleh cahaya makrifat, maka ia bertransformasi untuk kedua kalinya menjadi nafs yang tenang.
Baca juga: Manifesto Intelektual Sufi (Bagian 2) |
Pada posisi ini, nafs tersebut terlepas dari berbagai pengaruh duniawi dan sepenuhnya tunduk kepada pengaruh titah ilahi.
Menurut para sufi sebagaimana dikutip Robert Frager dalam Psikologi Sufi Untuk Transformasi Hati, Jiwa, dan Ruh, nafs yang tenang berada di dalam lubuk hati terdalam seseorang dan ia memiliki sepuluh karakter, yaitu: kefakiran (kebutuhan)terhadap Tuhan, sabar, adil, jujur, rida, pengetahuan, realisasi, keyakinan, kehormatan, dan pengabdian.
Nafs ini adalah puncak dan tujuan akhir perjalanan spiritual seorang manusia menuju Tuhan-nya. Wallahu a’lam.
Editor: Sukma Wahyuni
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
Teduh sekali membaca tulisan ini.
terimkasih
Sama-sama