Menapaki Proses Panjang untuk Menjadi Penulis

Setidaknya ada tiga hal yang akan terbangun dalam masing-masing pribadi anggota; personal branding, product awareness, dan profesionality.8 min


2
2 points
Menapaki Proses Panjang Menjadi Penulis
Menjadi seorang Penulis (Sumber: santrinulis.com)

Menenggelamkan Diri dalam Komunitas Menulis

Salah satu upaya merawat intensitas semangat menulis yang kadang fluktuatif, di antaranya ialah dengan mengikuti grup menulis. Salah satu dari dua grup menulis yang saya tergabung di dalamnya, ialah Sahabat Pena Kita (SPK) Tulungagung.

Grup literasi berbasis WhatsApp yang baru bulan Juli kemarin berhasil di-launching oleh ketua SPK pusat, Dr. M. Arfan Mu’ammar, M. Pd. I. (Baca; Dr. Arfan). Meski demikian, bukan berarti grup literasi ini baru seumur jagung. Pula bukan benar-benar baru terlahir layaknya seorang bayi yang penuh dengan kerawanan dan rengekan.

Mengapa demikian? Karena bagaimanapun eksistensi grup ini telah genap mencapai usia yang ke dua tahun. Lebih tepatnya, grup SPK Tulungagung ini, tidak lain adalah wujud transformasi dari grup WhatsApp yang awalnya diberi nama Komunitas Menulis.

Baca Juga: Menulis Sebagai Amanat

Terbentuknya Komunitas Menulis ini pada dasarnya dimotori oleh Dr. Ngainun Naim, salah seorang dosen sekaligus penggiat literasi kawakan. Selanjutnya beliau berinisiatif membonceng teman-teman Pascasarjana IAIN Tulungagung yang memiliki tekad menggeluti dunia literasi.

Masih sangat jelas tergambar dalam ingatan saya, tatkala itu pertemuan perdana sekaligus pelatihan menulis dilakukan di gedung Pascasarjana lantai dua ruangan U5, tepat pada bulan Ramadan tahun 2018.

Sementara itu, saya yang telah melakukan list nama sebagai salah seorang peserta, hanya mampu berpapasan di jalan dengan Pak Dr. Ngainun Naim. Ah, sungguh sangat disayangkan tatkala itu acaranya telah telanjur usai, dan saya baru saja muncul dengan paras ngos-ngosan bercampur sesal.

Meski terlambat, untung sang admin berbaik hati kepada saya, sehingga masih diperkenankan untuk bergabung menjadi salah satu anggota di grup WhatsApp yang diberi nama Komunitas Menulis itu.

Terhitung semenjak tanggal berdirinya grup tersebut, secara pribadi saya mengamati ritme pasang-surut geliat menulis anggota di grup. Hingga akhirnya di pertengahan menuju penghujung tahun 2019 ada drama keluar-masuk anggota grup. Hal itu tidak lain dipicu oleh ketidakaktifan (kevakuman) semua anggota grup untuk istikamah menulis.

Dalam pandangan saya, stagnasi tersebut tidak lain dipicu oleh berbagai alasan yang senantiasa dijadikan kambing hitam dalam menyembunyikan ketidakmampuan personal. Mulai dari ketidakmampuan memanajemen waktu, membuang kesempatan, berkubang dalam kemalasan, tak ada kehendak untuk meningkatkan kualitas diri sampai dengan ketidaktahuan atas pontesi yang terbenam di dalam diri.

Baca Juga: Lupa Diri

Persoalan yang telah dipaparkan di atas, mengingatkan saya pada pandangan Imam Al-Ghazali tentang entitas tahu yang ada pada diri manusia. Beliau pernah menegaskan, bahwa terdapat empat jenis entitas tahu yang ada pada diri manusia.

Pertama, orang yang tahu dan tahu kalau dirinya tahu. Manusia jenis ini senantiasa berusaha menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Bersikap profesional adalah jalan terbaik (tabi’at) untuk menghadapi segala persoalan yang menghampiri hidupnya.

Kedua, mereka orang-orang yang tidak tahu tapi merasa tahu. Jika ditafsirkan secara bebas dengan meminjam istilah Diogenes, kelompok ini tak ayal layaknya seekor anjing yang terus menggonggong atas hal baru yang dicurigainya. Semakin lanyah mulutnya menggonggong justru kian besar pula ketidaktahuan yang ia tunjukkan. Persis peribahasa Indonesia menyebutkan; tong kosong nyaring bunyinya.

Ketiga, kelompok orang-orang yang tahu tapi merasa tidak tahu. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini besar kemungkinan adalah orang-orang yang tawaduk. Ada kesadaran utuh, bahwa hakikat segala sesuatu tidak lain serta-merta hadir atas kuasa Sang Maha Tahu. Lantas bagaimana mungkin dirinya akan pongah dengan setetes ilmu yang dimiliki sedangkan di luar sana masih ada samudera pengetahuan yang tak terhingga.

Sementara jenis manusia yang terkahir, ialah mereka yang tidak tahu dan dia tidak tahu kalau dirinya tidak tahu. Jenis manusia ini dapat dikatakan menjalani hidup layaknya zombie. Kegemarannya menumpulkan logika dan mematikan bisikan hati nurani, demi mengutamakan kepentingan isian perut dan atasan lutut belaka.

Syaikh Ibrahim Bin Ismail menyebutkan mereka sebagai manusia sekadar ada, yang keberadaannya hanya sebatas wujud semata. Bila dianalogikan, mereka seperti seonggok bangkai yang nyawanya telah lama sirna.

Tak jauh berbeda dengan pandangan Al-Ghazali, Fahrudin Faiz yang merujuk buku David Alan Brown “Leonardo Da Vinci: Origins of a Genius” menegaskan dalam seri ngaji filsafat, bahwa terdapat tiga jenis manusia tatkala dibenturkan dengan entitas realita;

Pertama, orang yang mau melihat (Those who see). Dikatakan, mereka yang termasuk dalam kategori ini memiliki ciri-ciri; cerdas, mandiri, aktif, pintar dan pandai memotivasi diri sendiri. Siapapun  orang yang terdorong menggunakan matanya untuk mau melihat segala sesuatu yang positif, berarti ia sejatinya sedang memanusiakan diri dalam porsi yang adil.

Sebutkan saja mereka sebagai golongan yang bersyukur dan bersifat peka. Sangat dimungkinkan, segala sesuatu yang ada di sekitarnya menjadi ibrah dan jembatan singkat dalam memperoleh penjelasan atas suatu pengetahuan.

Kedua, orang yang hanya mau melihat kalau ditunjukkan (Those who see when they are shown) . Mereka hanya mau bergerak tatkala ada tokoh yang menjadi panutan. Mengandalkan tuntunan jelas dari pihak luar. Itu berarti manusia dalam jenis ini tidak memiliki inisiatif tersendiri, melainkan butuh motivator yang mendorong.

Sedangkan jenis yang ketiga, ialah orang yang tidak mau melihat (Those who do not see). Kategori terakhir ini menegaskan kebebalan yang senantiasa dipelihara oleh khalayak manusia. Di mana manusia lebih tertarik pada hal-hal yang praksis dan dipandang ampuh memberi keuntungan secara pribadi.

Sebagai penulis pemula, lantas di manakah sekarang letak posisi Anda? Lambaran kebingungan itu pula yang kemudian menjadi keyakinan untuk berusaha lebih keras. Betul tidak?

Menghidupkan Kembali Geliat Menulis

Setelah beberapa waktu mendapatkan siraman rohani, banjiran motivasi dan sindiran keras melalui lecutan buah tangan Pak Dr. Ngainun Naim yang setiap hari dikirim ke grup, akhirnya satu-persatu anggota grup mulai kembali aktif menulis.

Awalnya hanya satu, dua hingga tiga orang saja yang secara masif memecah keheningan grup, akan tetapi lambat-laun ada nama-nama baru yang mulai berani turun gelanggang. Mereka mulai terbiasa mengirimkan link tulisan yang termuat di blog masing-masing. Meskipun di samping itu, masih saja ada rasa minder yang bercongkol di dalam hati.

Kebiasaan itu terus membaik. Hal itu dibuktikan dengan terus bertambahnya jumlah anggota penghuni grup dari berbagai kalangan. Ditambah lagi dengan rencana untuk membuat buku antologi, adanya jadwal menulis wajib mingguan, hingga membludaknya tulisan sunah dan diberlakukannya iuran bulanan.

Alhasil, kini grup pun setiap hari ada anggota yang setor tulisan. Entah itu tulisan yang bergenre populer, reflektif aktivitas sehari-hari, fiksi ataupun review personal atas suatu kajian dan hasil bacaan.

Meskipun mulai beranjak dari stagnan, akan tetapi tidak dapat dipungkiri, bahwa aktivitas anggota secara keseluruhan belum begitu terkondisikan secara maksimal, mengingat masih saja ada reader silent tanpa pernah berinisiatif mengirim tulisan. Menyikapi hal yang demikian, Dr. Ngainun Naim pernah mengelompokkan tingkat keaktifan literasi anggota ke dalam lima kategori, sebagai berikut;

Pertama, anggota yang sangat aktif. Mereka yang termasuk dalam kategori ini dapat dikatakan sangat produktif dalam menulis. Dapat dipastikan setiap hari mereka selalu update tulisan. Bahkan, dalam rentan waktu sehari saja mereka dapat mengunggah lebih dari satu tulisan di blog. Mereka ini tentu anggota grup yang istimewa. Spirit listerasi yang tinggi harus ditebus dengan apresiasi dan selayaknya menjadi representasi contoh bagi anggota grup yang lain.

Kedua, anggota yang cukup aktif. Pada level ini semangat menulis mereka bersifat fluktuatif, jadi jika satu-dua kali tidak menulis, ya wajar. Mereka yang termasuk dalam kategori ini harus secara masif dimotivasi dan dirangkul supaya kembali semangat untuk menulis.

Ketiga, anggota menengah. Pada level ini mereka menulis namun dalam kurun waktu kadang-kadang. Terkadang menulis dan terkadang tidak. Meski demikian, anggota dalam kategori ini adalah aset berharga yang memiliki kemampuan untuk naik kelas. Apabila bisa naik kelas, alangkah baiknya mereka senantiasa dibantu dengan sebaik-baiknya.

Keempat, anggota yang pernah menulis. Meskipun pernah, namun mereka harus tetap dimotivasi dan diapresiasi atas proses yang dilakukannya. Bagaimanapun perjuangannya layak untuk dikasih jempol, sebab dengan mau menulis, itu berarti ada kesadaran yang mulai tumbuh meskipun rapuh. Yang terpenting dalam poin ini, mereka menyadari bahwa salah satu bentuk syukur dari dianugerahi dua tangan adalah dengan cara menulis.

Baca Juga: 40 Inspirasi dan Jurus Menulis

Sedangkan kategori pamungkas, ialah anggota “silent reader“. Mereka adalah golongan orang-orang pembelajar. Ada keyakinan kuat, bahwa mereka masuk grup karena hendak belajar dan memiliki hasrat yang tinggi untuk menulis. Namun yang menjadi persoalan terberat selanjutnya, ialah kapan waktu yang tepat mereka akan memulainya.

Untuk mempermudah proses itu, sudah barang tentu kita memiliki kewajiban membantunya. Salah satu bentuk bantuan yang efektif, di antaranya ialah melalui lontaran pertanyaan yang memancing ketertarikan orang tersebut. Sementara usaha yang terakhir, bantulah mereka dengan doa. Semoga saja dilancarkan dalam segala ikhtiarnya.

Langkah Strategis Meraih Mimpi sebagai Penulis

Selasa, 28 Juli 2020 grup WhatsApp yang menampung sekitar 61 orang anggota pecinta literasi secara resmi berganti nama. Pergantian nama ini tidak lain adalah bentuk nyata dari upaya untuk meningkatkan kualitas diri. Memupuk kuat komitmen dan berusaha keras meng-upgrade kemampuan menulis secara teratur. Lebih tepatnya, berusaha menjadi lebih baik lagi melalui tempaan proses panjang belajar yang terdisiplinkan. Sebutkan saja hal itu dengan istilah Istikamah.

Sebagaimana penegasan Wawan Susetya (novelis sekaligus penggiat kajian Maiyah Tulungagung) pada Kopdar SPK setahun yang lalu di aula rektorat IAIN Tulungagung, “Sesuatu hal yang melebihi karomah para aulia ialah Istikamah. Karena hanya dengan lantaran Istikamah semata kemampuan kita akan terasah”, kurang lebih demikian tukasnya.

Begitu halnya dengan menulis, tidak akan pernah ada karya yang lahir secara instan tanpa adanya proses panjang belajar yang berdarah-darah dan konsistensi. Untuk mencapai kulminasi dalam menulis, Dr. Arfan memaparkan bahwa terdapat empat tahapan penting yang harus dilalui oleh mereka yang hendak menjadi penulis.

Pertama, kesadaran. Tatkala seseorang hendak menulis, alangkah baiknya ia berangkat dari lambar kesadaran. Kesadaran yang datang dari dalam diri pribadi itulah yang membuat tulisan-tulisan kita bernyawa dan terselesaikan dengan baik. Bagaimanapun hanya dengan memiliki kesadaran diri dan kehendak yang kuat untuk menulis, semua halau rintangan yang menerpa diri dapat teratasi.

Kedua, kebiasaan. Setelah memiliki kesadaran diri dan kemauan yang kuat untuk menulis, sebaiknya diimbangi pula dengan upaya menjadikan menulis sebagai kebiasaan. Dalam hal ini, proses panjang latihan menulis secara konkret sangat dibutuhkan. Sangat dimungkinkan, semakin sering kita melakukan pembiasaan menulis, maka kualitas tulisan pun akan terus meningkat tajam.

Asalkan dengan catatan. Dalam pembiasaan tersebut penulis harus berusaha memosisikan diri dengan sangat terbuka akan koreksi yang berbentuk kritik dan saran. Adanya seorang komentator ulung dalam menilai tulisan kita sangat membantu dan mendukung peningkatan mutu.

Ketiga, kepedulian. Kepedulian dalam konteks ini bermaksud fokus penulis yang sangat mempedulikan dunia literasi. Melalui kepedulian di dalam diri setiap personal ini setidaknya akan ada rasa dan sikap totalitas dalam menggandrungi literasi. Di sini penulis  ditantang untuk survive, beradaptasi dan mengelola diri sendiri dengan sangat baik. Apabila telah mampu menulis dengan bagus secara disiplin, maka menjaga ritme secara konsisten itu sangat diperlukan. Upaya meng-upgrade wawasan pengetahuan pun harus dilakukan dengan sebaik mungkin.

Sementara yang terakhir, ialah tradisi. Tradisi di sini berarti aktivitas menulis telah melekat sebagai baju, mendarah daging. Ada pandangan yang menjadi keyakinan, di mana rasa malu yang akut itu akan timbul manakala ia tidak menulis.

Dalam konteks tradisi di sini dapat dipahami menulis itu adalah proses yang harus melekat dalam setiap perilaku dan gerak-geriknya. Siklus tahapan yang disampaikan Dr. Arfan tersebut senada dengan pandangan Lao Tse;

“Jagalah pikiranmu karena pikiran tersebut akan menjadi kata-kata. Jagalah kata-katamu, karena kata-kata tersebut akan menjadi tindakan. Jagalah tindakanmu, karena tindakan tersebut akan menjadi kebiasaan. Jagalah kebiasaanmu, karena kebiasaan tersebut akan menjadi karakter. Jagalah karaktermu, karena karakter tersebut akan menjadi takdirmu”.

Selain itu, persoalan yang kerap menghampiri penulis pemula dalam peralihan tahapan dari kesadaran menuju kebiasaan, umumnya mereka akan mengalami rasa minder. Suatu virus yang sangat membahayakan manakala diumbar.

Pertanyaan selanjutnya, lantas bagaimana cara mengatasi rasa minder dalam menulis? Dalam menyikapi pertanyaan ini sejatinya ada empat alasan kenapa seseorang akan merasa minder dalam menulis.

Pertama, fear, “merasa takut”. Ketakutan yang bersemayam di dalam diri penulis pemula itu sejatinya lebih banyak dipengaruhi oleh persepsi kegetiran secara personal. Ada kekhawatiran yang berlebihan dalam menilai sesuatu yang belum ia lakukan sama sekali.

Misalnya saja, rasa takut yang pernah dialami oleh JK Rowling pengarang buku Herry Potter. Tatkala beliau hendak menerbitkan buku Herry Potter seri yang kedua, ia sangat gelisah dan khawatir bukunya tidak akan laku di pasaran.

Lantas beliau pun menegaskan; “I’ve spent all day wrestling with the same damn paragraph“, (telah kuhabiskan waktu sepanjang hari bergumul dengan paragraf sialan yang sama).

Padahal bila kita cermati dalam-dalam, tidak ada satupun tulisan (karya) yang benar-benar harus kita takutkan selama itu terlahir dalam koridor yang semestinya. Entah itu takut ditolak pihak penerbit, takut tidak laku dan lain sebagainya, sejatinya hanya masalah waktu yang tepat dan keberuntungan saja.

Sebab, bagaimanapun setiap tulisan memiliki penggemarnya masing-masing. Tidak akan pernah bisa di antara varinitas tulisan itu hanya dinilai dari satu pihak yang berkepentingan semata.

Kedua, merasa tulisan salah. Perasaan salah dalam menulis tidak lain salah satunya diakibatkan dari kurangnya pembendaharaan kata dan ketidakmampuan penulis pemula memahami sekaligus membedakan penulisan kata baku dan tidak baku. Dalam hal ini banyak membaca buku dan kamus besar bahasa Indonesia adalah upaya yang harus diperdayakan.

“Sebagai contoh, kita bisa belajar dari pengalaman Dahlan Iskan yang kerap kali banyak melakukan kesalahan dalam menggunakan kata baku pada tulisannya yang dimuat di koran bergengsi sekalipun”, tukas Dr. Arfan.

Ketiga, merasa tulisan tidak pantas. Sebagai seorang penulis sangat diharapkan memiliki kepercayaan diri, bahwa di dalam tulisan yang kita buat memiliki novelty dan keunikan tertentu yang belum diketahui oleh khalayak.

Peter Marmorek pernah berpesan; “The first step to becoming a better writer is believing your own experience is worth writing about“, (tahapan pertama untuk menjadi penulis yang baik adalah percaya bahwa pengalaman pribadi Anda sangat berharga untuk ditulis).

Sedangkan yang terakhir ialah merasa tulisan jelek. Tulisan yang telah telahir tidak ada istilah jelek. Karena bagaimanapun setiap tulisan memiliki penggemarnya masing-masing. Setiap tulisan menemukan jodohnya tersendiri. Setiap tulisan memiliki nilai seni yang terbenam dalam gaya penulisan masing-masing. Bagaimanapun kelayakan suatu buku untuk dibaca disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing.

Misalnya saja kita belajar dari perjalanan novel perdana Stephen King yang berjudul, “Carrie”. Novel tersebut pernah 30 kali ditolak pihak penerbit, pernah dibuang ke tempat sampah oleh penulisnya dan bahkan King membenci alur cerita yang ada di dalamnya. Namun, beberapa tahun kemudian novel itu berhasil menjadi salah satu novel internasional best seller dan diapatasi menjadi sebuah film dua kali berturut-turut.

Lantas sampai di sini, masihkah Anda sempat mengumpat dan meragukan potensi menulis yang ada di dalam diri?

Komunitas sebagai Jalan Metamorfosis

Bergabung dengan grup literasi Sahabat Pena Kita Tulungagung, bagi saya pribadi adalah kesempatan yang luar biasa. Melalui komunitas menulis, masing-masing anggota akan terus mengalami transformasi diri, proses mutualisme simbiosis. Itu berarti komunitas sebagai jalan metamorfosis.

Ada benarnya perkataan Dr. Much. Khoiri, Dosen Universitas Negeri Surabaya, Editor, penggerak literasi sekaligus penulis produktif yang akrab dipanggil Pakde Emcho, “menulis itu proses berpikir, di mana penulis berusaha mereposisi diri sesuai dengan kebutuhan. Makanya kalau ada ide muncul langsung direkam dalam catatan. Seorang penulis harus telaten mencatat ide yang muncul secara kebetulan. Selanjutnya, buatlah folder disesuaikan dengan kategori ide tersebut”.

Dalam bingkai penegasan tersebut, terdapat dua hal yang harus dicatat; tindakan nyata dan tekad yang kuat. Hal ini bersesuaian dengan pandangan Tony Robbins yang menegaskan; “Jalan untuk sukses adalah dengan tindakan dan tekad yang kuat”.

Selain itu, melalui kendaraan yang sesuai dengan passion kita, setidaknya ada tiga hal yang akan terbangun dalam masing-masing pribadi anggota; personal branding, product awareness dan profesionality.

Editor: Ainu Rizqi
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂

Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!

Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!

 


Like it? Share with your friends!

2
2 points

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
1
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
1
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
0
Wooow
Keren Keren
0
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Roni Ramlan, M.Ag
Tim Redaksi Artikula.id

One Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals