Setiap manusia ketika lahir ke dunia ini telah diberikan kemampuan yang begitu apik dari Sang Pencipta, Allah Swt. Kemampuan ini telah Allah tanamkan sejak manusia berada di rahim seorang ibu, dengan diberikannya pendengaran, penglihatan juga hati nurani sebagai penentu kelanjutan hidupnya ke depan, sebagai wadah yang membentuk dirinya sebagai manusia.
Kemampuan itu pula dapat melahirkan kemampuan-kemampuan lain ketika berjalannya waktu hingga dia menginjak dewasa. Baik dan buruknya kemampuan itu tergantung pada diri manusia itu sendiri, diberikan pilihan dan masukan dari orang tua, keluarga, juga lingkungan sekitar dalam mengasah menjadi hal yang bermanfaat bagi dirinya juga orang lain.
Dapat kita lihat dan perjelas pernyataan di atas lewat ayat al-Qur’an yang menjadi platform bagi konteks bagaimana manusia dibentuk sejak lahir lewat kemampuan awal yang diberikan oleh Tuhannya, yakni dalam Q.S. an-Nahl: 78,
وَٱللَّهُ أَخۡرَجَكُم مِّنۢ بُطُونِ أُمَّهَٰتِكُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ شَيۡٔٗا وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَٰرَ وَٱلۡأَفِۡٔدَةَ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”. (Q.S. an-Nahl: 78)
Dalam kitab tafsir Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir, karangan Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman al-Asyqar, seorang mudarris tafsir di Universitas Islam Madinah. Menjelaskan bahwa, dalam ayat ini, ketika Allah mengatakan, “Dan di antara kuasa-kuasa Allah”, yakni kuasa-Nya dengan mengeluarkan kalian (manusia) dari rahim ibu-ibu kalian sebagai anak kecil yang tidak memiliki pengetahuan apa pun, lalu menciptakan untuk kalian media untuk belajar dan memahami yaitu pendengaran, penglihatan dan hati, supaya kalian beriman kepada Dzat yang Maha Pencipta dengan keyakinan dan keilmuan yang sempurna serta supaya kalian bersyukur atas nikmatnya dengan memfungsikan setiap anggota tubuh kalian untuk melakukan sesuatu yang baik.
Pada konteks dalam keluarga, kita senantiasa selalu diajarkan ketika ada bayi yang baru lahir tidak seharusnya mengatakan dan memperlihatkan hal-hal yang buruk di depannya, karena dikhawatirkan akan memengaruhi secara biologis keadaan bayi tersebut ketika beranjak dewasa. Pendengaran yang diberikan lebih awal dapat berarti bayi tersebut dapat mendengar apa yang dikatakan oleh orang sekitar, yang diikuti oleh pemberian penglihatan oleh Allah, kemudian hati nurani.
Pendengaran dan penglihatan itu akan disimpan dalam otaknya tersebut, kemudian ketika dia sudah diberikan hati nurani maka dengan sendirinya, bayi tersebut akan me-review segala apa pun yang dia dengar dan lihat pada masa kecil.
Dalam hal ini, dapat penulis korelasikan pada sebuah jalan dalam memahami hadirnya literasi dalam setiap individu manusia. Digambarkan bahwa pemberian kemampuan berupa pendengaran juga penglihatan dari Allah merupakan hal yang paling fundamental dalam membangun literasi pada manusia itu, di mana literasi yang merupakan suatu kemampuan individu dalam mengolah dan memahami informasi ketika melakukan kegiatan membaca dan menulis. Kegiatan itu akan terlaksana dan terjalin dengan baik jika pada pembentukan kemampuan tersebut baik, yang dibentuk oleh orang tua, keluarga, juga masyarakat sekitar pada manusia itu sendiri.
Ketika kita menginginkan hadirnya literasi yang baik, maka sedari awal dibentuk pada saat masih bayi, yang diperankan oleh kedua orang tua serta keluarganya dalam memberikan pendengaran serta penglihatan yang baik, agar dengan sendirinya hati nurani yang telah diberikan oleh Allah dapat merespons hal baik pula, sebagai awal jalan untuk mengolah literasi setiap individu. Hal ini dikarenakan pendengaran dan penglihatan merupakan sarana dan media awal untuk belajar bagi individu untuk mengolah dan memahami informasi saat membaca dan menulis nantinya.
Manusia yang diciptakan dengan esensi sebagai makhluk sosial tentu haruslah memiliki kemampuan dalam hal menjalin hubungan satu sama lain, dan dengan menjalani hubungan itu, manusia bisa mendapatkan “input” dalam dirinya, berupa informasi universal lewat pembelajaran dan pengalaman yang dihasilkan dari jalan mendengar, melihat dan membaca, sehingga melahirkan ide, dan gagasan dari dirinya, yang disalurkan lewat media tulisan-tulisan juga tindakan manusia itu sendiri. Inilah yang dinamakan tranformasi literasi dari manusia yang harus terus-menerus dikembangkan menjadi sebuah keterampilan diri manusia, hal yang sama juga merupakan esensi dari seorang “Literatus”, yaitu orang yang selalu belajar.
Orang yang selalu belajar akan menambah pengetahuan dan keterampilan dirinya, sehingga dapat berpikir kritis dalam memecahkan masalah, serta memiliki kemampuan berkomunikasi secara baik dan efektif sehingga dapat mengembangkan potensi dan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat. Diharapkan pula potensi dan partisipasi itu selalu mengarah ke ranah-ranah yang sejalan dengan hati nurani dan sejalan dengan akal manusia itu sendiri. Setiap individu juga diharapkan mampu untuk membaca setiap keadaan dan kondisi di mana dia hidup untuk meningkatkan literasinya. Misalkan pada era industri 4.0 sekarang dengan begitu banyak fasilitas yang mudah untuk dijangkau guna meningkatkan literasi tersebut.
Seorang literatus, pada era sekarang diharuskan memanfaatkan berbagai media yang hadir, sebagaimana yang dimaksud dalam literasi media yakni, kemampuan dalam mengetahui dan memahami berbagai bentuk media (media elektronik, media cetak, dan lain-lain), dan memahami cara penggunaan setiap media tersebut. Dengan memahami cara penggunaan itu dapat kita manfaatkan sebaik mungkin, misalkan dengan mencari, menemukan berbagai informasi-informasi penting, serta menggunakannya sebagai ajang ekspresi ide dan gagasan yang dituangkan dalam bentuk tulisan lewat media sosial, facebook, instagram, youtube dan lain sebagainya. Hal ini dimaksudkan dengan hadirnya media-media itu bukanlah sebagai penghambat literasi melainkan energi bagi literasi, jika dikelola dan dimanfaatkan dengan baik.
Energi itu dapat dijalankan dengan syarat seorang literatus mempunyai kemampuan untuk mengetahui dan memahami hal-hal yang berhubungan dengan teknologi (misalnya hardware dan software), mengerti cara menggunakan internet, serta mampu membaca dan memahami etika dalam menggunakan teknologi. Dan yang paling penting lagi adalah kemampuan untuk menginterpretasi dan memberi makna dari suatu informasi yang didapat pada media tersebut, sebagai proses membaca dan memahaminya.
Akhirnya, ketika manusia dapat melihat lebih ke dalam dirinya, dia akan menjadi seorang “literatus ulung”, yang mampu untuk membaca, memahami hingga dapat mengkontekskannya dengan perkembangan zaman, yakni pada konteks era industri 4.0. Manusia dengan energi literasi yang tinggi itu, diibaratkan sebagai sebuah energi yang terbarukan, selalu melahirkan hal-hal serta inovasi baru yang memberikan manfaat pada setiap makhluk bumi. Serta dapat menimbulkan kesadaran pada manusia lain, dan pada generasi penerusnya tentang pentingnya pembentukan literasi sedari awal bahkan pada saat masih bayi, agar energi-energi terbarukan itu akan selalu lahir dan terus ada di masa yang akan datang.
Wallahu a’lam bissawab.
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂
Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!
Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
0 Comments