Ng(e)aku Ng(e)aku

ngaku-ngakunya iblis hanya sekedar ngaku-ngaku, tak pernah mampu membuktikan kualitasnya, maka ngaku-ngakunya iblis berdasarkan rasa benci dan permusuhan..2 min


gambar: yesmaya

Apakah ngaku-ngaku itu boleh atau tidak? Tunggu dulu, kita tidak akan tergesa-gesa memberi kesimpulan hukum sebelum kita uraikan konteks, sebab dan akibatnya.

Dahulu, ketika Allah mensosialisasikan satu program kepada malaikat bahwa Ia hendak menciptakan khalifah (pemimpin) di bumi yaitu manusia (Adam as), malaikat lantas interupsi, “Kenapa makhluk jenis itu ya Rabb, mereka itu tidak punya kualitas, kapabilitas, kredibilitas untuk jadi pemimpin di bumi”. Bukan berhenti sampai di situ, malaikat lantas membandingkan calon khalifah itu dengan jenis mereka, bahwa mereka lebih patut dan layak (fit and proper) kalau untuk mengurus bumi (wa nahnu nusabbihu bi hamdika wa nuqaddisu lak).

Inilah debat ‘calon presiden’ bumi pertama dalam sejarah. Makhluk yang Allah siapkan itu, diajarkan ilmu (al-asma), lalu berhadapan dengan malaikat, silahkan adu kualitas untuk menjadi khalifah, ‘presiden’ bumi, ini calon-Ku kata Allah, lalu sang calon khalifah itu menyampaikan ilmunya, ketika tiba giliran malaikat mereka mengatakan, subhanaka lâ ilma lana illa ma ‘allamtana innaka antal alimul hakim.

Jadi pada awalnya malaikat ngaku-ngaku lebih layak dari Adam as, bukan berdasarkan gila jabatan, bukan karena dengki atau iri, tetapi fakta makhluk bumi sebelum manusia seperti itu, ini berdasarkan fakta. Tapi, walaupun ngaku-ngakunya malaikat berdasar fakta, lantas Allah minta bukti secara demokratis, silahkan buktikan kalau lebih mampu, ternyata tidak, dan malaikat pun mengakui ketidak mampuannya.

Awalnya malaikat tidak mengakui Adam dan mengaku-ngaku sendiri, tapi setelah terbukti keunggulan calon pemimpin itu, malaikat tak segan untuk sujud tanda penghormatan dan mentaati perintah Allah. Tapi ada yang tetap keras kepala, bukan hanya tidak mau mengakui kualitas Adam, dan tidak mau sujud, bahkan mereka jadi oposisi, ngaku-ngaku lebih baik “ana khairan minhu, khalaqtani min nar wa khalaqtahu min tin“, Adam itu gak sebanding sama aku, aku keluarga bangsawan, dia hanya rakyat jelata.

Kalau malaikat walaupun ngaku-ngaku, tapi berdasar fakta, lantas kemudian mengakui keunggulan lawan politiknya, tapi iblis malah sombong, merasa paling hebat paling tinggi, dan jadi oposisi seumur hidup sampai kiamat. Tapi ngaku-ngakunya iblis hanya sekedar ngaku-ngaku, tak pernah mampu membuktikan kualitasnya, maka ngaku-ngakunya iblis berdasarkan rasa benci dan permusuhan, ini yang tidak boleh.

Kita mengetahui dari kisah di atas, bahwa siapapun dipersilahkan ngaku-ngaku, tapi harus siap membuktikan, tidak lantas ngaku-ngaku salah, kalau bisa buktikan silahkan, kalau tidak jangan coba-coba.

Ada orang ngaku beriman, kata Allah, hey manusia, apa kalian kira kalau sudah ngaku beriman lantas tidak diminta bukti (ahasibannas an yutraku an yaqulu amanna wa hum la yuftanun). Jadi, jangankan ngaku paling beriman, paling la ilaha illallah, ngaku beriman saja harus siap konsekuensi, apalagi ngaku paling-paling beriman.

Lain lagi Nabi Musa as, ngaku paling alim, ada kesombongan intelektualitas, sekali lagi, sejatinya bukan karena sombong atau ujub, tapi faktanya Nabi Musa adalah seorang rasul yang diberi kitab, menumbangkan firaun, raja paling berkuasa, kalaupun sombong wajar, tapi tidak, memang faktanya begitu menurut Nabi Musa, lantas Allah katakan, itu ada hamba-Ku yang Ku beri ilmu yang tidak Ku beri padamu, setelah ngaku-ngaku lalu di tegur, tak lantas ia membantah, tapi merendah dan mengakui ketidaktahuannya.

Dari kisah-kisah di atas, kita sadar bahwa kalau mau ngaku paling pintar, paling cocok jadi pemimpin, harus siap-siap diminta bukti. Kalau tidak sanggup membuktikan tapi bukan bertaubat dan mengakui keunggulan orang lain, siap-siaplah jadi pewaris iblis.

Namun, ada satu pengakuan yang mutlak bagi kita, yaitu mengaku sebagai hamba Allah, abdullah, ini pun masih diminta bukti. Maka, jangan sekedar bicara ngaku paling nasionalis, apa jasa kita untuk bangsa? Belum ada, kita ini pemakan jasa. Apalagi ngaku paling ngikuti Rasul, yang lain tidak, insyaallah pasti ngaku-ngakunya salah, rumah Rasul empat kali empat, tidak ada karpet mewah apalagi hiasan kristal di lemari, tapi rumah kita luar biasa, ini tidak sopan sama Rasul, maka jangan ngaku-ngaku kalau seperti ini, akui saja, bahwa kita hamba yang faqir kepada Allah.


Like it? Share with your friends!

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
0
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
3
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
0
Wooow
Keren Keren
1
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Dr. Mukhrij Sidqy, MA.
Dr. Mukhrij Sidqy, MA. adalah doktor di bidang Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan dosen di STIQ Baitul Qur'an, Kelapa Dua, Depok. Ia menjabat sebagai Ketua Ikatan Da'i Muda Indonesia Depok, Wakil Pengasuh PP. Al-Wutsqo Depok, dan Pembina Tahfidz LPTQ Al-Muhajirin BPI Depok.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals