Syekh Yusuf Makassari dan Pandangan Tasawufnya

“Barangsiapa mendalami fiqih tanpa bertasawuf, maka ia benar-benar telah menjadi fasik, dan barangsiapa bertasawuf tanpa mendalami fiqih ia tergolong zindik" 2 min


Syekh Yusuf Makassari lahir pada 3 Juli 1628 M, bertepatan dengan 8 Syawal 1036 H. Hal tersebut tertulis dalam Lontara warisan kerajaan kembar Gowa dan Tallo. Riwayat atas penetapan tanggal tersebut telah menjadi riwayat tradisi lisan masyarakat di Sulawesi Selatan sehingga sudah menjadi kesepakatan.

Dalam Lontara Riwayat Tuanta Salamaka ri Gowa, dinyatakan bahwa ayahnya bernama Gallarang Moncongloe, saudara seibu dengan Raja Gowa Sultan Alauddin Imanga ’rang’ Daeng Marabbia, raja Gowa yang paling awal masuk Islam dan menetapkannya sebagai agama resmi kerajaan pada tahun 1603 M. Sedang Ibunya bernama Aminah binti Dampang Ko’mara, seorang keturunan bangsawan dari kerajaan Tallo.

Syekh Yusuf mendapat gelar kehormatan dari gurunya dengan nama “Abi al-Machasin”.  Beliau dikenal di Sulawesi dengan gelar kehormatan Al-Taj Al-Khalwati (Mahkota Tarekat Khalwatiyah). Tarekat Khalwatiyah tersebut dinisbatkan Syekh Yusuf di belakang namanya dalam salah satu karyanya Qurrat al-‘Ain. Tak mengherankan karena beliaulah yang pertama kali memperkenalkan tarekat ini di Indonesia.

Syekh Yusuf dibaiat menjadi penganut tarekat Khalwatiyah di Damaskus, tempat yang didatanginya untuk menziarahi makam seorang sufi besar Muhyiddin Ibnu al-‘Arabi. Beliau dibaiat oleh Abu Barakat Ayyub bin Ahmad al-Khalwati al-Quraisyi, yang merupakan imam dan khatib di Masjid Ibnu ‘Arabi.

Namun, tarekat Khalwatiyah bukanlah satu-satunya tarekat yang membaiat Syekh Yusuf. Beliau juga dibaiat menjadi pengikut tarekat Qadiriyah selama menetap di Aceh dalam perjalanannya menuju tanah Arab. Muhammad Jilani bin Hasan bin Muhammad Hamid al-Raniri adalah yang membaiatnya yang merupakan paman Nur al-Din al-Raniri.

Syekh Yusuf mempelajari tarekat berikutnya di Yaman ketika beliau masih dalam perjalanan menuju Makkah. Syekh Naqsabandiyah, Muhammad ‘Abd al-Baqi al-Mizjanji di Nuhithah membaiatnya menjadi penganut cabang dari tarekat Naqsabandiyah. Syekh Ibrahim al-Kurani, ulama terkemuka di Madinah juga membaiat Syekh Yusuf menjadi pengikut tarekat Sattariyah. Syekh Ibrahim tersebut juga merupakan guru dari ulama Nusantara lainnya bernama Syekh ‘Abd al-Rauf Singkel.

Setelah menjalani pengembaraan keilmuan yang begitu luas, terutama dalam bidang tasawwuf menjadikannya ulama yang mumpuni. Setelah kepulangannya dari tanah Arab beliau menjadi penasehat spiritual dari Sultan Ageng Tirtayasa di Banten. Beliau juga terkenal sebagai pemimpin karismatik bagi orang-orang Makassar dan Bugis yang bermukim di Banten.

Syekh Yusuf mendefinisikan al-insan al-kamil (manusia sempurna) yaitu orang-orang yang terikat kuat dengan syariat dan didukung dengan kebatinan hakikat. Terikat kuat dengan syariat itu ditunjukkan dengan selalu mengingat Allah Swt. dengan memperbanyak dzikir. Hal tersebut didasari dengan firman Allah, “Maka ingatlah Allah sebanyak-banyaknya”. Berbagai macam ibadah wajib maupun sunnah yang telah diajarkan Nabi Muhammad saw. merupakan sarana untuk mengingat Allah.

Hal di atas tentu juga harus diimbangi dengan selalu bertafakur mengenai berbagai hal sepanjang waktu. Sesuai dengan firman-Nya, “Renungkanlah apa yang ada di langit…”, juga sabda Nabi, “Ingat-ingatlah karunia Allah, dan janganlah mempertanyakan tentang Zat Allah”. Dengan bertafakur seseorang akan dapat memperkuat kebatinan hakikat.

Syekh Yusuf melanjutkan, seorang hamba tidak akan sempurna kecuali apabila ia memiliki keadaan lahir dan keadaan batin. Keadaan lahir jika tanpa keadaan batin ia menjadi batil (tidak sah), begitu pun sesuatu yang batin jika tidak memiliki bagian yang lahir, ia menjadi kosong (tak bermakna). Hal itu didasarkan pada pendapat ahli makrifat. Syekh Yusuf menisbatkan pendapatnya tersebut kepada pendapat para ‘arif billah sebagai berikut:

“Barangsiapa mendalami fiqih (syariat) tanpa mau bertasawuf, maka dia benar-benar telah menjadi fasik, dan barangsiapa bertasawuf tanpa mendalami fiqih (syariat), maka dia telah menjadi zindik, dan barangsiapa yang mendalami fiqih dan menjalankan tasawuf, maka dia telah menemukan hakikat”.

Keselarasan antara syariat dan tasawuf tersebutlah kiranya dapat menjadi pegangan umat Islam di Indonesia, sehingga dapat mencapat derajat insan kamil yang didambakan. Wallahua’lam.

 


Like it? Share with your friends!

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
0
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
1
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
0
Wooow
Keren Keren
1
Keren
Terkejut Terkejut
1
Terkejut
Muchamad Mufid
Mahasiswa S2 PAI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals