Disertasi Abdul Aziz dalam minggu-minggu ini sedang dikerumuni banyak komentar. Hampir semuanya bernada miring, ngegas, bahkan jauh dari sikap intelek. Tak ketinggalan, MUI juga turut menyumbangkan pernyataan yang menyayangkan. Apakah demikian moralitas bekerja?
Setidaknya, dudukkan dulu penelitian Abdul Aziz tersebut pada horizon yang kompatibel, biar tidak asal persekusi, yang malah mencederai spirit moralitas dan kaidah keilmuan.
Baiklah, anggap penelitian tersebut bermasalah dari sisi sosial-budaya-agama, lantas tidaklah elok juga kalau ente-ente menolak pengetahuan. Boleh berang, namun sertakan penelitian seimbang dan seilmiah disertasi tersebut untuk membungkamnya?
Tidak fair bukan produk illmiah dihakimi dengan nalar kaki lima? Benar-benar tidak fair. Wajar kalau ada selisih nilai. Baiknya gunakan acuan epistemologi yang sepadan, agar letak cacat ilmiahnya bisa diketengahkan. Juga, rasanya akan sulit kata bijak diperoleh kalau benturan epistemologi dilanggengkan. Asal serobot sana-sini. Serupa klaim fuqaha ke punggawa tasawuf, ahli syariat ke kaum makrifat, kutu buku ke gamers, entrepeneur ke PNS, dan seterusnya. Jadilah tunabijak.
Dan lagi, apa hebatnya penelitian tersebut, biasa saja. Prasangka ente-ente menjadikannya bahaya dan seolah-olah punya daya pengaruh, bahkan diklaim menajisi iman. Betapa cekaknya akal, bisa-bisanya menolak pengetahuan.
Tenang saja. Penelitian tersebut takkan menemukan ruangnya di masyarakat. Mereka yang beragama dan beradat otomatis akan mendepaknya. Lantas, demi apa penelitian dosen IAIN Surakarta tersebut diheboh-hebohkan? Bahkan dengan penuh semangat menghardik UIN Sunan Kalijaga sebagai institusi pendidikan Islam yang bermasalah. Terlalu.
Bagaimanapun, tidak bisa ditapik bahwa UIN Jogja sebagai kiblat bagi UIN-UIN di Indonesia. Anda bisa rasakan aura dan produksi keilmuan di sana benar-benar hidup. Senarai dosen di sana juga demikian, bernas lagi berintegritas.
Di saat produksi pengetahuan di lingkungan UIN sepi-senyap, polemik disertasi hubungan seksual nonmarital sedikit banyak menyudahi kemarau perdebatan intelektual. Kesempatan ini seharusnya dikondisikan untuk memperkaya diskursus keilmuan, bukan malah sebaliknya, ajang caci-maki dan pembudidayaan sentimen.
Kehebohan disertasi tersebut akhirnya mendedahkan kejumudan intelektual mereka yang mengaku akademisi tulen. Sangat miris, saya dapati beberapa akademisi yang bergelar mentereng turut melemparkan kritik pedas ternyata baru mengenal Muhammad Syahrur setelah booming disertasi tersebut. Tepok jidat. Emosi bergerak lebih kencang ketimbang nalar. Rak masok blass.
Poin pentingnya, UIN Sunan Kalijaga (Suka) yang dikenal mengedepankan watak inklusif dan progresif, lewat kejadian tersebut seolah menyentil banyak kampus Islam di lingkungan PTKIN, untuk mereformasi kurikulum yang selama ini terbilang konservatif dan membosankan. Anda boleh tanya ke siapa pun yang sebelumnya belajar di daerah lalu masuk ke UIN Suka, sebagian besar terkaget-kaget, sebagian lagi tercerahkan. Gak setuju, gak apa-apa. Please jangan ngegas.
Melihat reaksi yang muncul, bisa disimpulkan bahwa kelangsungan Islamic studies masih bergerak di tempat dan lamban. Integrasi Islam dan sains yang digadang-gadangkan banyak kampus Islam di lingkungan PTKIN, hanya bunyi belaka. Jika terhadap gagasan modernisme masih ditanggapi dengan perasaan melow alias baper. Entah kapan riset Islamic Studies melahirkan paradigma besar dan bombastis, yang mengangkat marwah peradaban Islam di mata dunia. Jadilah per-UIN-an laiknya rumah ibadah nan suci lagi sakral.
Soal seks luar nikah, bukan lagi fenomena kemarin sore. Ada atau tidaknya penelitian tersebut faktanya seks nonmarital sudah merajalela. Lagian, pezina tidak akan mungkin mencari-cari keabsahan lewat disertasi tersebut. Mubazir di waktu.
Pergaulan yang semakin hedon, keterbukaan media, menjadi faktor kian maraknya perzinaan, yang bukan hanya menjangkit muda-mudi, juga om dan tante (sudah menikah). Hukum kita masih inkonsisten mengatur hal ini, sedangkan kontrol sosial di masyarakat urban kian melemah. Ada memang kelompok masyarakat yang punya inisiatif dan keresahan, sayangnya, kebanyakan menitikberatkan pada main hakim sendiri (vigilante), sedangkan titik persoalan terabaikan.
Para orang tua dibuat tak berdaya melihat kelakuan free sex muda-mudi dewasa ini. Tak sedikit yang berakhir bunting. Ada pula yang nekat merekamnya. Ketika tersebar, tak pelak guncangan mental meneror seisi keluarga. Pemburu link pun sorak-sorai. Persekusi sosial deru-menderu. Tak sedikit pula yang ngedrop dan berakhir stres. Masa depan pun tutup buku. Tak sedikit kita temukan fenomena tersebut di masyarakat, bukan?
Kita sama sepakat zina itu melabrak nilai. Namun, sebagai manusia nilai apa tidak sebaiknya sikap diskredit terhadap korban perzinaan diminimalisir seraya meramu kebijakan yang ideal? Pada sudut ini, riset Abdul Aziz baiknya dilihat.
Akhirnya, ada yg mewakili. Hatur nuhun bung