Bagi mahasiswa pasti sudah tak asing lagi dengan istilah kupu-kupu dan kura-kura bukan? Apalagi saat awal kali kita masuk kuliah lalu mengikuti kegiatan ospek. Pasti senior selalu menegaskan jangan menjadi mahasiswa kupu-kupu. Mau jadi apa bangsa ini kalau kalian jadi mahasiswa kupu-kupu?
Pasti sudah tergambar dengan jelas jika mahasiswa kupu-kupu orangnya nampak cupu, kuper, dan nggak ideal sama sekali. Sedangkan mahasiswa kura-kura sudah pasti keren, jago beretorika serta cerdas dalam mengatur waktu. Seringkali anggapan terhadap mahasiswa kupu-kupu pastilah seorang yang apatis.
Perlu kita ketahui, bahwasanya sikap apatis itu bukan datang begitu saja. Ada asap tentu ada api. Apatis pasti memiliki penyebab. Entah itu datang dari lingkungan maupun dari tekanan emosional.
Menurut para ahli, berikut penyebab seseorang menjadi apatis. Pertama, tidak percaya lagi pada orang lain; hal tersebut terjadi disebabkan seseorang itu terlalu sering dikecewakan serta merasa dikhianati oleh orang yang disayangi atau juga orang yang dipercaya.
Kedua, tekanan emosional; hal tersebut dapat disebabkan oleh perilaku yang tidak menyenangkan dari orang lain, misalnya dirundung terus-menerus. Ketiga, kekurangan fisik; tidak jarang seorang apatis kehilangan rasa percaya diri disebabkan kekurangan fisiknya sehingga mengundang cibiran orang lain. Dan terakhir, kurang kasih sayang; orang yang kurang kasih sayang biasanya dapat menyebabkan seseorang menjadi apatis.
Dari beberapa penyebab di atas, mustahil jika sikap apatis berasal bawaan dari lahir. Mungkin mahasiswa kupu-kupu yang disebut apatis pastinya tidak terima jika dikatakan ”Mahasiswa apatis tak berguna untuk kemajuan bangsa” atau “Mahasiswa kok kupu-kupu, dasar apatis!”
Pasalnya kata-kata itu sering dilontarkan oleh mahasiswa organisatoris yang memandang mahasiswa kupu-kupu sebelah mata. Ada lagi yang mengatakan bahwa “Mahasiswa apatis=sampah”. Hal semacam itu apakah etis bagi seorang organisatoris yang notabenenya berorganisasi untuk berproses guna kemajuan bangsa, tetapi malah mendiskriminasi sesama mahasiswa.
Kembali lagi pada mahasiswa kupu-kupu. Tak selamanya mahasiswa yang setelah selesai kuliah lalu pulang itu tidak peduli terhadap organisasi kampus atau terhadap UKM yang ada. Bisa jadi mahasiswa tersebut memiliki kesibukan lain seperti bekerja guna menghidupi kehidupan sehari-harinya. Mahasiswa yang sambil bekerja itu sangat perlu diapresiasi. Karena ia tak banyak mengobrolkan teori ini itu dan tak banyak berkoar-koar di atas mimbar, tetapi langsung memanfaatkan peluang ekonomi untuk menopang hidup serta masa depannya.
Selain bekerja, adapula mahasiswa tipe kupu-kupu yang memiliki hobi menulis, seperti artikel, sastra, bahkan tulisan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan serta dapat memberi kontribusi untuk masyarakat.
Dalam kehidupan mahasiswa, tak selamanya pula mahasiswa kura-kura itu ideal. Faktanya sebagian dari mereka juga banyak yang berkoar di atas mimbar tentang keadilan dan kekerasan seksual tetapi penis di bawahnya membual.
Banyak pula yang dengan gagah satu tangannya terkepal tetapi tangan yang lain doyan menyodor proposal. Memang betul kata Albert Camus, jika hidup ini penuh dengan ketidakpastian.
Mahasiswa kura-kura tak selalu ideal dan mahasiswa kupu-kupu tak selalu gagal. Justru kenyataan pada saat ini mahasiswa kura-kura mengikuti organisasi hanya untuk mencari kekuasaan serta kedudukan. Hal seperti itulah yang menjadikan politik di Indonesia tak sehat. Sejak di bangku perkuliahan saja banyak yang salah kaprah dalam berorganisasi. Pemilihan ketua BEM kampus, misalnya, mempertontonkan ambisi politik praktis lebih diminati oleh mereka yang mendaku aktivis tulen itu.
Mengapa saya menuliskan bahwa mahasiswa kupu-kupu juga aset bangsa? Yang pertama, adanya mahasiswa kupu-kupu menjadikan organisatoris seperti BEM kampus lebih berguna. Tanpa adanya mereka, untuk apa adanya BEM? Siapa pula yang diatur mereka kalau bukan mahasiswa kupu-kupu, di antaranya. Kedua, mahasiswa kupu-kupu yang bekerja bisa membantu negara dalam hal perpajakan.
Ketiga, sebagian mahasiswa memilih kupu-kupu karena ia ingin fokus pada hobinya seperti menulis maupun berkarya. Dari karya-karya itu pula mereka dapat berpartisipasi untuk kemajuan bangsa.
Jadi, saat ini perbedaan antara mahasiswa kupu-kupu dengan mahasiswa kura-kura terlalu kuno untuk diperdebatkan. Semua itu fungsional dan saling melengkapi. Setiap mahasiswa juga memiliki soft skill yang berbeda-beda. Perbedaan itu dapat dikembangkan melalui jalur masing-masing.
Jika ada mahasiswa aktivis atau kura-kura yang menilai bahwa mahasiswa kupu-kupu itu tidak berguna, apatis, atau apa pun itu, dapat dipastikan bahwa si aktivis itu memang belum benar-benar tulus dalam memberikan kontribusi terhadap organisasinya maupun bangsa Indonesia.
WS Rendra pernah mengatakan bahwa kesadaran adalah matahari. Marilah tingkatkan kesadaran bahwa setiap orang memiliki fungsi dan peran terhadap kehidupannya masing-masing. Apa gunanya menggembor-gemborkan perihal keadilan, pendidikan, dan kritikan terhadap negara, jika terhadap sesama mahasiswa masih ada sekat. []
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Apakah Anda menyukainya atau sebaliknya? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom bawah ya!
Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!
One Comment