Buku ini saya dapatkan pada acara Festival Kecil Literasi dan Pasar Buku yang diselenggarakan oleh Patjar Merah di Yogyakarta pada bulan Maret, 2019. Niat awal ingin mencari novel-novel klasik terbitan Balai Pustaka, dan alhamdulillah berhasil saya dapatkan.
Buku ini saya temukan secara tak sengaja. Saya begitu tertarik dengan genre buku ini, novel sejarah. Penulisnya adalah Wandi Badindin, dari namanya sangat mudah diketahui ia berasal dari mana. Saya tertarik untuk membacanya karena berhubungan dengan tanah kelahiran saya sendiri, Minangkabau. Ketertarikan ini merupakan sebuah usaha untuk menyelami kembali suasana yang terjadi di masa lampau, baik dari segi adat, tradisi, budaya, sosial, keagamaan, terutama konflik-konflik yang menghiasi novel tersebut.
Buku ini termasuk fiksi, namun ditulis berdasarkan catatan dan dokumen yang otentik. Penulis berupaya dengan segala keterbatasan yang ia miliki untuk menerawang sejarah yang terjadi pada awal abad ke-20 di tanah Minangkabau, terkhusus di Paninggahan. Novel ini begitu kompleks, mencakup semua permasalahan dan persoalan yang terjadi. Agama, adat, budaya, cinta, perlawanan, pertemanan, pergerakan, modernisme, tradisionalisme serta nasionalisme menjadi perbincangan yang hangat dalam novel ini.
Surau menjadi suatu tempat yang tak luput dalam novel ini. Surau menjadi suatu bagian terpenting dalam pergerakan di Minangkabau. Keberhasilan pendidikan di surau, dapat kita lihat dari tokoh-tokoh nasional yang berasal dari Minang. Sebut saja, misalnya Moh. Hatta, Haji Agus Salim, Buya Hamka, Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Moh. Yamin dan lain sebagainya.
Noeroet seorang ‘Pakiah’
Begitu gelar yang disandang oleh Noeroet setelah menimba ilmu di Payakumbuh, tahun 1920-an. Ia pulang ke kampung halamannya – Paninggahan – dengan rasa bangga. Pada saat itu, belum ada istilah ‘santri’ di bumi Minangkabau. ‘Santri’ di Minang – pada saat itu – biasa dipanggil dengan sebutan urang siak, pakiah, atau murid.
Namun, gelar yang ia sandang tidak sesuai dengan ekspektasi nalar masyarakat pada waktu itu. Harapan masyarakat, seharusnya Ia fokus menjadi guru di surau. Atau ia bisa menyambung sekolahnya ke Mekah hingga mendapatkan gelar ‘Syekh’. Tapi kenyataannya, ia harus berhadapan dengan kolonialisme yang berkuasa pada waktu itu.
Sebagai orang yang terpelajar, Noeroet sudah menjadi lirikan banyak orang. Orang yang berdatangan ke rumahnya dengan maksud baik, yaitu menikahkannya dengan seorang gadis se-nagari Paninggahan, Kiyah namanya. Bagaimana orang tidak tertarik dengan Noeroet, ahli ilmu agama, anak saudagar, pandai bertani karena sudah diajarkan oleh ayahnya sedari kecil. Apakah ia bisa segera menikah? Atau ia harus menghadapi beberapa tantangan terlebih dahulu?
Dua Ribu Batang Kopi
Datuak Bandaro Nan Hitam bercerita kepada Noeroet:
“…Dua tahun sesudah itu, pada tahun 1914, pucuk pimpinan nagari kita berada di tangan Datuak Kayo, dan dua tahun kemudian jabatan itu pindah pula ke tangan Angku Palo (hoofd) Datuak Banda Gamuk. Sekarang pada tahun 1920, yang sedang berkuasa adalah Angku Palo Datuak Rajo Nando. Semua pimpinan nagari tersebut berasal dari pimpinan adat yang ditunjuk oleh pemerintah Hindia-Belanda, pemimpin adat yang sedia dengan setulus hati mengabdi pada tuan penjajah, bukan pada anak kemenakan”. (hlm. 18)
Apa yang dilakukan oleh hoofd bertentangan dengan adat Minang. Para Datuak seharusnya mengayomi anak-kemenakan mereka, bukan menyengsarakan mereka dengan tunduk setia kepada kolonial. Apa yang dilihat oleh Noeroet sangat bertentangan dengan falsafah adat Minang. Apa yang salah? Atau siapa yang salah? Apakah amanah terletak pada pundak yang salah? Atau falsafah adat yang tak sanggup menahan arus kemajuan zaman? Noeroet sadar, ia harus berani melawan penjajah. Tetapi, ia tidak mengetahui caranya. Ia orang sekolah agama. Ilmu untuk melawan penjajah tak ia miliki, sangat mewah, mahal, dan terletak jauh di luar Paninggahan yang terbelakang ini.
Datuak Rajo Nando sebagai kepala nagari (hoofd), ditawari oleh asisten residen Belanda untuk menanam kopi karena memiliki nilai ekonomis yang tinggi, serta dapat dijual kepada pihak pemerintah Hindia-Belanda. Padahal, tanah Paninggahan pada saat itu berbentuk sawah dan ladang di mana anak-kemenakan makan dari hasil keduanya. Belanda menawarkan untuk menanam kopi agar sistem perekonomian menjadi hidup. Bagaimana caranya? Ya, pakai uang (gulden). Mereka berdua bersalaman menandakan menyetujui kontrak tersebut.
Apa yang ditemukan Noeroet saat pulang sangat berbeda, menyiksa batinnya. Masyarakat Paninggahan berada di bawah cengkeraman Belanda, mulai dari menanam kopi hingga kopi tersebut siap untuk dikirim. Hasil panen berbanding terbalik dengan yang dirasakan masyarakat Paninggahan. Hasil panen semakin bagus, tetapi kesusahan semakin menjadi-jadi pula.
Keluarga Kiyah telah datang ke rumahnya. Singkat cerita, ia bersedia menikah dengan Kiyah. Tentu, sebagai anak kemenakan yang beradat ia harus minta izin ke Angku Datuak Rajo Nando sebagai hoofd di Paninggahan.
“Saya mau menikah, Engku.”
“Sudahkah Pakih menanam kopi?”
Ia bingung, apa hubungannya menanam kopi dengan menikah. Namun, ia berusaha menjawab, “belum, Engku”.
“Kalau begitu nikahi saja ibumu”, kata Engku yang langsung berdiri melayani tamu berikutnya.
Noeroet merasa terhina, lemah dan gemataran. Apa gunanya belajar agama jauh-jauh ke Payakumbuh, lalu disuruh menanam kopi. Terbesit dalam hatinya, ingin membawa lari Kiyah, lalu menikah di negeri orang saja, keluar dari Paninggahan. Beruntung Sutan Radjo Lelo mau mencarikan jalan keluarnya. Ia dimodali sebanyak 60 gulden untuk menanam kopi sebanyak 2000 batang. Begitu syarat menikah bagi pemuda semenjak Datuak Radjo Nando menjabat sebagai hoofd, harus menanam 2000 batang kopi terlebih dahulu.
Kata mufakat-pun datang setelah Noeroet menyanggupi permintaan keluarganya. Ia tetap harus menanam sebanyak 2000 batang kopi. Hasil menanam kopi itu nantinya, entah untuk menghidupi keluarganya, atau untuk hoofd yang berkoloni dengan Belanda. Ia terjebak dalam aturan ‘adat’-nya. Seharusnya ia berani membela kaumnya bukan malah beristri terlebih dahulu dan diperbudak oleh Belanda untuk menanam kopi.
Thaib, Kawan yang ‘Cadiak’ dan Penuh Siasat
Apa yang dimaksud dengan ‘cadiak’? Orang-orang sering memaknai ‘cadiak’ dengan konotasi yang negatif. Padahal, ‘cadiak’ memiliki makna positif yang biasa digunakan untuk mempertahankan sesuatu yang menjadi hak pribadi. Haji Agus Salim adalah orang yang dapat dikatakan sebagai orang ‘cadiak’. Ia mampu melakukan diplomasi secara maksimal dengan segala potensi yang dimilikinya. Keberhasilannya sebagai diplomat ulung diakui tatkala ia diutus oleh Presiden Soekarno untuk mencari pengakuan atas kemerdekaan Indonesia secara de jure di Mesir. Deifinisi ‘cadiak’ ini akan terlihat jelas dalam cerita ini, sebagaimana yang dilakukan oleh Thaib, teman Noeroet.
Setahun kemudian, Noeroet dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Hasan. Pikirannya tetap selalu terbelenggu. Ia tidak memiliki kekuatan untuk membawa keluarganya keluar dari penderitaan ini, apalagi kaumnya. Suatu hari, Thaib temannya pulang dari Padang Panjang yang pada saat itu terkenal dengan gerakan modernnya. Ia adalah pelajar di Sumatera Thawalib, yang membawa angin segar ke Paninggahan. Thaib dan Noeroet memiliki tujuan yang sama, ingin melawan penjajah. Thaib menjadi ‘otak’ pergerakan para pemuda surau pada waktu itu. Bagaimana cara mereka melakukannya? Apakah dengan kekerasan? Tentu saja tidak.
Mereka mengirim surat kepada Belanda di Batavia (Jakarta) agar memberikan sebagian lahan perladangan untuk penghidupan anak nagari. Hal yang mereka lakukan sebenarnya tidak sesuai dengan kebiasaan masyarakat di sana, yang belum mengetahui tentang tulis-menulis. Jadi, beberapa pimpinan kaum agak terkejut setelah mengetahui akan hal tersebut.
Surat yang mereka kirim ke Majelis Volksraad di Batavia ternyata mendapatkan tanggapan dari Angku Palo, Datuak Rajo Nando. Para pimpinan setiap kaum diundang untuk hadir rapat. Akan tetapi, mereka para pemuda surau tidak diundang dalam rapat tersebut. Namun, mereka tetap memutuskan untuk pergi, walaupun tidak diundang.
Ketika rapat, mereka ternyata dipersilakan oleh pimpinan rapat untuk menyampaikan niat dari surat yang mereka kirim. Mereka berhasil meyakinkan bahwa usulan yang diajukan ke Pemerintah Hindia-Belanda bermanfaat bagi anak nagari. Rapat tersebut menghasilkan keputusan bulat dengan mengirimkan surat balasan untuk meminta tanah larangan milik pemerintah untuk dikelola anak nagari. Ilmu yang mereka miliki ternyata mampu menyulam selembar kertas dan setetes tinta menjadi racun bagi pemerintah Belanda, sebuah awal yang baik.
Gempa Padang Panjang, Teguran untuk Siapa?
Seiring berjalannya waktu, pergerakan mereka mulai dikeruhkan oleh Pakiah Pasang serta Angku Palo yang baru, Datuak Madjo Endah. “Lihatlah, angin dari kaki Gunung Merapi telah merusak dinding surau!” Namun, mereka berusaha tetap bertahan.
Pada tanggal 28 Juni 1926 M/18 Zulhijjah 1344 H terjadi gempa yang cukup dahsyat menghancurkan kota Padang Panjang dan sekitarnya. Orang-orang mengira kiamat akan terjadi. Allah murka. Dunia telah berada di akhir masanya. Gempa tengah hari tersebut menjadi sebuah teguran. Surau menjadi sesak, orang-orang banyak yang bertaubat.
Padang Panjang hancur, porak poranda. Aktivitas belajar lumpuh total. Sekolah modern itu hancur. Bagaimana nasib Thaib? Ia terpaksa pulang ke Paninggahan dan siap untuk dikato-katoan. “Allah telah mengahncurkan sekolah agama (modern) yang sesat itu. Sekolah modern (katanya), tapi hancur berkeping-keping, sedang surau kami tak beranjak, pasaknya pun masih seperti semula”, begitu kata orang-orang tradisionalis di kampung-kampung. Khotbah jum’at yang disampaikan oleh ulama-ulama tarekat tidak jauh dari kehancuran sekolah modern dan Padang Panjang. Mereka merasa terbuang, terutama Thaib. Surau tidak dapat lagi jadi markas mereka untu berdiskusi,
Tak hanya sampai disitu, mereka berlima termasuk Pakiah Pasang ditangkap oleh serdadu Belanda. Mereka disiksa. Thaib yang memiliki badan paling kecil mendapatkan siksaan yang lebih berat. Mungkin, karena ia menjadi ‘otak’ dari semua yang mereka lakukan. Lebih dari itu, ia juga pintar dan fasih berbahasa Belanda.
Thaib Menjadi ‘Hoofd’
Beberapa saat setelah itu, Thaib memutuskan untuk keluar dari Thawalib karena suatu hal. Ia telah terpuruk. Ia mohon izin untuk tidak bergabung lagi dengan pemuda surau yang berada dalam pergerakan. Sebelum pamit, ia memberikan Noeroet sebuah buku karangan Datuak Tan Malaka yang berjudul ‘Naar de Republiek Indonesia’.
Teman-temannya bertanya-tanya, “apa yang terjadi dengan Thaib?” Mereka suuzan dengan apa yang telah dilakukan Thaib, nyalinya ciut. Akan tetapi, Pakiah Pasang mencoba menerka-nerka, “mungkinkah Thaib akan jadi hoofd ?”
Ternyata memang. Thaib mulai menanam dua ribu batang kopi. Ia mulai ‘mengikuti’ aturan untuk menjadi seorang hoofd. Ia telah bersiap-siap untuk menikah dengan gadis pujaan hatinya. Gelar ‘datuak’-pun lekat padanya ‘Datuak Soetan Mangkoeto’. Sementara Noeroet terus berusaha menamatkan buku karangan Tan Malaka tersebut, sehingga ia kurang memperhatikan isi dapurnya.
Hoofd yang lama telah mangkat sehingga harus ada yang menggantikannya. Dua nama yang digadang-gadangkan adalah Datuak Toemanggoeng Radjo dan Datuak Soetan Mangkoeto (Thaib). Tuan demang Solok dan Tuan asisten residen Sawah Lunto akhirnya memutuskan Datuak Toemanggoeng Radjo sebagai hoofd yang baru. Akan tetapi ia menolak, karena tidak siap menghadapi permasalahan yang ada di Paninggahan. Datuak Bandaro Nan Hitam sebagai orang sepuh mencoba mendekati Belanda dengan mengajukan Datuak Soetan Mangkoeto. Akibat ‘rayuan’ tersebut, Belanda menyetujui dan diangkatlah Datuak Soetan Mangkoeto sebagai hoofd (Angku Palo) baru.
Sengketa Belum Putus, Revolusi Belum Selesai
Kembali lagi membahas surat yang dikirimkan oleh Datuak Soetan Mangkoeto (Thaib) sebelum ia menjadi hoofd, atau tatkala ia aktif melakukan diskusi bersama pemuda surau yang lain. Surat itu menjadi sebab anak nagari baku-hantam dengan serdadu Belanda yang menjaga hutan larangan, sebagaimana yang disebutkan dalam surat. Tipu muslihat yang dilakukannya dulu memberikan efek terhadap anak nagari. Akhirnya, Datuak Soetan Mangkoeto didatangi oleh asisten residen untuk menanyakan perihal tanah larangan tersebut.
Ia harus berani menghadapi Belanda sendirian. Teman-temannya tidak ada lagi yang peduli. Noeroet sibuk memikirkan isi dapurnya sembari mengkhatamkan buku Tan Malaka, Bidin sibuk dengan perkumpulan pemuda surau, sedang Pakiah Pasang melanjutkan mengaji dengan ulama tarekat.
“Apakah Tuan mengetahui mana saja daerah yang tersebut daerah yang tersebut dalam surat itu? Adakah Tuan-tuan mengetahui mana dia yang Rimbo Hulu, Batu Agung, dan Bukit Junjung Sirih?” Pertanyaan ini yang membuat Datuak Soetan Mangkoeto terpelanting ke dinding setelah mejanya ditendang oleh orang Belanda. “Hanya akal yang aku punya sekarang, serta keberanian. Kawan-kawanku sudah pergi. Belanda itu harus kuakali”, ucap Noeroet dalam hati. (hlm. 294)
Sebelas tumpak perladangan yang digolongkan kepada rimba larangan tersebut adalah Boekit Pandjang, Boekit Labi, Kapalo Tango, Bintoengan, Parak Pisang, Laboeh Kabau, Kosok Kandang, Dama, lereng boekit Rimbo Sitoempak, lereng boekit Limau Kapeh, dan lereng boekit Batoe Koedo. Sebelas lahan ini merupakan bagian dari tiga lahan yang disebutkan dalam surat tersebut yang dapat digunakan oleh anak kemenakan, yaitu: Rimboe Hoeloe, Batoe Agoeng, dan Boekit Djoenjoeng Sirih. Artinya, secara lebih mudah dipahami adalah, Belanda boleh mengambil alih Pulau Jawa, Sulawesi dan Maluku kecuali wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Di sinilah kecerdikan yang dimiliki oleh Thaib, ‘tipu-muslihat’ itu-pun berhasil.
Perang Dunia II meletus begitu dahsyat, pengaruhnya sampai ke Indonesia. Jepang menang, Belanda kalah. Noeroet tidak lagi tidur di rumah. Ia menjadi guru dan menetap di surau. Hasan sudah memiliki 6 orang adik. Ia harus menjadi tulang-punggung keluarga. Ayahnya berpesan, “Banyak-banyaklah membaca, dan bergaulah dengan orang cerdik-pandai. Dan milikilah sikap idealis. Sebab idealis itu adalah pakaian”. Hasan semakin rajin ikut latihan bersama pasukan Seinedan untuk menyambut gerbang kemerdekaan Indonesia, semakin akrab dengan Muhammadiyah. Sengketa belum lagi putus, pergolakan masih berlanjut, revolusi belum selesai.
Judul : Sengketa
Penulis : Wandi Badindin
Penerbit : Wahana Jaya Abadi
Cetakan : ke-1, 2016
Halaman: viii + 335 halaman
ISBN : 978-602-72015-6-9
One Comment