Bahaya Maksiat Bagi Iman

sebelum menghakimi atau menjudge seseorang hendaklah kita introspeksi diri, berkaca apakah kita ini sudah baik6 min


2
2 points

Ada beberapa penyebab keimanan seseorang melemah. Pertama, sebab kebodohan atau ketidak tahuannya, karena sesungguhnya jika kita tidak tahu atau bodoh bagaimana cara kita untuk beriman? Hal ini sebagaimana ilmu yang merupakan salah satu sebab bertambahnya iman seseorang, maka kebodohan adalah salah satu sebab berkurangnya iman seseorang.

Kedua, karena pergaulan, karena sesungguhnya teman dan lingkungan sangatlah berpengaruh terhadap sikap atau tingkah laku seseorang, jika kita berteman atau berada di lingkungan baik maka bisa dipastikan kita pun akan ikut baik, jika teman atau lingkungan kita buruk maka niscaya kita pun akan dianggap buruk. Karena banyak orang zaman sekarang yang masih kalah kuat dengan hawa nafsu yang dimilikinya, banyak yang sudah menata niat ingin berubah menjadi lebih baik namun karena faktor lingkungan membuat iman mereka kembali rapuh. Mereka benar-benar ingin bertaubat namun ada saja yang membuat mereka kembali terjerumus kedalam maksiat tersebut.

Ketiga, sebab berbuat dosa atau maksiat. Dan masih banyak lagi sebab-sebab berkurangnya keimanan yang lain. Namun pada pembahasan ini, penulis akan banyak mengulik mengenai berkurangnya iman sebab yang ketiga yaitu banyak berbuat dosa dan maksiat.

Bukankah setiap perbuatan mempunyai konsekuensi? sudah jelas bahwa maksiat merupakan perbuatan tercela dan memiliki konsekuensinya. Siapa yang melakukan maksiat akan menghalangi dia untuk mendapatkan rezeki dari Allah SWT. Jika ketakwaan adalah penyebab datangnya rezeki, maka meninggalkan ketakwaan berarti menimbulkan kefakiran. Rasulullah saw. pernah bersabda, “Seorang hamba dicegah dari rezeki akibat dosa yang diperbuatnya.” (HR. Ahmad).

Jika kita terus memenuhi jiwa kita dengan debu-debu maksiat yakinlah bahwa kita akan sulit mendapatkan rezeki dan jika kita masih diberi rezeki tentu rezeki tersebut tidak akan barakah. Maksiat membuat kita terhalang dari orang-orang baik bahkan kepada Allah SWT, dalam hati kita tak ada perkara yang lebih pahit daripada kegersangan dosa di atas dosa.

Jika seseorang melakukan maksiat dia akan merasa adanya sekat dirinya dengan orang-orang baik bahkan keluarganya sendiri. Tingkah laku sampai tutur kata mereka jelas berbeda, orang yang ahli maksiat dengan ahli ibadah jelas berbeda bagaimana cara ia berkomunikasi dengan keluarganya. Bagimana kita bisa mendapat syafaat Rasul jika kita sendiri tidak pernah mengamalkan sunnahya.

Jika kekasih Allah saja tidak mau menolongnya bagaimana dia mendapat pertolongan di akhirat sedangkan orang tuanya sendiri pun tidak mampu menolong dirinya, segala maksiat tidak ada manfaatnya malah membuatnya jatuh jauh dalam ketidak tenangan dalam segala hal.

Berikut ini merupakan sebuah hadits Nabi Saw. yang membahas mengenai maksiat mengurangi keimanan seseorang:

قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وزاد في رواية: وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ النَّاسُ إِلَيْهِ أَبْصَارَهُمْ فِيهَا حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ

Abu Hurairah r.a. berkata : Nabi Saw. Bersabda : Tidak akan berzina seorang pezina di waktu berzina jika ia sedang beriman. Dan tidak akan minum khamr, di waktu minum jika ia sedang beriman. Dan tidak akan mencuri, di waktu mencuri jika ia sedang beriman. Di lain riwayat: Dan tidak akan merampas rampasan yang berharga sehingga orang-orang membelalakkan mata kepadanya, ketika merampas jika ia sedang beriman. (Bukhari,Muslim).

Hadis di atas sangatlah menginspirasi penulis melihat bagaimana keadaan zaman sekarang, di mana maksiat dan perbuatan dosa sudah tak punya malu lagi untuk dipertontonkan. Hal ini menunjukkan bahwa jelas banyak orang yang sudah tidak lagi memperdulikan keimanan mereka.

Dari hadis tersebut juga dapat dimengerti bahwa orang yang bermaksiat akan mengurangi imannya. Maksiat sendiri adalah lawan dari taat, siapa yang melakukan perbuatan yang dilarang Allah SWT terhitung maksiat begitu juga siapa yang meninggalkan suatu perkara yang diperintahkan oleh Allah SWT juga terhitung maksiat. Sudah banyak contoh maksiat pada zaman ini dan yang paling diremehkan adalah musik padahal Nabi SAW bersabda bahwa akan ada suatu kaum yang menghalalkannya.

Musik adalah senjata ampuh bagi setan untuk melalaikan manusia dari mendengarkan Al-Qur’an. Orang yang suka musik biasanya tak bisa lepas dari mendengarkan musik bahkan ketika sudah asik mendengarkan musik dia lupa waktu shalat dan mengundurnya bahkan tetap memutar musik tersebut walaupun terdengar suara adzan padahal driwayatkan sebuah hadis: “Hendaklah kamu mendiamkan diri ketika azan, jika tidak Allah akan kelukan lidahnya ketika maut menghampirinya.”

Jika dalam lagu kebangsaan saja kita diajarkan untuk berdiri tegak dan berdiam diri lantas mengapa waktu azan berkumandang yang merupakan panggilan Allah kita tidak mendiamkan diri dan malah sibuk dengan aktifitas? Allah menjajikan surga bagi siapa yang dapat mengucapkan kalimah “Lailahaillallah” dengan izinnya tapi bagaimana jika Allah kelukan lidahnya untuk mengucapkannya?
Masih banyak maksiat lainnya yang kita sendiri sadar akan hal itu namun kita lalai dan meremehkannya.

Memang manusia tempatnya salah dan lupa namun manusia sekarang banyak yang melakukan dosa dan tak lagi malu-malu mengakuinya.

Mengenai penggalan hadis yang berbunyi “Tidak akan berzina seorang pezina di waktu berzina jika ia sedang beriman”, hal ini sangatlah lumrah terjadi pada zaman sekarang terutama di kalangan pemuda-pemudi bahkan penulis sendiri-oleh karena itu hadis ini sangat menginspirasi- yang dikenal dengan istilah pacaran.

Meskipun banyak pemuda-pemudi Islam yang berdalih pacaran islami hal itu sangat tidak masuk akal, apakah ada dalil atau nash yang menunjukkan kebolehan berpacaran? Apa itu pacaran dengan cara islami? Apakah tidak saling bertatap muka atau tidak saling bergandengan tangan namun tetap bersua lewat telefon merupakan pacaran islami?. Zina bukanlah hanya sebatas zina fisik,  hati dan pikiran kotor (mesum) pun adalah zina.

Betul jika ia berdalih tidak bertatap muka, tidak bergandengan tangan dan lain sebagainya, namun apakah iya dia bisa menjamin via telepon tidak menimbulkan zina? Pada intinya Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk berpacaran. Jika ingin memenuhi kebutuhan seks maka Islam menganjurkan menikah atau menahannya dengan cara berpuasa bukan dengan jalan zina semisal pacaran.

Nah, hal di atas saja sudah tidak diperbolehkan apalagi melihat fenomena yang banyak terjadi pada saat ini. Dimanapun, kapanpun kita banyak menemukan sepasang muda-mudi yang “berpacaran”, di mall, sekolah, pasar, taman, rumah makan, dimana saja pasti kita jumpai orang berpacaran, baik siang, pagi, malam banyak kita melihatnya. Seakan-akan pemikiran anak zaman sekarang tidak gaul jika tidak merasakan apa itu pacaran. Sebagaimana slogan yang banyak terdengar “Hari gini gak pacaran? Apa kata dunia!”. Yah begitulah fenomena yang banyak kita jumpai pada zaman ini.

Sebenarnya sebelum jauh melangkah pada perihal pacaran, ada satu hal yang juga sangat lumrah terjadi pada zaman sekarang. Dimana laki-laki dan perempuan sudah tidak memiliki batas, dalam hubungan pertemanan saja misalnya.

Penulis melihat bahkan mengalami sendiri, banyak pemuda-pemudi yang bukan mahram saling bergurau, saling bersentuhan dan lain sebagainya. Dengan dalih organisasi, dengan dalih tugas dan lain sebagainya laki-laki dan perempuan berbaur menjadi satu tanpa adanya sekat atau pembatas yang menghalangi. Hal ini sangatlah disayangkan, bahkan penulis pribadi merasa menyesal akan ini.

Jika kita lihat kembali pada zaman dahulu, dimana seorang sahabat menundukkan pandangannya ketika ada wanita yang berjalan di depannya dan ketika itu terdapat angin kencang, sehingga membuat lekuk tubuh wanita yang memakai jubah itu terlihat sebagian, sontak saat itu juga, sahabat tersebut langsung menyuruh wanita itu berjalan di belakangnya. Hal ini jelas berbeda dengan zaman sekarang, dimana di sekeliling kita banyak sekali tanpa ada anginpun banyak wanita memamerkan bentuk tubuhnya.

Itulah mengapa keimanan dikatakan dapat mengurangi maksiat karena maksiat perbuatan yang dilarang Allah. Ketika orang beriman hendak melakukan maksiat padahal ia tahu maksiat adalah perbuatan yang dilaknat Allah maka berkuranglah imannya karena ia telah mengabaikan Allah padahal ia tahu Allah selalu ada dan mengawasinya. Sebagaimana sabda nabi Muhammad SAW:

Jika seorang berzina maka keluarlah iman itu daripadanya laksana asap (awan) diatas kepalanya, kemudian jika telah selesai berzina, maka kembalilah iman itu padanya. (HR Abu Daud, Turmudzi, dan Hakim)

Banyak orang menganggap bahwa pezina atau pelacur merupakan sesuatu yang tabu dan maksiat besar, hal itu benar adanya. Namun apakah yang dilakukan banyak orang bukanlah merupakan sebuah zina atau maksiat? Jadi sebelum menghakimi atau menjudge seseorang hendaklah kita introspeksi diri, berkaca apakah kita ini sudah baik, apakah yang kita lakukan sudah sesuai syari’at, apakah sikap kita sudah menunjukkan keimanan yang begitu kuat.

Oleh karena itu marilah kawan kita saling mengingatkan, saling membenahi. Sebelum menilai seseorang lihatlah apakah diri kita sendiri sudah baik atau belum.

Sedangkan dari penggalan hadis yang berbunyi ”Tidak akan minum khamr di waktu minum jika ia sedang beriman” hal inipun sama halnya dengan perbuatan zina. Banyak penulis dengar dan temui mengenai hal ini, dimana orang dengan bangganya menunjukkan perbuatan maksiatnya tersebut.

Menurut pengalaman penulis, dengan mendengar sendiri dari pelaku peminum khamr atau minuman keras, bahwa alasan mereka meminum miras tersebut agar tubuh terasa hangat dan mencegah dari udara dingin. Di sinilah keimanan seseorang patut dipertanyakan, bukankah sudah jelas nashnya dalam Al-Qur’an mengenai keharaman meminum khamr atau minuman keras.

Ada pepatah yang mengatakan “Ibadah yang kita lakukan belum tentu berpahala, sedangkan maksiat yang kita buat sudah pasti menghasilkan dosa” namun mau sampai kapan kita terus mau seperti tidak ada tanggungan, bukankah semua orang islam walaupun yang imannya kurang dia tahu bahwa setiap yang hidup pasti mati, sudah tahu mana halal mana haram, tahu surga dan neraka bahkan tahu pahala dan dosa namun tetap meremehkan segala dosa.

“Tidak akan mencuri, di waktu mencuri jika ia sedang beriman”. Mencuri secara makna etimologi adalah tidak memberikan hak pada yang berhak, misalnya seorang pemimpin perusahaan tidak memberikan gaji pada pegawainya itu merupakan mencuri, atau seorang ahli waris tidak memberikan warisannya pada ahli waris lainnya itu juga dapat dinamakan mencuri.

Sebenarnya rezeki seseorang itu sudah ditentukan oleh Allah sejak usia kita masih empat bulan di rahim ibu, dan bagian yang sudah ditentukan itu tidak akan tertukar dengan bagian orang lain. Karena sebab itu, untuk apa kita mengambil rezeki orang lain.

Dunia dengan segala kenikmatan dan gemerlapnya telah membuat banyak orang berusaha dan berlomba-lomba untuk bisa menggapai dan menguasainya. Mereka sudah tidak peduli lagi apakah ia berasal dari sumber yang haram atau dari sumber yang halal. Dan salah satunya dengan cara mencuri itu tadi.

Mencuri dengan segala jenisnya adalah merupakan perbuatan haram karena ini masuk di antara memakan harta orang lain dengan cara yang batil. Sebenarnya hukuman mencuri ini ada hukuman tersendiri di dunia yaitu hukuman potong tangan atau qishas. Namun di Negara kita tidak diberlakukan ketentuan ini dikarenakan Indonesia merupakan Negara yang tidak semua rakyatnya memeluk agama Islam.

Melihat pengertian mencuri itu sendiri maka koruptor juga adalah merupakan pencuri. Karena mereka mengambil harta rakyat yang bukan merupakan haknya dengan sembunyi-sembunyi atau dengan jalan batil.Jika ada orang yang melakukan pencurian itu artinya imannya dicabut, bahwa ketika ia mencuri imannya tercabut sehingga ia tidak sadar maka oleh karena itulah ketika imannya sudah kembali atau ia sudah sadar akan perbuatan dosanya maka ia harus bertaubat dan mengembalikan harta yang ia curi tadi.

Mencuri tanpa adanya kekerasan saja haram, apalagi merampok yang mengambil atau merampas harta milik orang lain yang bukan miliknya diserati dengan kekerasan, ancaman, menggunakan senjata tajam bahkan sampai membunuh, maka ini termasuk dosa besar dan hukumnya haram dan lebih berat hukumannya daripada hukuman sekadar mencuri.

Perlu diketahui bahwa berkurangnya iman, jika sampai menyebabkan meninggalkan perkara wajib atau melakukan perkara haram, merupakan keadaan yang berbahaya. Pelakunya tercela dan wajib bertaubat kepada Allah SWT.

Setiap amalan ada masa semangatnya, dan masa semangat ada masa jenuhnya. Barangsiapa kejenuhannya dipalingkan kepada sunnahku berarti dia telah berbahagia, dan barangsiapa yang kejenuhannya tidak membawa dia kepada yang demikian maka dia telah binasa.” (HR. Ahmad, lihat Shahih At-Targhib)

 

_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]

Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂

Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!

Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

2
2 points

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
3
Cakep
Kesal Kesal
2
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
10
Suka
Ngakak Ngakak
1
Ngakak
Wooow Wooow
1
Wooow
Keren Keren
5
Keren
Terkejut Terkejut
2
Terkejut
Alfin Alfina Yusro
Alfin Alfina Yusro dilahirkan di Banyuwangi Jawa Timur. Seorang alumnus dari MI Batu Huqu Banyuwangi, SMP 3 Ibrahimy, dan SMA Ibrahimy 1 Situbondo. Saat ini penulis sedang menempuh pendidikannya di UIN Maliki Malang, Program Studi Hukum Bisnis Syari’ah. Ia berharap dapat menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama makhluk dan lingkungan sekitarnya.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals