Politisi Perempuan di Senayan, Gender dan Framing Media

Budaya patriarki yang mengakar telah mengobjektifikasi perempuan sedemikian parah. Tak terkecuali di ranah politik. 2 min


2

Terpilihnya Puan Maharani sebagai ketua DPR RI periode 2019-2024 merupakan goresan emas kaum perempuan di politik Indonesia. Terlepas dari anggapan terpilihnya Puan Maharani karena posisinya  sebagai “putri mahkota” Megawati, tetap saja itu adalah prestasi.

Sejak Indonesia berdiri ini kali pertama jabatan prestisius ketua DPR RI berhasil diduduki oleh perempuan. Tentu tidak berlebihan saya katakan ini adalah simbol eksistensi politik kaum perempuan Indonesia. Sebelumnya, perempuan juga banyak menempati jabatan publik sekelas menteri dan lembaga-lembaga yudikatif, meskipun masih jauh di bawah jumlah laki-laki.

Melihat ke belakang, kongres perempuan pertama di Yogyakarta (1928) adalah pertama kali perempuan memiliki kesadaran politik di kancah nasional. Hak-hak politik perempuan tercermin jelas pada pemilu pertama di Indonesia pada tahun 1955, di mana perempuan memiliki hak memilih dan dipilih. Begitulah kenyataannya bahwa negara mengakui hak yang sama antara laki-laki dan perempuan bahkan sejak awal Indonesia berdiri.

Secara tegas pula, Undang-Undang  No. 39 Tahun 1999 menyatakan bahwa dalam kepartaian baik wilayah legislatif, eksekutif, maupun yudikatif harus memiliki keterwakilan perempuan. Tidak sampai di situ, kewajiban kuota 30% keterwakilan perempuan di politik juga bentuk nyata bahwa negara mendorong untuk memaksimalkan peran perempuan di ranah politik. Hal itu tertuang di beberapa undang-undang seperti, UU No. 31 Tahun 2002 tentang partai politik, UU No. 12 Tahun 2003 tentang pemilihan Umum, dan UU No. 10 Tahun 2008 tetang pemilihan umum anggota DPR-DPRD. Artinya, hukum Indonesia membuka peluang yang cukup besar agar perempuan lebih terlibat di aktivitas politik.

Fakta juga menegaskan bahwa telah terjadi peningkatan partisipasi perempuan di politik Indonesia tahun 2019 ini. Khusus pada jabatan legislatif, ada 118 orang dari 575 kursi DPR RI diduduki oleh perempuan atau sekitar  20,5 persen.  Pada Pemilu periode sebelumnya, hanya 97 anggota DPR perempuan, artinya ada penambahan 21 orang. Meskipun tidak adil kita menilai perkembangan ini hanya sekadar dari kalkulasi jumlah semata.

Dalam perspektif gender, mungkin ini sebuah kabar baik. Tidak seperti beberapa negara lain di Afrika dan Timur Tengah,  misalnya, di mana perempuan terpinggirkan dan memiliki peran yang sangat kecil dalam politik.

Budaya patriarki yang mengakar telah mengobjektifikasi perempuan sedemikian parah. Perempuan hanya boleh mengurus persoalan domestik saja dan selalu diasosiasikan semata-mata hanya pada perbedaan biologis. Kiranya itu tidak terjadi di Indonesia sekarang. 

Akan tetapi, partisipasi kaum perempuan pada dunia politik di Indonesia tidak “dibarengi” dengan pembentukan imej positif oleh media massa. Menurut saya, politisi perempuan masih diletakkan sebagai alat branding, guna mendongkrak daya marketing media. Misalnya saat pelantikan DPR RI, media massa lebih “bernafsu” menangkap pernak-pernik fesyen dari politisi perempuan di Senayan. Mulai dari pakaian, gaya rambut, gaya jilbab hingga kaca mata, menjadi sorotan dan dipublikasi secara masif oleh media massa.

Ketua DPR RI misalnya, pada saat menunaikan ibadah umrah, pemberitaan media massa lebih masif pada penampilannya saja. Penampilan politisi perempuan di Senayan seolah menjadi daya tarik politik di tanah air. Bahkan di ruang publik, tampilan fisik politisi perempuan inilah yang  menarik diulas, alih-alih sepak terjang politiknya. Dandanan mereka lebih disorot ketimbang integritas. Emang mereka biduan Senayan? Sorot isi kepala, bukan kosmetik mereka.

Sepertinya persoalan bisnis media yang menjadi penyebabnya. Hal demikian dilakukan untuk menarik animo pembaca. Penampilan fisik politisi perempuan seakan menjadi  komoditas potensial yang layak “dijajakan” ke publik.

Menurut saya, pemberitaan media tersebut memperjelas bahwa politisi perempuan dianggap sebagai pihak  yang tidak penting dalam perpolitikan Indonesia. Singkatnya, kaum perempuan tidak mendapatkan porsi pemberitaan yang menguntungkan dalam aktivitas politiknya. Pembingkaian media terhadap politisi perempuan di legislatif terlihat jelas mengutamakan sisi popularitas dan penampilan fisik demi profit dan viewers.

 


Like it? Share with your friends!

2
Saipudin Ikhwan
Mahasiswa Kajian Komunikasi dan Masyarakat Muslim, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

One Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals