Kerapuhan Israel

Serangan sat set Hamas ke Israel tentu saja merupakan sebuah aib. Negara Yahudi itu dikenal akan kedigdayaan alutsistanya yang mumpuni dan super canggih, namun jebol4 min


1
1 share, 1 point
Sumber: Jabar.nu.or.id

Kerapuhan Israel terlihat nyata pasca serangan kilat Hamas ke jantung ibu kota Israel, munculnya narasi-narasi victim claim dari media-media mainstream Israel yang menyamakan serangan itu dengan peristiwa 9/11 hingga holocaust. Terdengar hiperbolis memang, namun narasi semacam itu dapat kita pahami, pertama, guna mengaburkan kelemahan mereka.

Serangan sat set Hamas ke Israel tentu saja merupakan sebuah aib. Negara Yahudi itu dikenal akan kedigdayaan alutsistanya yang mumpuni dan super canggih, namun jebol oleh militan Hamas. Tampak jelas ada kerapuhan di internal Israel yang kemudian dimanfaatkan Hamas. Kerapuhan itu bersumber dari:

1) ketegangan antara Netanyahu dan Mahkamah Agung. Wewenang MA yang dibonsai Netanyahu telah melahirkan gejolak publik. Yuval N. Harari bahkan menganggap Israel menuju ambang kediktatoran jika ini dibiarkan.

2) intelijen gagal mengantisipasi dan mendeteksi ofensif Hamas, sehingga kubah besi pertahanan (iron dome) kepayahan membendung ribuan roket Hamas.

We are on the way to change Middle East (Netanyahu)

Kedua, menjustifikasi agenda retaliasi (red: pembalasan) yang akan atau sedang mereka lakukan. Apa yang dilakukan Hamas selalu salah, dan Israel selalu benar. Standar ganda itu nyata. Opini seperti itu yang hendak dilanggengkan pihak Israel. Padahal nyatanya baik Hamas maupun Israel sama-sama saling membantai. Sama-sama nir-kemanusiaan. Karenanya, kalimat Netanyahu di pangkal “We are on the way to change Middle East” sepertinya perlu direvisi, bukan “to change”, tetapi “to destroy”.

Baca Juga: Israel, Palestina, dan Proxy War

Ketiga, besar kemungkinan Hamas dan Palestina akan dianggap musuh bersama. Atas dasar itu pula kekuatan besar akan beraliansi untuk menghantam Hamas. Hamas memang tidak berdiri sendiri, ada Iran, Tiongkok, dan Rusia yang membackup. Balancing power diperlukan untuk menghindari dominasi Israel, Amerika dan sekutu atas tanah qudus itu.

Hamas tentu sudah memperkirakan pilihan serangan itu, meskipun terkesan spontan. Jika benar konflik akan melebar dan mengganas melibatkan aktor-aktor besar dunia, pihak yang paling dirugikan adalah Amerika. Lawan duel Amerika jelas bukan kaleng-kaleng. Rata-rata mereka memiliki kekuatan militer yang perkasa. Selain itu, Amerika berada di posisi tidak stabil secara ekonomi, intervensi langsung dalam konflik hanya akan menempatkan Amerika pada status genting.

Selanjutnya, keterlibatan langsung Amerika hanya akan mempercepat masa pensiun sebagai ‘world leader’. Rentetan peristiwa global mulai dari pandemi, persaingan dengan Tiongkok, konflik Rusia-Ukraina hingga sekarang ini tentu berdampak besar bagi posisi Amerika. Tak berlebihan jika serangan Hamas itu disebut sebagai upaya power reduction terhadap Amerika.

Pertanyaannya, apakah Amerika akan lepas tangan terhadap Israel? Tentu saja tidak, si Uncle Sam tidak mungkin tinggal diam. Informasi setakat ini, otoritas Amerika hanya akan memasok bantuan militer, bukan bala pasukan seperti yang dikatakan Jubir Gedung Putih, John Kirby, “The United States has no intention to send American forces to Israel.” Kita bisa pahami pilihan keputusan itu, karena terlalu berisiko jika Amerika nekat menyuplai pasukan militer ke jalur Gaza. Pihak yang berdiri di balik Hamas tentu akan mengonsolidasi kekuatan dan terlalu bahaya bagi konstelasi domestik Amerika.

Gagalnya Normalisasi Israel dengan Tetangga-tetangganya

Serangan 7 Oktober kemarin tentu membuyarkan agenda normalisasi dengan aktor kunci kawasan Timur Tengah: Saudi. Ketegangan Israel-Hamas dalih bagi Saudi untuk menolak secara halus rencana normalisasi itu. Bagaimana pun, Saudi di lain sisi terikat dengan Tiongkok yang merupakan mitra dagang terbesar mereka (Cipto, 2022). Sedangkan Tiongkok dan Amerika sebagai sekutu Israel berada dalam tensi persaingan yang alot.

Sebelumnya, beberapa negara telah meneken kontrak normalisasi, seperti UEA, Moroko, Bahrain, Sudan, dan Yordania. Persoalan Palestina selalu menjadi beban bagi negara-negara di kawasan untuk membuka pintu normalisasi. Namun di sisi lain, mereka harus menerima itu sebagai konsekuensi hubungan dengan Amerika, kepentingan ekonomi, dan berharap bisa merukunkan Israel dan Palestina secara diplomatis.

Normalisasi dengan Israel bisa dianggap sebagai langkah progresif dan rasional negara kawasan. Tetapi, mengabaikan fakta historis penjajahan Israel atas Palestina tak ubah seperti bara dalam sekam. Sehingga wajar jika upaya normalisasi berjamaah itu dibaca hanya untuk tujuan pragmatis.

Lalu, seperti yang terjadi sekarang, apakah konsekuensi normalisasi mengharuskan mereka bahu-membahu melawan Hamas? Sepertinya itu takkan terjadi, sebab tingginya risiko politik dan ongkos militer yang harus ditanggung. Belum lagi reaksi masyarakat yang secara masif melancarkan protes terhadap Israel. Keberpihakan terhadap Israel saat ini akan sangat berdampak terhadap stabilitas dalam negeri.

Pada konteks ini, agenda normalisasi terpaksa harus dikatakan gagal. Upaya normalisasi itu hanya bahasa lain menggalang dukungan terhadap Israel. Dan pembuktiannya pada situasi sekarang, apakah negara-negara itu tetap tegak lurus seraya mengepul dukungan militer atau hanya goyang-goyang kaki menyaksikan drama bombardir tersebut. Sepertinya opsi kedua lebih relevan dan logis.

Posisi Indonesia

Kompleksitas konflik Hamas dan Israel tidak bisa dipandang dari satu sudut. Banyak kepentingan menumpuk dalam konflik menahun tersebut. Mereka yang terjebak pada logika hitam putih akan sulit melihat persoalan ini secara objektif dan mendalam. Publik Indonesia umumnya mengadopsi logika tersebut. Kita bisa melihat dari narasi-narasi yang muncul di laman media yang sarat nuansa provokatif dan amarah.

Sesekali ada pula yang memprofitisasi amarah itu menjadi tumpukan rupiah. Secara naluriah, tidak ada satu pun manusia yang nyaman dengan kekerasan dan peperangan. Tidak ada. Oleh karena itu, kita butuh langkah-langkah holistik dan konkrit untuk mengurai masalah ini, bukan malah memperkeruh.

Siapa Indonesia dalam pertarungan ini, apakah suara kita diperhitungkan? Apakah Indonesia punya daya bargaining yang kuat? Kita semua tahu persis apa jawabannya, namun yang pasti tidak ada satu negara atau pihak tunggal yang memiliki kekuatan absolut untuk menyelesaikan permasalahan ini. Oleh karena itu, gerakan kolaboratif dari negara-negara ialah kunci untuk mencapai kesepakatan damai, menghadirkan kemerdekaan sepenuhnya bagi rakyat Palestina sekaligus menonaktifkan operasi aneksasi Israel.

Baca Juga: Menggali Paradigma Perdamaian Islam dalam Q.S. al-Anbiya (21): 107

Gerakan kolaboratif itu mesti didahului dengan upaya dialog yang intensif, sehingga muncul kesamaan persepsi dan tindakan. Kesamaan pandangan itu setidaknya diejawantahkan dalam kebijakan luar negeri setiap negara, yang tegas menolak segala bentuk penjajahan dan peperangan. Meski banyak yang menaruh pesimisme terhadap upaya dialog, namun itu satu-satunya cara yang bermartabat untuk mengintervensi pengaruh Israel dan sekutu.

Reaksi publik Indonesia sangat antusias dan punya keprihatinan yang tebal terhadap persoalan ini. Pemerintah Indonesia dan aktor non-state seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah perlu mengambil sikap dengan memberi warning atau tekanan politis agar eskalasi konflik tidak merembes kemana-mana. Apalagi narasi-narasi provokatif yang bertebaran di berbagai media bisa saja berdampak terhadap stabilitas domestik dan menyulut gerakan radikalisme untuk bereaksi lebih jauh.

Terakhir, keganasan konflik selalu saja berhasil menghentak kesadaran kita. Konflik demi konflik yang terjadi sungguh tidak merefleksikan kemajuan ilmu pengetahuan, dan pastinya bertolak belakang dengan kemegahan peradaban saat ini.

Referensi

Bambang Cipto, Rivalitas AS vs China di Era Biden, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2022.

Editor: Ahmad Mufarrih
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: 
Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]

Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂

Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!

Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

1
1 share, 1 point

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
0
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
0
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
0
Wooow
Keren Keren
0
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Mahmud Wafi

Master

Mahmud Wafi, wakil pimred Artikula.id, merupakan seorang pekerja sosial, juga merangkap sebagai santri malam minggu di Lingkar Mahiyyah.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals