Akidah Zona Nyaman

"Terus, kalau aku di zona nyamanku bersama Tuhan, aku harus keluar dari zona nyaman itu?"4 min


Abstrak
Sumber: https://id.pinterest.com/pin/644437027925446455/

Koma 9 : Akidah Zona Nyaman

Oalah, hidup itu cuma begini-begini saja.” Cakap Cak Slamet di sela-sela obrolannya dengan Kang Dar.

Adalah kalimat dari Cak Slamet yang betul-betul dimaklumi Kaum Jarkoni. Ada sekiranya dua sebab yang membuat mereka memakluminya; perjalanan hidup Cak Slamet yang telah lebih dari setengah abad, yang kemudian ia gunakan waktu tersebut sebaik mungkin.

Bicara karya, tak diragukan lagi kualitasnya. Meski Cak Slamet lebih memilih untuk tak banyak mengeksploitasikan karyanya. Bicara kemanfaatannya, ia bisa jadi apa saja yang orang-orang butuhkan; cendekiawan, kiai, sastrawan, budayawan, dan lain-lain. Meski juga, ia tak merasa pantas untuk menjadi apa-apa yang telah tersebut tadi.

Di usia yang bagi sebagian besar orang sudah termasuk tua, Cak Slamet mengutarakan bahwa memang hidup ini begini-begini saja. Sekiranya apa yang diinginkan dan dibutuhkan Cak Slamet sudah terpenuhi. Misal, dulu Cak Slamet ingin sekali menulis buku sebelum menginjak usia 20, dan terkabulkan. Lantas apa? Ya sudah, begitu saja.

“Yang harus kita punya−untuk memenuhi apa yang kita butuhkan itu−cuma kesungguhan. Lakukan apa-apa dengan kapasitas maksimal tubuhmu,  pikiranmu, dan hatimu.”

Andai kata untuk sehari ini, kerjakanlah apapun yang tidak membuat diri kita sendiri kita sia-siakan. Menulis? Ya menulislah sampai lelah. Ganti menulismu dengan aktivitas baru seperti berkumpul dengan kawan. Lelah berkumpul, cobalah untuk melakukan hal lain yang disenangi.

“Intinya, jangan sampai kapasitasmu hari ini terbuang sia-sia untuk bermalas-malasan. Lelah itu manusiawi. Kita juga butuh istirahat. Hidup bukan sekadar lari sprint 100 meter sekencang-kencangnya lantas berhenti dan usai. Hidup itu kita ber-marathon,  menjaga tempo, kapan harus lari kencang, kapan harus menurunkan kecepatan.”

Bicara soal kehidupan, Judy yang baru bikin kopi dari dapur pun langsung konsultasi ke “dokter”-nya, “Cak, menurut sampean, keluar dari zona nyaman itu seperti apa?”

“Sebentar, zona nyaman yang kamu maksud itu gimana?” jawab Dokter Slamet.

“Keluar dari zona nyaman itu, saat aku merasa nyaman di suatu hal, aku lantas keluar dari hal itu dan mencari hal baru.”

Lha memangnya, zona yang kamu maksud itu apa?”

“Seperti halnya lingkar pertemanan, Cak. Aku saat ini nyaman dengan lingkar A, maka kemudian aku harus keluar dari situ untuk mencari titik nyaman di lingkar B. Dan seterusnya.”

“Terus, kalau aku di zona nyamanku bersama Tuhan, aku harus keluar dari zona nyaman itu?”

“Wah, ya sudah game over kalau langsung urusan dengan Tuhan, Cak. Yang aku tanyakan kan hubungan diriku sendiri dengan orang lain. Kalau dengan Tuhan ya susah, kan itu urusan akidah.”

“Oke kalau begitu, lantas apa yang kamu maksud dengan akidah? Sebatas hubunganmu dengan Tuhan, secara vertikal?” Judy mengiyakan.

Pertanyaan yang menyatakan secara implisit bahwa tiada sesuatu apapun selain Tuhan seperti ini, agak sedikit tak disukai Si Judy. Sebab mungkin baginya, Tuhan itu sesuatu yang tak bisa diakal bagaimana wujud-Nya, perlakuan-Nya, dan segala hal lain tentang-Nya. Namun bagi Cak Slamet, iman saja tak cukup. Toh, kita dibekali hati dan akal.

Pada hati dan akal yang dibekalkan Tuhan pada manusia, hendaknya bisa dipergunakan semaksimal mungkin. Hati untuk beriman, akal untuk berilmu. Iman tanpa ilmu bagaikan lentera di tangan bayi. Namun, ilmu tanpa iman bagaikan lentera di tangan pencuri. Nampak jelas betapa pentingnya konektivitas antara akal dan hati.

Sedangkan bagi Judy, akidah adalah urusan personal perihal keyakinan atau hubungannya pada Tuhan. Kalau tak berkaitan dengan Tuhan, itu bukan akidah.

Cak Slamet mengalir saja dalam obrolan itu, seperti biasanya.

“Menurutku, kata ‘zona’ dalam istilah zona nyaman bukan cuma merujuk pada tempat atau ruang yang ‘kamanungsan’, yang bisa dilihat fisiknya. Juga bukan terbatas pada lingkar-lingkar orang yang kamu sebut tadi, Jud.”

“Terus apa kalau bukan tempat, Cak?”

“Zona itu wilayah hatimu dalam merasakan sesuatu. Entah kenyamanan, kebahagiaan, atau bahkan ke-ambyaran. Yang kamu tanyakan itu perihal rasa, sifatnya subyektif. Pernahkah kamu memperhitungkan bahwa kenyamananmu di suatu lingkar itu juga dirasakan teman-temanmu di lingksr itu?”

Dengan siapa kita merasa nyaman, sudah pastikah dia merasa nyaman dengan diri kita, sebagaimana kita nyaman? Sepadan dengan kebebasan, sudah betul-betul bebaskah kita kalau kebebasan orang lain pun kita renggut? Semena-mena membikin peraturan karena merasa bebas dan berwenang, lantas membatasi kebebasan orang lain. Itulah yang bikin kita tak pernah menjadi bebas sebebas-bebasnya.

Oh, berarti ada kaitannya dengan manfaat kita pada yang selain kita, ya, Cak. Menarik. Hablumminallah, hablumminannas.”

“Itu juga menarik. Hablun itu dari bahasa Arab, artinya apa? Hubungan”

“Iya, Cak. Hablumminallah, hubungan kita dengan Allah. Hablumminannas, hubungan kita dengan manusia.”

Hablun itu tali, sebuah simbol dari hubungan. Kalau kamu ingin berhubungan baik dengan orang lain, apa yang kamu lakukan?”

“Menghargainya, Cak. Atau aku melakukan hal baik untuk mereka. Jadi orang yang bermanfaat.”

“Oke. Sekarang kalau misalnya Kang Dar berbuat baik pada orang lain, bisakah dia disebut sebagai orang yang berbuat baik pada Tuhan juga?”

“Hmmm… Bisa, Cak. Itu kan cara Kang Dar menghargai makhluk-Nya. Sama saja Kang Dar menghargai Tuhan dengan cara menghargai makhluk-Nya.”

“Terus, kalau kamu tadi menyebut kata akidah, aku punya pengartian sendiri terhadap itu. Akidah menurutku, ya, rasa percaya, kepercayaan. Toh kalau disebut kepercayaan pada Tuhan, apa dengan perbuatan Kang Dar yang menghargai orang lain itu, bukanlah salah satu bentuk akidah?”

“Iya juga, sih, Cak. Untuk apa kita berakidah pada Tuhan kalau makhluk-Nya saja tak dihargai, heu….”

“Hidup ini apa yang bukan akidah, Jud? Kalau yang kamu maksud adalah akidah seperti pelajaran di sekolah, ya, berarti hidup kita bukan akidah. Lebih dari itu, akidah adalah apa-apa yang kita jalankan dalam hidup. Bukti nyata kepercayaan kita pada Tuhan.”

Sementara melebar hingga urusan akidah, Cak Slamet mengembalikan obrolan ke zona nyaman yang Judy pun tampak nyaman di obrolan waktu itu.

“Zona nyaman lagi, Jud. Kalau sedang ramai istilah ‘keluarlah dari zona nyaman’, maka yang kupahami adalah keluarlah dari keterbatasanmu dalam kenyamanan itu. Kamu tentu masih banyak kurang di zona nyamanmu. Perbaiki, perbaiki, perbaiki. Itu keluar dari zona nyaman.”

“Lagi-lagi aku ini masih terpaku pada kekurangan wacanaku terhadap istilah-istilah, Cak. Tapi ndak papa. Kalau aku bingung, toh ada sampean yang siap jadi konsul apapun masalahku, hehe….

Lagipula, kalau zona nyaman yang kita pahami adalah sebatas pemahaman Judy, atas dasar apa kita harus berpindah dari zona nyaman itu? Ada urgensi apa?
_________

Seri “Koma” merupakan kisah kasih perkopian Cak Slamet bersama rekan-rekannya, yang ngrasani isu sosial, politik, budaya dan sebagainya, dengan bahasa yang akrab digunakan ‘Kaum Ngopi‘.

Editor: Ainu Rizqi

Baca juga seri “Koma” lainnya:

 


Like it? Share with your friends!

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
2
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
3
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
2
Wooow
Keren Keren
2
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Duljabbar

Master

Alumni Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang | Kini sedang mblakrak di Yogyakarta

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals