“Oh iya Rah, boleh aku kapan-kapan main ke rumahmu? Aku ingin melihat koleksi buku-buku dongengmu?”
“Tentu, dengan senang hati, bahkan kau boleh membacanya di ruang keluargaku kapanpun, ketika aku sedang ada di rumah, semua buku itu diberi kakakku.” Jawab Merah.
“Terima kasih Arah temanku.” Saut Herman sambil tersenyum.
“Karena esok lusa adalah hari ulang tahunmu, aku akan memberi salah satu buku dongengku buat kamu, itu hadiah dariku untukmu besok.”
“Waaah … serius? Terima kasih ya Arah, aku baru kali ini dapat buku dongeng dan mungkin juga akan baru mulai membacanya, dan aku akan membacanya.”
Senin pagi yang manis, Herman menjemput Merah di rumahnya. Herman ingin berangkat sekolah bersama Merah dengan berjalan kaki. pukul 6 pagi kedua anak manis itu berangkat ke sekolah. Mereka berdua sekelas, kelas 4 B.
“Pagi Herman.”
“Pagi Arah, kau semangat dan kelihatan bahagia sekali pagi ini.”
“Tentu, ayo berangkat.”
“ Ayo, (sambil berjalan) ada kabar baik apa?” Herman bertanya.
“Kakakku kuliahnya sudah libur, besok dia mau pulang ke rumah.”
“Waah benarkah?”
“Yaa… kemarin ketika aku makan malam, kakakku menelepon ibu, lalu dia bilang kalau besok malam dia akan sampai di rumah, begitu katanya padaku.”
“Pantas, kamu bahagia pagi ini.”
“Roti isi, ambil satu buatmu.” Merah memberi roti pada Herman.
“Waww terima kasih Arah, bundamu baik sekali.” Jawab Herman.
“Ibuku sangat baik, sama-sama, enak?”
“Enak”. Jawab Herman.
“Minum…” Merah menawarkan.
“Iya boleh.”
“Ketika kakakku di rumah aku pasti tidur dengannya, soalnya aku senang mendengar cerita-cerita kakakku.”
“Apa kakakmu biasa membacakan buku dongeng pemberiannya itu?”
“Ya beberapa kali.”
“Buku apa yang paling kamu ingat?”
“Buku pangeran bahagia karya Oscar Wilde, kisah dua anak yang mecari bintang karya Charles Dikcken, aku juga sering diceritakan tentang sejarah perjuangan, seperti seorang pahlawan bapak republik Indonesia yang bernama Tan Malaka, ia seorang pahlawan yang anti-kediktatoran, begitu kata kakakku.”
“Anti-kediktatoran , mengapa Anti? Kediktatoran itu apa Rah?” Tanya Herman.
“Aku juga belum terlalu tahu sih, semacam kejahatan mungkin?”
“Ya, benar mungkin.” Jawab Herman.
“Sepertinya sih memang benar itu kejahatan.”
“Apa kakakmu juga seorang yang anti-kediktatoran?”
“Sepertinya sih begitu, oh iya kakakku juga sering mendengarkan padaku musik-musik keren, menunjukkan lukisan karya pelukis-pelukis keren macam Picasso, Affandi, Da Vinci, dan lain-lain, dan yang membuatku senang dia juga sering membacakan puisi-puisi, misalnya puisi Chairil Anwar , yang judulnya Sia-sia seperti ini:
(Merah berjalan ia membacakan puisi sambil bergerak mencontohkan kakaknya)
Penghabisan kali itu kau datang
membawa karangan kembang
Mawar merah dan melati putih:
Darah dan suci
Kau tebarkan depanku
serta pandang yang memastikan: Untukmu.
Sudah itu kita sama termangu
Saling bertanya: Apakah ini?
Cinta? Keduanya tak mengerti.
Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri.
Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.
2 Comments