Secara umum, pengertian zuhud merupakan sikap para sufi dalam menyikapi kehidupan dunia, mereka beranggapan bahwa dunia merupakan sumber dari kemaksiatan yang akan menjauhkan mereka dari Tuhan. Potensi ketertarikan manusia terhadap kemewahan dan kenikmatan dunia cukup besar, sehingga dapat menjadi penghalang bagi seseorang untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Maka dianjurkan untuk para sufi agar terlebih dahulu memalingkan semua aktifitas jasmani dan ruhaninya dari hal-hal yang bersifat duniawi.
Perkembangan tasawuf dalam Islam telah mengalami beberapa fase, pertama, zuhud fase asketisme yang tumbuh pada abad I H dan II H.
Baca juga: Petuah-petuah Kaum Sufi
Sikap asketisme dipandang sebagai pengantar munculnya tasawuf, pada fase ini, terdapat sufi yang lebih memusatkan diri pada ibadah. Mereka yang menjalankan konsep asketis dalam kehidupan yakni tidak mementingkan makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Mereka lebih banyak beramal untuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan akhirat, yakni lebih memusatkan diri pada jalur kehidupan dan tingkah laku yang asketis.
Menurut Abu Hafsh, zuhud tidak berlaku kecuali dalam hal-hal yang halal, sementara di dunia ini sudah tidak ada yang halal berarti tidak ada lagi zuhud. Pendapat ini disanggah oleh banyak orang, karena di dunia ini masih ada yang halal, meskipun terdapat yang haram. Sekalipun di dunia ini tidak ada yang halal, maka seharusnya keadaan ini mampu mendorong pada sikap zuhud, yakni menerima selayaknya terpaksa menerimanya. Seperti halnya terpaksa memakan bangkai.
Pengarang Manazilus Sa’irin yakni al-Harawi, menjelaskan bahwa zuhud adalah meninggalkan segala sesuatu selain Allah secara total dari hati tanpa menoleh ke arahnya dan tidak mengharapkannya. Seperti halnya zuhud dalam meninggalkan hal-hal yang meragukan, yakni sesuatu yang subhat, apakah sesuatu itu halal ataukah haram dalam pandangan setiap hamba.
Dalam ajaran tasawuf, zuhud merupakan salah satu maqam penting. Zuhud merupakan acuan penting dalam perjalanan seorang sufi, yakni membawa dirinya pada pengosongan qalbu selain Allah dan terpenuhinya qalbu dengan zikir. Hal ini disandarkan pada kecintaan dunia yang berlebih, sehingga mengakibatkan tercemar dan hancurnya kemurnian spiritual dalam jiwa manusia.
Seseorang yang berada dalam jalan tasawuf akan memiliki pengalaman spiritual yang banyak, namun dengan sifat zuhud yang tidak diterapkan dalam kehidupan sosial, seorang tersebut akan terasingkan dengan dunia pada saat berada di jalan tasawuf.
Baca juga: Pertalian Islam Kejawen dan Ajaran Tasawuf
Hal ini dikatakan juga oleh al-Hasan, “Zuhud di dunia bukan berarti mengharamkan yang halal dan menyia-nyiakan harta, tetapi jika engkau lebih meyakini apa yang ada pada Allah SWT dari segala yang ada dalam dirimu, dan jika ada musibah yang menimpamu, sebenarnya pahala atas musibah itu lebih engkau sukai dari pada engkau tidak ditimpa musibah sama sekali.
Menurut ahli sejarah tasawuf, zuhud adalah fase yang mendahului tasawuf. Secara harfiah, kata zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat duniawi. Menurut Harun Nasution, tempat yang terpenting bagi seorang sufi ialah zuhud yakni suatu keadaan meninggalkan dunia dan materi, sebelum menjadi sufi, terlebih dahulu menjadi zahid. Karena setelah seorang mampu menjadi zahid, ia bisa meningkatkan diri menjadi sufi, namun seorang zahid buka berarti sufi dan seorang sufi adalah zahid.
Sedangkan menurut al-Qusyairi, para ulama berbeda pendapat dakam mendefinisikan tasawuf secara mendalam, namun mayoritas mengatakan bahwa zuhud adalah meninggalkan hal-hal yang haram.
Mengenai zuhud, Ibnu Qayyim al-Jauziyah lebih mendorong zuhud sebagai usaha-usaha untuk memperbaiki hidup manusia, menanamkan sikap positif pada diri dan dunia, berani menghadapi kenyataan hidup, serta tantangan kemajuan zaman. Sikap zuhud memotivasi manusia dalam menggunakan materi duniawinya secara proposional, tidak berlebihan, mendorong untuk menghindari perbuatan yang haram, subhat, serta bersikap sederhana.
Baca juga: Tasawwuf dan Etos Kerja
Selain itu, menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, zuhud diartikan sebagai proses menyeimbangkan keadaan saat mendapatkan dan meninggalkan sesuatu. Seorang tersebut tetap zuhud saat mengambil keduniaan dan tetap zuhud saat meninggalkannya, sebab hasratnya lebih tinggi dari sekedar mengambil dan meninggalkannya.
Jika seorang sufi telah mencapai ma’rifat, ia tidak akan melihat bahwa zuhudnya merupakan sesuatu yang perlu dibesarkan, namun justru seorang sufi tersebut akan merasa malu jika hatinya mempersaksikan atau menuntut zuhud yang telah dilakukan.
Junayd al-Baghdadi mengatakan bahwa seorang sufi yang melakukan zuhud, tidak akan senang karena mendapatkan dunia, dan tidak akan sedih karena kehilangan dunia. Sehingga pemaknaan zuhud, tidak harus semerta-merta meninggalkan dunia, akan tetapi ia juga tidak boleh mengharapkan lebih pada pemberian dunia.
Artikel lainnya: Thoriqoh, Hikmah dan Sihr
0 Comments