Karomah Wali Milenial

Wali millenial boleh berpenampilan eksekutif, parlente, tidak bicara tentang kanuragan, tetapi menjadi manusia-manusia yang memberi solusi problematika kehidupan2 min


2
dutaislam.com

Pembahasan tentang karomah menjadi salah satu ciri bagi kalangan ahlu sunnah wal jamaah selain tiga ciri lainnya, yaitu: tidak mengkafirkan ahlul qiblah, menerima perbedaan pendapat, dan tidak melakukan ke-bidah-an. Demikian keterangan Syeikh Hisyam Kamil Al-Azhari, ketika membahas kitab Minhajul ‘Abidin karya Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali ra, dalam sebuah majlis di Jakarta.

Sudah menjadi aqidah ahlu sunnah wal jamaah pula, bahwa para Nabi dan Rasul sebelum pengangkatannya mendapatkan irhash (penjagaan bagi calon Nabi), setelah diangkat menjadi Nabi dan Rasul memiliki mukjizat. Sedangkan bagi selain Rasul dari hamba-hamba yang dicintai Allah memiliki karomah. Dan bagi mukmin secara umum mendapatkan ma’ûnah (pertolongan Allah).

Karomah secara bahasa berarti kemuliaan, kehormatan, dan anugerah. Secara istilah berarti sesuatu yang aneh atau diluar kebiasaan (khâriqun lil ‘âdah) dari hamba yang dicintai Allah dan ia pun taat kepada-Nya. Lawan dari karomah adalah istidraj, yaitu keanehan atau keluarbiasaan yang bisa dilakukan manusia namun tidak taat kepada Allah, sihir (black magic) termasuk di dalamnya.

Tahun 90-an, kita masih sering disajikan film walisongo dan film legenda yang cenderung menonjolkan sisi kesaktian (karomah). Seperti terbang di awan, berjalan di atas air, mengeluarkan air dari tanah dengan telunjuk, bahkan konon kabarnya salah satu murid Sunan Ampel yang bernama Sonhaji alias Mbah Bolong dapat memperlihatkan Kakbah dari peng-imam-an masjid Ampel, saat itu ia melubangi tembok masjid dengan telunjuknya.

Ada hal menarik terkait makna karomah yang berarti khôriqun lil ‘âdah (di luar kebiasaan/luar biasa). Jika dahulu berbicara jarak jauh, seseorang harus memiliki ilmu kanuragan sakti mandraguna atau minimal ilmu telepati. Tapi sekarang, untuk berbicara antarpulau bahkan antarnegara bukanlah hal yang aneh (khôriqun lil ‘âdah), bahkan bukan hanya suara, saling tatap muka dari dua tempat yang jauh saja mudah (video call).

Jika dahulu untuk melayang di atas awan butuh ilmu kesaktian tingkat tinggi atau sihir, saat ini dengan teknologi, jangankan terbang, bahkan makan dan tidur di atas awan pun sangat bisa, tanpa karomah apalagi sihir. Belum lagi mesin yang dapat tembus pandang ke dalam rahim (USG) hingga empat dimensi, kita juga bisa menyaksikan kegiatan di Haramain secara live selama 24 jam dari Indonesia, dan kehebatan lain yang mampu dihasilkan oleh teknologi. Maka, saat ini boleh dibilang bahwa teknologi telah menggantikan karomah para wali terdahulu.

Pertanyaan yang paling konkrit, adakah karomah-karomah dalam bentuk kesaktian dan kanuragan itu masih relevan saat ini? Secara singkat penulis katakan tidak. Karena hakikatnya konotasi karomah selama ini terlalu parsial (cendrung pada kesaktian saja), padahal tidak demikian. Tidakkah kekalnya buah intelektualitas para ulama terdahulu adalah karomah juga.

Kekalnya karya-karya Imam Asy-Syafii dan Imam madzhab lainnya yang hidup hampir 13 abad lalu bukankah anugerah dan kemuliaan yang Allah Swt. berikan atas kesalehan dan keikhlasan (karomah) mereka juga? Maka, kita menyadari bahwa karomah itu banyak macamnya, dan karomah terbaik itu adalah karomah yang bermanfaat bagi banyak orang, sebagaimana mukjizat terbesar adalah Al-Qur’an, bukan membelah bulan, mengeluarkan unta dari batu, atau membelah lautan.

Lalu bagaimana kiranya karomah para wali milenial? Sejatinya yang bisa menjawab ini juga setingkat wali. Namun, jika boleh kita berspekulasi, bahwa wali milenial tidak identik lagi dengan pria berjubah dan memutar tasbih. Wali milenial boleh berpenampilan eksekutif, parlente, tidak bicara tentang kanuragan, tetapi menjadi manusia-manusia yang pandai memberi solusi dari problematika kehidupan.

Seringkali problematika itu tentang ekonomi, membangun bisnis besar misalnya, maka dibutuhkan seorang wali ahli ekonomi dan bisnis yang mampu menjadi konsultan handal dalam bisnis untuk kemudian mengarahkannya menuju spiritual, boleh jadi seorang direktur atau CEO perusahaan adalah wali, siapa yang tahu?

Boleh jadi pula, wali milenial adalah ahli IT. Bukankah untuk melawan sihir, Nabi Musa diberi mukjizat yang hampir diduga sihir pula? Artinya, ada kemampuan sejenis yang diberikan kepada hamba Allah untuk meng-counter kejahatan pada satu zaman.

Zaman ini adalah zaman teknologi. Teknologi harus apple to apple dengan teknologi, bukan dengan takbir dan tahlil. Kita sudah sama-sama menyaksikan betapa manfaat dari teknologi begitu besar, sebanding pula dengan efek negatifnya. Maka kemampuan seorang wali dalam meng-counter efek negatif teknologi adalah karomah yang sangat urgen, bukan lagi karomah terbang, atau jalan di atas air.

[zombify_post]


Like it? Share with your friends!

2
Dr. Mukhrij Sidqy, MA.
Dr. Mukhrij Sidqy, MA. adalah doktor di bidang Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan dosen di STIQ Baitul Qur'an, Kelapa Dua, Depok. Ia menjabat sebagai Ketua Ikatan Da'i Muda Indonesia Depok, Wakil Pengasuh PP. Al-Wutsqo Depok, dan Pembina Tahfidz LPTQ Al-Muhajirin BPI Depok.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.