Perubahan pandangan terhadap dunia semestaku
Menjadikan kau berubah dan ada bersama Tuhanku
Bagi Martokam melihat dunianya adalah cara untuk menutup mata, dan malam baginya adalah pagi yang telah tumbuh dewasa. Martokam merupakan pemuda desa yang sedang menempuh jenjang pasca tuna aksara, bukan tuna aksara dalam arti formal yang hanya tidak bisa baca teks-teks tulis, tapi tuna aksara disini berarti universal yaitu ketidakmampuan dalam membaca realitas dunia semesta.
Sedangkan pasca disini memiliki arti berubah tapi tetap, ya, jadi pasca tuna aksara di sini adalah perubahan pandangan terhadap dunia semestanya (Martokam) dan yang tetap tuna aksara tanpa meninggalkan yang lalu.
Seperti kata, yang bersifat kongkret dan abstrak. Kata yang kongkret sendiri berarti yang merujuk kepada benda, bentuk,wujud/entitas yang dapat ditangkap oleh indera. Sedangkan kata yang abstrak yaitu suatu kata yang merujuk ke dimensi sifat, kejadian,kebaikan, cinta, dll. Begitupun adanya dengan realitas, ada yang kongkret dan juga abstrak
Dia Martokam, berjalan sendrian malam hari menuju pohon mangga, ia tak tahu jika para ahli biologi telah mengemukakan agar tidak duduk di bawah pohon pada malam hari, karena malam hari para pohon sedang ejakulasikan karbondioksida dan itu cukup bahaya jika terhirup oleh tubuh manusia.
Martokam duduk di bawah pohon mangga, romantisisme dengan asap putih yang keluar dari mulutnya menikmati suasana malam dengan indah bulan purnama. Ya, ketidaktahuan terkadang menyenangkan.
Martokam tidak tahu perihal fatwa ahli biologi, dan andai pun ia tahu, Martokam tetap akan duduk di bawah pohon mangga sambil merokok, “biarlah karbondioksida dan asap rokok ini bersetubuh dalam tubuhku, jikalau perlu rusaklah tubuhku karena itu adalah harga yang pantas untuk membayar keindahan bulan purnama di bawah pohon mangga yang daunnya berjatuhan tak seirama”. Begitu kiranya Martokam.
Burung pipit merupakan realitas konkret, yang mana bayi burung pipit yang baru menetas dari telurnya dengan burung pipit yang telah dewasa berbeda penyikapan serta perlakuan. Pandangan tentang bayi burung pipit yang belum bisa terbang untuk mencari makan sendiri sehingga diperlukan tindakan ngeloloi.
Sedangkan pandangan tentang burung pipit dewasa yang dapat terbang untuk mencari makan sendiri, maka tak perlu lagi ada tindakan ngeloloi. Perubahan pandangan atau persepsi terhadap realitas burung pipit itulah yang ikut merubah pola penyikapan dan perlakukannya.
Begitupun Martokam, setelah ia menyadari adanya perubahan pandangan tentang realitas konkret seperti burung pipit, kini ia mulai membaca ulang dunia semestanya tentang realitas cinta, ya, cinta yang merupakan realitas abstrak.
Bagi Martokam, cintanya dahulu berdimensikan kekuasaan, di mana cintanya dahulu digunakan sebagai instrumen untuk menguasai dan bahkan mengendalikan setiap bilik objek dari cintanya.
Sama halnya pengetahuan, pengetahuan cukup rutin untuk digunakan sebagai media kekuasaan. Di mana para pakar merekayasa dan meramu konsep-konsep yang menjadi alternatif dari setiap bilik-bilik problem masyarakat. Pengetahuan tidak digunakan sebagai media pembebasan melainkan sebagai dalih pembebasan untuk menguasai kebebasan. Ya, cinta yang berdimensikan kekuasaan.
Sambil menyisir rambut dengan jari-jari tangannya yang kasar, Martokam mengingat pandangannya terhadap cinta yang silam. Cinta yang dulunya berdimensikan kekuasaan, yang ingin menguasai setiap ruang,letak dan tujuan daripada cinta, dan merasa berkuasa atas hal tersebut, begitulah pandangan Martokam yang lalu.
Sebagaimana pandangan atau persepsi yang merupakan asal mula dari pelbagai sikap dan perilaku, maka perlu untuk merekonstruksi setiap komposisi pengetahuanyang mengintegrasikan pandangannya terhadap cinta yang merupakan realitas abstrak.
Upaya perubahan pandangan atau persepsi terhadap cinta tersebut yang tentunya beranjak meluas dari persepsi sebelumnya tetapi tetap tidak meninggalkan yang sebelumnya, atau yang disebut dengan pasca tuna aksara. Dan pandangan atau persepsi tersebut selalu berubah-ubah tergantung komposisi dari pola konsumtif pengetahuan yang membentuknya.
Kini Martokam, sebagaimana akal parsial, yang melihat realitas cinta secara lebih luas meskipun tidak secara universal dikarenakan ketidakmampuan menyingkap cadar yang menutupi realitas dunia semesta-Nya. meski begitu, Martokam merasa dengan pandangan yang lebih luas tentang realitas cinta sudah mampu menyemaikan kedaulatan berpikirnya tentang pelbagai realitas kehidupan.
Martokam menyandarkan tubuhnya di tubuh besar pohon beringin, sambil memejamkan mata dan anak-anak angin memainkan rambut gondrongnya, ia mencoba untuk mengintegrasikan pandangan barunya tentang cinta dengan sepenggal bait puisi penyair kondang tentang pelaksanaan kata-kata.
Tentang pandangan barunya, Martokam menghadirkan kesadaran adanya Sang Penghadir cinta yang secara utuh menjadi titik 0(nol) dalam satuan KM yang kemudian beranjak ke setiap realitas kehidupan.
Dan tentang pelaksanaan kata-kata, ah benar itu sulit, berat dan bahkan tidak mungkin, seperti Marineti yang tidak percaya kepada konsep karma yang dituturkan oleh Gandhi Krishnahatma, bagi Marineti karma itu tidak mungkin ada dan ia tidak percaya. tetapi bukankah banyak ketidakmungkinan itu memukau? (baca: Burung-Burung Rantau)
Melihat bagaimana Martokam kini telah tertidur pulas, sedikit mendengkur di antara suara kemrisik bapak angin yang menggoyang rambut pohon beringin. Sedang burung pipit membentangkan sayapnya di bawah sinar bulan purnama, menampakkan bayangan burung yang besar nan gagah perkasa.
Tidak, itu bukan burung pipit yang sebenarnya, itu hanya bayangan dan burung pipit adalah burung yang tubuhnya kecil. Sampailah senja pagi datang, teriring pujian-pujian kepada-Nya, dan Martokam bangun dari tidurnya, disambut oleh pagi yang tak lagi dewasa. Salam.
0 Comments