Pada zaman Yunani klasik tinggallah seorang yang bernama Kephalos. Kephalos adalah sosok yang kaya raya dan religius (mengabdikan dirinya kepada Dewa). Saking kayanya ia mewariskan harta kekayaannya—pabrik senjata yang mempekerjakan 25 budak—kepada beberapa anaknya. Tetapi dengan kekayaannya ia hanya memikirkan kemakmuran dirinya sendiri, keluarganya, dan tidak terhadap kesejahteraan masyarakat sekitarnya.
Dengan perilakunya itu ia selalu mendapat kritikan dari Socrates dan Platon. Tidak berhenti di situ saja, dalam urusan dagang ia hanya melayani orang-orang kapitalis dan mengabaikan para buruh maupun para budak. Pada dialog 330b—c (dalam The Republic), diceritakan bahwa Kephalos mengalami kemalangan atas harta yang dimiliki keluarganya—karena harta kekayaan keluarganya dirampas oleh kaum metoxoi, ketidaksukaan terhadap Lysanias (Bapaknya), dan kecondongannya terhadap kakeknya—bernama Kephalos (nama yang sama)—mengenai pengelolaan harta kekayaan keluarganya kepada Socrates.
Kemudian pada dialog 330d—e (dalam The Republic), diceritakan bahwa Kephalos memiliki firasat, hidup tak akan lama lagi dan tentunya ia merasa takut dengan siksa neraka (Hades) atas berita yang diperoleh. Rasa takut akibat berita itu menurut Kephalos membuat manusia melakukan kebaikan, keadilan, dan kebijaksanaan. Perumpamaan sederhana bisa dilihat pada kasus sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai contoh, seseorang tidak mau menerobos lampu merah dikarenakan takut ditilang oleh polisi lalu lintas.
Memang dalam masyarakat Yunani pada saat itu, terdapat sebaris kata mutiara yang berkembang dan sangat dipercaya oleh masyarakat. Kata mutiara yang dapat mempengaruhi masyarakat Yunani pada saat itu: “Rasa takut merupakan dasar dari perbuatan baik, bijaksana, dan keadilan”. Terhadap kalimat tersebut, Platon sangatlah mengkritik. Baginya perbuatan baik, bijaksana, dan keadilan jika didasarkan pada rasa takut akan berita-berita hades dan rasa takut kepada Dewa, yang terjadi ialah manusia akan mengalami kemandekan dalam berpikir.
Untuk memperkuat bantahannya, Platon memperjelasnya dengan pendapat “Keadilan yang didasarkan rasa takut akan perintah Dewa, sangatlah baik. Akan tetapi keadilan yang didasarkan pada suatu rasionalitas itu jauh lebih baik”. Selain itu Platon juga berpendapat bahwa, “Sesuatu yang ditetapkan baik oleh Dewa belum tentu baik untuk manusia”.
Di sisi lain Kephalos merasa bahwa semasa mudanya—meskipun sudah tua Kephalos belum mengalami kepikunan—ia tak pernah melakukan keburukan, selalu berbuat adil, bijaksana, dan tidak memiliki hutang kepada siapa pun. Terkhusus lagi ia rajin beribadah dengan memberi sesajen kepada Dewa sebagai bentuk ketakwaannya (The Republic 329e—330a).
“Ketika seseorang sadar bahwa dirinya akan mati, dia dipenuhi dengan pikiran dan perhatian akan hal-hal yang dulu tak pernah masuk dalam kepalanya. Jiwanya mulai disiksa oleh kisah-kisah tentang dunia bawah sana (Hades) dan bagaimana orang-orang berbuat tidak adil di dunia sini akan mendapatkan pembalasan di dunia sana”.
Sehingga ia (dalam The Republic 30d—e) merasa tenang dan memiliki harapan yang indah (Hedeia elpis) di kehidupan akhirat. Terkait hal ini Platon mengajukan beberapa pertanyaan kepada Kephalos.
Platon: Apakah dalam hidup ini hanya mencari ketenangan tanpa ada kesalahan sedikit pun, apakah itu yang dinamakan adil?
Kephalos: Ya, karena adil itu berlandaskan prinsip do ut des (Aku memberi, supaya kamu memberi. Dalam konteks eskatologi, aku beribadah supaya dapat surga).
Platon: Apakah hal demikian tidakkah disebut sebagai transaksional dalam beragama?
Mendengar pertanyaan Platon yang kedua, Kephalos tampaknya kewalahan untuk menjawab. Kemudian ia tetap kukuh dan jawabannya pun lari dari konteks pembahasan dengan Platon. Bagi Kephalos adil itu ialah berbicara jujur dan mengembalikan apa yang telah ia terima dari orang lain (The Republic 33c dan 331d).
Mendengar jawaban Kephalos tersebut, kemudian Socrates mengkritiknya dengan suatu analogi. Jika si A meminjam senjata api kepada si B di saat si B masih waras, dan pada perkembangannya si B mengalami sakit jiwa lalu pada suatu hari si B meminta apa yang telah dipinjam si A. Apakah si A harus mengembalikan barang pinjamannya kepada si B? Sedangkan jika dikembalikan, ditakutkan nanti akan membuat kekacauan dan membahayakan sesama, karena si B mengalami sakit jiwa. Sampai di sinilah Kephalos tidak dapat menjawab kritik atasnya dan ia pun langsung bergegas meninggalkan dialognya dan bersegera memberi sesajen kepada sang Dewa.
Jika dikaitkan dengan fenomena masyarakat sekarang, orang seperti Kephalos inilah yang marak ditemui di masyarakat. Banyak orang yang kaya dan juga religius, tetapi hanya memikirkan dirinya sendiri, keluarganya, dan tidak orang yang kesusahan (yatim piatu, miskin, fakir miskin, dan sebagainya). Dan masih banyak pula orang yang beribadah kepada Tuhan hanya untuk mengharapkan imbalan, bukan karena takut yang dilandasi dengan rasa cinta yang mendalam. Dengan kata lain, mereka sedang mengamalkan apa yang disebut Kephalos sebagai do ut des.
Referensi: Setyo Wibowo, PAIDEIA: Filsafat Pendidikan-Politik Platon. Yogyakarta: PT Kanisius, 2017.
0 Comments