Tak Ada Sangkut Paut Ghibah dengan Gender!

Secara redaksional, larangan ghibah dalam al-Quran berlaku umum. Lantas, kenapa selalu diidentikkan dengan perempuan? Benar-benar bias gender.2 min


1

Ghibah atau dalam bahasa sehari-hari disebut ‘rumpi’ merupakan rutinitas yang apabila sehari saja tidak dilakukan membuat hari-hari tidak berwarna. Begitu kata seorang teman saya yang suka ngerumpi. Teman yang lain juga pernah bilang, “Kalo saya tidak ngerumpi sehari saja, bisa pecah-pecah bibir saya”. Mungkin bagi beberapa orang akan terkejut mendengar “lelucon” seperti tadi. Dan mungkin lebih terkejut lagi jika mengetahui kalau pernyataan tersebut keluar dari mulut lelaki.

Bagaimana tidak? Selama ini, bagi masyarakat, setiap mendengar kata ngerumpi pasti selalu diasosiasikan dengan perempuan. Bahkan ketika lelaki kedapatan sedang ngerumpi tidak jarang ada yang bilang “seperti perempuan saja, suka ngerumpi”. Lagi-lagi perempuan yang menjadi kambing hitam. Bias gender bukan?

Padahal larangan ngerumpi yang termaktub dalam al-Quran sama sekali tidak dikhususkan kepada perempuan. Kita bisa lihat dalam QS. Al-Hujarat [49]: 12 disebutkan bahwa “Dan janganlah ada di antara kalian yang menggunjing sebagian yang lain.” Sangat jelas pada ayat tersebut dhamir (kata ganti) yang digunakan adalah dhamir mudzakkar (kata ganti untuk lelaki), bukan dhamir muannats (kata ganti perempuan).

Dalam kaidah dasar ilmu tafsir dijelaskan bahwa apabila al-Quran menggunakan dhamir mudzakkar maka sasarannya (khithab) bersifat umum, yaitu laki-laki dan perempuan. Tapi, apabila dhamir yang digunakan muannats maka pesan ayat tersebut secara khusus ditujukan kepada perempuan saja. Itu secara bahasa. Lantas bagaimana para ahli tafsir memaknai ayat ‘rumpi’ tersebut?

Para mufassir ternama seperti Imam al-Thabari, al-Qurthubi, Ibn Katsir, Sa’id Hawwa dan lainnya memaknai ayat tersebut sebagai larangan melakukan perbuatan-perbuatan amoral yang salah satunya adalah ghibah. Dalam ayat tersebut ghibah diumpamakan seperti memakan bangkai teman sendiri (manusia). Perumpamaan itu dimaksudkan agar kita menjauhi perbuatan ‘menjijikkan’ tersebut seperti halnya kita jijik terhadap bangkai. Tentu, tidak ada seorang pun suka memakan bangkai manusia.

Lalu apa sih yang dimaksud dengan ghibah pada ayat tersebut? Kebanyakan mufasir ketika menafsirkan ayat ini selalu mengemukakan terlebih dahulu apa itu ghibah. Ini penting, karena kebanyakan orang masih salah kaprah dalam mengartikannya. Yang masuk dalam kategori ghibah ialah sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Nabi Muhammad dalam sebuah hadis.

Sederhananya, ghibah adalah menceritakan aib seseorang dari belakang atau tanpa sepengetahuan orang yang dighibahi tersebut, dan tentunya aib yang diceritakan memang benar dan sesuai fakta. Namun, jika aib yang diceritakan tersebut tidak sesuai faktanya maka itu bukanlah termasuk ghibah melainkan dusta atau fitnah.

Terkait sasaran (khithab) ayat ini, kebanyakan mufassir memang tidak mempersoalkan atau menjelaskan secara eksplisit apakah larangan ini khusus kepada laki-laki saja, perempuan saja, atau kepada keduanya laki-laki dan perempuan. Kecuali Al-Razi, dalam Mafatih al-Ghaib, ia menyebutkan bahwa larangan ghibah dalam QS. Al-Hujurat [49]: 12 ini berlaku umum untuk siapa pun.

Apabila kita lihat ayat sebelumnya (ayat 11), di sana terdapat potongan ayat ولا نساء من نساء yang artinya “Jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain.” Menurut penulis tafsir al-Wasith, ungkapan ولا نساء من نساء ini memperkuat argumen bahwa apabila ungkapan muannats disebutkan setelah ungkapan mudzakkar (seperti kata قوم dalam ayat 11) maka ungkapan mudzakkar tersebut khusus ditujukan kepada laki-laki saja.

Sebaliknya, ketika ungkapan mudzakkar tidak dibarengi ungkapan muannats setelahnya, maka ia berlaku umum, baik ditujukan kepada laki-laki maupun perempuan. Itulah yang terjadi pada QS. Al-Hujurat [49]: 12 tentang larangan ghibah.

Sampai di sini sangat jelas bahwa ghibah atau ngerumpi selalu diidentikkan dengan perempuan sangatlah bias gender. Padahal secara teologis larangan ngerumpi berlaku kepada perempuan maupun laki-laki. Dan secara sosiologis, kenyataannya laki-laki juga tidak sedikit yang suka ngerumpi. Semoga kita semua diampuni Allah atas dosa ghibah yang telah kita lakukan. Di akhir ayat Allah berfirman “Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”

[zombify_post]


Like it? Share with your friends!

1
Muhammad Syachrofi
Seorang Mahasiswa Program Magister Konsentrasi al-Qur'an dan Hadis UIN Sunan Kalijaga nyambi kerja Part time di Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Juga, merupakan alumni Pondok Pesantren Sa'adatuddaren Jambi.

One Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.