Seseorang menulis bahwa al-Quran tidak memerlukan hermeneutika. Dengan kalimat lain, hermeneutika itu tidak bisa digunakan untuk memahami al-Quran.
Saya berpendapat bahwa al-Quran niscaya dibaca dan dipahami guna diamalkan. Untuk memahami al-Quran diperlukan ilmu tafsir.
Tafsir sebagai produk adalah buah pemahaman terhadap al-Quran yang diungkapkan, baik secara lisan, tulisan, sikap, maupun tindakan.
Al-Quran mengandung segala benih ilmu pengetahuan. Segala ilmu pengetahuan berguna untuk membantu memahami al-Quran, sehingga dapat disebut sebagai ilmu-ilmu bantu al-Quran. Misalnya, ilmu bahasa, sejarah, sosiologi, antropologi, biologi, geologi, psikologi, politik, dan budaya.
Salah satu di antara cabang ilmu-ilmu yang dapat digunakan untuk memahami al-Quran adalah hermeneutika. Hermeneutika pada dasarnya adalah tafsir, dan tafsir adalah hermeneutika.
Sebagaimana tafsir terdiri atas berbagai aliran atau mazhab, yang satu dengan lainnya berbeda-beda, begitu pula hermeneutika.
Sebagian ulama, antara lain Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, mengkategorikan tafsir menjadi dua, yakni tafsir yang mamduh (terpuji) dan tafsir yang madzmum (tercela).
Hermeneutika juga terdiri atas berbagai aliran atau mazhab. Secara garis besar, hermeneutika dapat dikategorikan menjadi dua juga, yakni hermeneutika objektif dan hermeneutika subjektif.
Hermeneutika ibarat pisau bermata dua; dapat digunakan untuk mendatangkan manfaat dan dapat pula mendatangkan mudarat. Hermeneutika, dengan demikian, tidak begitu berbeda dengan HP Anda, apa pun merknya!
Seorang teman menulis pandangannya tentang hermeneutika sebagai berikut.
Prinsip hermeneutika yang paling menarik adalah: Setiap nash yang dibaca (di-hermeneutika-kan) adalah milik dan otoritas pembacanya. Pengarang nash (apa pun, termasuk al-Quran dan Hadis) sudah kehilangan otoritas. Kehendak, kemanfaatan, dan kebutuhan terhadap nash adalah milik si pembaca.
Penutur nash (al-Quran dan hadis) memang pemilik awal nash. Tugasnya sudah selesai ketika nash tuntas dan dimanfaatkan untuk kepentingan terbatas. Dengan prinsip ini, nash akan tetap hidup dan up to date sepanjang masa.
Menurut pemahaman saya, itu adalah pandangan aliran hermeneutika subjektif. Adapun pandangan aliran hermeneutika objektif pararel dengan jargon ulama, “Shahibul qauli a’lamu bima yaqulu” (Pemilik ucapan paling tahu tentang apa yang dia ucapkan).
Dalam konteks al-Quran Allah-lah yang paling tahu tentang maksud setiap ayat, bahkan setiap kosakata dan pilihannya dalam al-Quran. Dengan hermeneutika objektif al-Quran selamanya tak akan kehilangan relevansinya dengan setiap ruang dan waktu.
Dalam konteks kitab, buku, tulisan atau ujaran yang lain-lain, penulis atau pengucaplah yang paling tahu apa maksud dengan tulisan atau ucapannya. Tugas hermeneut/interpreter adalah membaca pikiran penulis/pengucap yang tersirat dan tidak tersurat dalam ungkapannya itu. Hermeneut/interpretet dengan demikian tidak berhak menginterpretasikan ujaran tersebut secara sewenang-wenang dan semena-mena.
Yang disebut terakhir itu senafas dengan manhaj Ali bin Abi Thalib, “Istanthiq Al-Quran” (persilakan al-Quran berbicara)
Persyarikatan Muhammadiyah dengan segala amal usahanya adalah produk hermeneutika KH. Ahmad Dahlan, utamanya atas Q.S. Al-Ma’un. Sampai-sampai Prof. Dr. Muhajir Efendy, dalam sebuah seminar tentang pendidikan di Gedung Litbang Muhammadiyah di Jl. Kaliurang Yogyakarta beberapa tahun yang lalu menyatakan, bahwa Muhammadiyah adalah Ma’unisme.
Sir Dr. Mohammad Iqbal, sebagai eksistensialis muslim terkemuka, tentu saja menggunakan hermeneutika tatkala meracik karya masterpiecenya “Rekonstruksi Pemikiran Keagamaan dalam Islam”.
Teman yang lain menulis demikian.
“Gini saja… Kalau hermeneutika itu sesuai untuk memahami/menafsirkan al-Quran, mengapa ulama Al-Azhar menganggap pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid berbahaya? Berarti ulama Al-Azhar tidak paham apa itu hermeneutika?”
Teman lainnya lagi menimpali.
“Lha terus yang menggunakan hermeneutika itu gimana dunk?
Berarti berpikiran kritis & inovatif atau taqlid ke Nasr Hamid?”
Guru kami, Prof. M. Quraish Shihab, alumni Al-Azhar, menulis dalam bukunya “Kaidah Tafsir Al-Quran” (Jakarta: Lentera Hati, 2013 ), bahwa hermeneutika itu pada batas tertentu bisa dan boleh digunakan untuk menafsirkan al-Quran.
Ibnu Taimiyyah menulis, “Intisari al-Quran adalah Al-Fatihah dan intisari Al-Fatihah ialah iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in.” Lebih lanjut ia menulis bahwa di hadapan ayat tersebut orang-orang beriman terbagi menjadi empat kelompok.
Kelompok 1: orang yg benar-benar iyyaka na’budu dan benar-benar iyyaka nasta’in.
Kelompok 2: orang yg benar-benar iyyaka na’budu tetapi tidak benar-benar iyyaka nasta’in.
Kelompok 3: orang yang tidak benar-benar iyyaka na’budu tetapi benar-benar iyyaka nasta’in.
Kelompok 4: orang yang tidak benar-benar iyyaka na’budu dan tidak benar-benar iyyaka nasta’in.
Pertanyaan:
Pertama, Ibnu Taimiyyah menafsirkan ayat tersebut menggunakan metode apa?
Kedua, apakah tafsir Ibnu Taimiyyah tersebut termasuk tafsir bil ma’tsur atau tafsir birra’yi?
Ketiga, kita termasuk kelompok berapa?
Teman yang lain berpendapat, paparan Ibnu Taimiyyah itu bukan tafsir, tapi khawathir; makanya lebih bercorak isyari al-qushshah.
Sebagaimana iman bertambah dan berkurang, maka semua orang yang beriman bisa berada dalam 4 macam kondisi itu sesuai dengan maqam rohaninya.
Allahu a’lam.
Masih menurut teman yang sama, dalam kitab Ushul al-Tafsir Ibn Taimiyyah yang dikomentari oleh Prof. Zarzur yang kami terjemahkan dalam Bahasa Malaysia bersama Prof. Dzulkifli, ada isyarat tentang metode al-khawathir yang masuk dalam bentuk isyari.
Teman yang lain menyambung, misal, kalau konteks apakah harus mempertimbangkan (aspek) politis. Apa Allah juga berpolitik?
Hermenetik tidak cocok dalam penafsiran al-Quran. Dalam disiplin lain mungkin, misal teori ekonomi.
Pernyataan tersebut saya tanggapi demikian. Allah berfirman dalam al-Quran,
Ya ayyuhalladzina amanu athi’ullaha wa athi’urrasula wa ulil amri minkum.
Pertama, adakah mufasir di dunia ini yang berkata bahwa ayat tersebut tidak berhubungan dengan politik?
Kedua, siapa yang dimaksud ulil amri dalam konteks kekinian dan keindonesiaan?
Ketiga, haruskah Anda menyetujui keputusan Pak Jokowi memindahkan Ibu kota ke Kalimantan?
Keempat, haruskah Anda menyetujui keputusan sidang paripurna DPR tentang UU KPK?
Kelima, bolehkah muslim Indonesia memilih Presiden non-muslim?
Keenam, bolehkah muslim mentaati ketua RT Nasrani?
Tentang masalah ekonomi, apakah Q.S. Al-Baqarah 282-283 itu bukan tentang ekonomi?
Tafsir birra’yi itu representasi prinsip-prinsip hermeneutika.
Diskusi lebih lanjut.
Apa parameter sebuah tafsir itu dikatakan mamduh atau madzmum?
Berapa banyak riwayat dalam Tafsir Ath-Thabari yang tidak shahih? Tidak adakah Israiliyyat dalam Tafsir Jalalain?
Ibnu Taimiyyah menulis, bahwa di antara tafsir yang madzmum adalah Al-Kasysyaf, karena cenderung/memuat pandangan mazhab kalam tertentu, yakni Mu’tazilah.
Sedangkan Muhammad Abduh, ketika ditanya oleh para mahasiswanya yang muda-muda tentang tafsir apa yg sebaiknya mereka baca, jawabnya, “Al-Kasysyaf!”
Lebih lanjut, sahabat menambahkan bahwa maksud dari aliran hermeneutika objektif dengan ‘memulangkan’ pengertian teks kepada pemilik teks adalah setelah teks tersebut didekonstruksi.
Dalam konteks al-Quran, teks itu ‘dipulangkan’ kepada situasi dan kondisi saat diturunkan.
Jadi, ada 3 periode (marhalah/tahapan) dalam mengaplikasikan hermeneutika terhadap al-Quran:
1. Mempermasalahkan teks dengan mendekonstruksinya.
2. Mengkritisi teks berdasarkan keinginan pemiliknya, dalam hal ini situasi yang meliputi Nabi saat menerima dan menyampaikan teks tersebut. Bagi mereka, pemilik teks ini Nabi (bukan Allah)
3. Mengkritisi teks dengan membawa spirit/ruh/maghza teks tersebut dalam konteks kekinian, tanpa mempertimbangkan lagi keinginan pemilik teks (situasi dan kondisi yang melatar-belakangi turunnya teks).
Jadi, hermeneutika selalu berangkat dari mempermasalahkan teks (المرحلة الاولى).
Komentar saya, itu adalah hermeneutika objektif yang subjektif.
Penjelasannya: Hermeneutika objektif itu berpandangan bahwa author/pengarang/pengucap adalah pihak yang paling tahu tentang apa yang diucapkannya (shahibul qauli a’lamu bima yaqulu).
Orientasi pembaca teks adalah mereproduksi makna yang tersirat pada kalimat pengucapnya, tanpa embel-embel setelah teks tersebut didekonstruksi.
Kalau teks tersebut didekonstruksi lebih dahulu, siapa yang mendekonstrusi? Pembacakah? Bila pendekonstruksi adalah pembacanya, maka itulah yang disebut hermeneutika subjektif.
Lagi pula cara kerja hermeneut objektif bukan seperti yang direkonstruksikan oleh penulis pertama ini. Argumentasinya adalah sebagai berikut.
1. Hermeneut objektif tidak mempermasalahkan teks dengan mendekonstruksinya.
2. Hermeneut tidak mengkritisi teks berdasarkan keinginan pemiliknya, dan tidak berpandangan bahwa pemilik teks itu Nabi, bukan Allah.
3. Hermeneut tidak mengkritisi teks dengan membawa spirit/ruh/maghza teks tersebut dalam konteks kekinian, tanpa mempertimbangkan keinginan pemilik teks (situasi dan kondisi yang melatarbelakangi turunnya teks).
Jadi, ketiga tahapan dalam mengaplikasikan hermeneutika terhadap al-Quran itu adalah asumsi penulis pertama yang tidak tepat mengenai hermeneutika objektif, yang mengantarkan pada kesimpulan/pendapat yang tidak benar.
Pandangan tersebut lebih mendekati hermeneutika subjektif dengan jargon: Ketika teks lahir maka pengarang/author dianggap mati. Dengan kata-kata lain yang radikal: persetan dengan pengarang!
Pembaca bekerja memproduksi makna baru yang boleh jadi bertolak belakang secara diametral dengan makna pertama yang dimaksud oleh pengarang.
Contoh konkret: interpretasi Syahrur atas milkul yamin yang dibuntuti Dr. Abdul Aziz.
Hal itu identik dengan pendefinisian pluralisme oleh MUI, bahwa pluralisme adalah paham yang memandang semua agama sama, dan semua agama mengantarkan pada keselamatan. Lalu MUI menyimpulkan, bahwa paham pluralisme adalah sesat.
Benarkah khazanah tafsir bil ma’tsur sudah cukup, dan tidak memerlukan piranti lain, semisal hermeneutika, untuk menggali makna terdalam Al-Quran?
Mari kita coba:
Allah Swt berfirman: Fasaqa lahuma tsumma tawalla ilazh-zhilli faqala rabbi inni lima anzalta ilayya min khairin faqir.(Q.S. 28: 24).
Ragam terjemahannya yang telah tercetak antara lain:
– Maka, dia (Musa) memberi minum (ternak) kedua petempuan itu. Dia kemudian berpindah ke tempat yang teduh, lalu berdoa, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan (rezeki) yang Engkau turunkan kepadaku.”
– Maka, dia (Musa) memberi minum (ternak) kedua perempuan itu, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan (makanan) yang Engkau turunkan kepadaku.”
– Musa kemudian memberi minum ternak milik kedua perempuan itu. Kemudian dia pergi bernaung di bawah pohon lalu berdoa, “Wahai Tuhanku, sungguh aku lapar, aku sangat membutuhkan rezeki dari sisi Engkau”
– Maka ia memberi minum untuk (ternak) kedua mereka, kemudian ia pun kembali ke tempat semula berteduh, dan berkata: “Tuhanku! Sungguh aku memerlukan anugerah yang dapat Kauturunkan kepadaku.”
Dengan pendekatan hermeneutika kita dapat menemukan beberapa kemungkinan makna khair dalam ayat tersebut, yakni keamanan, jaminan keselamatan, pekerjaan, istri, pendukung dakwah, dan lain-lain.
Al-Fatihah membagi manusia menjadi 3 golongan:
1. Orang-orang yang diberi nikmat.
2. Orang-orang yang dimurkai.
3. Orang-orang yang sesat.
Dalam konteks kekinian bangsa Indonesia terbagi menjadi 3 golongan:
1. Rakyat.
2. DPR.
3. Pemerintah.
Boleh jadi Rakyat termasuk golongan pertama; DPR termasuk golongan kedua, dan Pemerintah termasuk golongan ketiga dalam Al-Fatihah itu.
Wallahu a’lamu bi al-shawab. (MCh)
Sepakat Ustadz … Sangat mencerahkan !!!
Terima kasih ustadz, sangat bermanfaat sekali
ustadz kan tergolong pemerintah, jadi termasuk golongan ke ….. ustadz kan golongan pemerintah, jadi ustadz termasuk golongan ke….