Publik di jagat maya dihebohkan oleh warta Try Out Online CPNS yang hendak diselenggarakan secara massal via daring. Warganet, terutama anak muda, dengan latah membagikan informasi itu di dinding media sosialnya. Jamak juga warganet yang kontra karena penyebarannya patut dikritisi. Mereka curiga iming-iming iklannya yang serupa selebrasi giveaway—semacam strategi pemasaran membagi produk secara cuma-cuma yang marak di media sosial.
Saya baru mengetahui informasi akan adanya simulasi Tes CPNS itu dua hari silam. Tak segera ikut membagikan karena secara pribadi belum tertarik, saya cenderung mengabaikannya. Namun, hal itu ternyata diikuti teman-teman warganet, dengan ikut menyebarkan informasi itu secara masif. Sekian jam setelahnya, terdapat informasi tandingan, yakni berupa konfirmasi dari Badan Kepegawaian Negara (BKN), kalau iklan itu palsu alias hoaks.
Penyebaran informasi yang sudah terlanjur viral itu kemudian dihapus warganet. Tetapi baru sebagian besar yang saya ketahui, selebihnya masih terus diproduksi dengan bubuhan tagar. Beberapa teman menyesalkan kepalsuan informasi itu. Sementara sebagian yang lain tak merespons sebab merasa malu telah latah menyebarkan. Di sini kita dapat pelajaran yang sesungguhnya bukan hal baru: harus kritis terhadap informasi yang didarasnya.
Terlanjur Baper
Pada konteks penyebaran informasi yang ternyata diduga hoaks di atas, kita seperti terjebak di lubang yang sama. Hoaks menginfiltrasi informasi tanpa mengenal tempat dan waktu, khususnya ia bersembunyi di balik berita-berita di media sosial. Dalam konteks masyarakat digital, selain berlaku kritis dan verifikatif tehadap informasi, kita selebihnya mudah tergelincir pada pusaran hoaks. Kuncinya sebetulnya sangat sederhana dan wacana ini kerap diproduksi dalam percakapan kita: informasi mesti dicurigai, bukan sinis, melainkan kritis.
Menjaga jarak terhadap apa yang dibaca adalah upaya objektif yang dapat dilakukan. Walaupun begitu, ikhtiar ini tentu saja mudah diucapkan tapi kerap lalai dimanifestasikan. Kita acap kali bawa perasaan (baper) bila mengonsumsi informasi yang sesuai dengan ekspektasi. Jika terlanjur berharap terhadap kebenaran informasi itu, namun ternyata justru sebaliknya, kita kemudian kecewa, bahkan naik pitam.
“Warganet baperan” ini sering saya sebut untuk menjelaskan fenomena mudah percaya dan tersinggung di media sosial. Memang media sosial merupakan ruang publik yang di sana kebebasan mengemukakan pendapat terbuka seluas-luasnya. Tetapi sebagian besar dari kita kerap amnesia eling lan waspada (ingat dan waspada). Pepatah Jawa ini sering didengarkan sebatas percakapan sekali duduk tapi lupa diejawantahkan menjadi tindak-tutur.
Saya mengamati penyebaran hoaks, terutama dalam konteks korban informasi palsu Try Out Online CPNS, ini diakibatkan karena baper. Saya tak menyalahkan mereka sebab sebagian besar memang bermaksud mendaftarkan diri menjadi pegawai negeri sipil. Kesempatan latihan secara daring yang ditawarkan, karenanya, merupakan peluang besar untuk menyiapkan diri lebih total. Totalitas mereka saya apresiasi, namun tidak untuk sikap terlalu gegabahnya.
Laku Kritis
Banyak teori psikologi mengenai berpikir kritis. Dari bejibun teori itu saya hendak mewacanakan berpikir kritis berdasarkan konsep Ki Hadjar Dewantara (ngerti, ngrasa, dan nglakoni). Pewacanaan berpikir kritis itu mesti diupayakan sebagai bentuk tameng diri terhadap hoaks. Betapa pun besar dan kuat intervensi hoaks kepada kita, kalau daya kritis telah menubuh dalam konstruksi berpikir serta laku, maka sesungguhnya kedaulatan diri terhadap informasi dapat dimungkinkan.
Pertama, berpikir kritis itu hendaknya didasarkan atas ngerti (mengerti). Mengerti itu menangkap atau mengetahui tentang sesuatu. Sebagai contoh, hoaks itu informasi palsu yang patut diwaspadai. Hal ini merupakan pengetahuan dasar yang semestinya dikuasai. Informasi yang belum jelas kebenaran tekstualnya, pertama-tama mesti dihindari, berikutnya baru dicari apakah secara substansi dapat dipertanggungjawabkan atau tidak. Poin pentingnya di sini adalah menjaga jarak dan menelisik seluk-beluk informasi itu sendiri.
Kedua, poin ngrasa (merasakan) hendaknya dimanifestasikan di dalam praktik pendarasan kita. Tulisan apa pun tentu saja membutuhkan keterampilan membaca yang penuh teliti dan disikapi dengan kepala dingin. Terlalu tergesa-gesa dalam mengonsumsi informasi berakibat pada penarikan simpulan secara serampangan. Itu kenapa membaca juga berarti merasakan, suatu upaya pengendapan atas pengetahuan yang diserap dengan penuh hati-hati. Kesabaran, saya kira, menjadi titik pijak penting di sini. Kesabaran terhadap mengonsumsi teks yang dibacanya mustahil terwujud tanpa ketelatenan untuk menikmati jeda usai mendaras.
Ketiga, nglakoni (menjalankan) merupakan tahap terakhir dari ngerti dan ngrasa. Berpikir kritis tak akan menjadi laku empiris tanpa diejawantahkan dalam kehidupan nyata. Berpikir kritis tanpa “kuda-kuda” dua poin sebelumnya itu juga akan menimbulkan sikap banal. Memang dimensi menjalankan tersebut kerap kali luput dalam praktik pendarasan. Kita, karenanya, membutuhkan pembiasaan (habituasi) yang menurut konsep behaviorisme ditempuh melalui kegiatan yang repetitif, sehingga akhirnya menubuh ke dalam laku.
Sudah semestinya kita sebagai manusia harus kritis menghadapi surplus informasi yang makin hari bukan malah mencerdaskan, melainkan mencemaskan. Anti terhadap informasi atau menutup keran demokratisasi akses pengetahuan bukan solusi. Malahan hanya akan membawa dampak buruk bagi kesempatan belajar tiap warga yang hari ini semakin terbuka lebar. Eling lan waspada masih menjadi lonceng pengingat agar kita senantiasa bersikap kritis—disadari atau tidak.
2 Comments