Mengenang Filosofi Hidup Mbah Maridjan

Mbah Maridjan lebih mementingkan keutamaan dan kebijaksanaan dibandingkan logika praktis orang-orang kota yang selalu melihat sesuatu secara hitam dan putih. 5 min


0
Gambar: jogja.tribunnews

Bagi masyarakat Indonesia secara umum tentu sudah tidak asing lagi dengan yang namanya Gunung Merapi. Merapi sendiri berasal dari kata “meru”= gunung dan “api”. Gunung Merapi merupakan salah satu gunung berapi teraktif dan penuh dengan berbagai mitos di Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau Jawa dan masuk ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sisanya masuk dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah, yakni Kabupaten Magelang di sisi Barat, Kabupaten Boyolali di sisi Utara dan Timur, serta Kabupaten Klaten di sisi Tenggara.

Di dalam catatan sejarah modern, Gunung Merapi setidaknya telah mengalami erupsi setiap dua sampai lima tahun sekali. Sejak tahun 1548, gunung ini sudah meletus sebanyak 68 kali. Maka tidak heran jika Merapi menjadi salah satu dari enam belas gunung api dunia yang termasuk ke dalam proyek Gunung Api Dekade Ini (Decade Volcanoes).

Baca juga: Memahami Merapi (Perspektif Sosiologi Pengetahuan)

Namun, di balik sifatnya yang aktif sebagai gunung berapi, Merapi sejak dahulu juga dikenal sebagai gunung “angker” yang dilingkupi berbagai mitos. Setidaknya hal itu salah satunya bisa dilihat dari sandiwara radio terkenal di era 90-an berjudul “Misteri dari Gunung Merapi” karya Asmadi Sjafar dan difilmkan dengan sosok khas mak lampirnya.

Sedangkan bagi masyarakat Yogyakarta, gunung Merapi bukan saja dilihat hanya sebagai bentuk sebuah gunung. Melainkan sebagai simbol yang disebut dengan sumbu imajiner. Sumbu imajiner sendiri adalah sebuah garis yang melambangkan keseimbangan antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam.

Adapun garis itu bisa dilihat dari bentuk arsitektur antara Pantai Selatan-Keraton Yogyakarta-Gunung Merapi; Garis dari Pantai Selatan-Tugu Yogyakarta-Keraton melambangkan asal-usul manusia (sangkan paraning dumadi). Sedangkan dari Keraton-Tugu Yogyakarta-Gunung Merapi melambangkan kesatuan antara manusia dengan Tuhannya (manunggaling kawula gusti). Dari sini dapat dilihat bahwa Merapi memiliki tempat yang penting dalam alam pikiran kosmologi Jawa, khususnya Yogyakarta.

Baca juga: Melihat Tradisi Keislaman di Kerajaan Mataram Islam

Sejak Merapi memuntahkan lava pijar pada hari Selasa 26 Oktober 2010, yang menewaskan kurang lebih 353 orang. Fokus masyarakat mulai tertuju kepada salah satu sosok, yang mungkin bagi masyarakat Yogyakarta, sekitar gunung Merapi dan pecinta alam tidak asing lagi. Sosok itu bernama Mbah Maridjan. Semenjak tahun 2010 namanya mulai banyak diperbincangkan. Bahkan salah satu produk minuman berenergi menjadikan sosok ini sebagai model iklannya.

Bagi orang-orang mungkin tulisan ini terkesan ketinggalan zaman. Dalam artian tema yang diangkatnya telah usang. Sesuatu yang sudah 11 tahun berlalu, mengapa tidak membicarakan sesuatu yang sedang hangat dan viral saat ini seperti, jilbab, korupsi, dan toleransi, misalnya. Namun bagi penulis, justru disinilah arti penting tulisan ini untuk melihat kembali sosok mbah Maridjan. Di tengah-tengah zaman yang semakin tidak karuan sosoknya yang penuh dengan kerendahatian dan keteladanannya dalam memegang tanggung jawab perlu dilihat dan ditiru. Selain itu, bagi penulis, sikapnya selama hidup telah mencerminkan nilai-nilai tasawuf.

Mbah Maridjan yang lahir pada tahun 1927, sejak kecil sudah tidak asing lagi dengan indahnya gunung Merapi. Lelaki yang kurang lebih telah 80 tahun tinggal di Kinahrejo itu sangat identik sekali dengan gunung Merapi.

Maka tidak heran jika sosok “linuwih” (dianggap punya kelebihan) ini selain posisinya sebagai abdi dalem Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, juga dipercaya dan diangkat sebagai juru kunci gunung Merapi sejak 3 Maret 1982 oleh Ngarsa Dalem Sampeyandalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengkubuwono Senopati ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang Jumemeng Kaping IX ing Ngayogyakarta Hadiningrat.

Sejak diangkat menjadi juru kunci mbah Maridjan pun mendapatkan gelar baru sesuai tugasnya, yakni Raden Ngabehi (R.Ng) Suraksohargo. Suraksohargo yang secara harfiah berarti “menjaga gunung” (Gunawan, 2006).

Pengangkatan mbah Maridjan sebagai juru kunci Merapi tentu bagi Hamengkubuwono IX  bukan tanpa alasan. Mengingat secara emosial mbah Maridjan telah merasa menjadi bagian dari gunung Merapi. Seklain itu, secara kultural, mbah Maridjan gemar menjalankan “laku prihatin dan tirakat” percaya bahwa di gunung Merapi terdapat penguasanya atau meyakini bahwa Merapi adalah makhluk gaib yang bernafas, berpikir, dan berperasaan.

Dari sikap hidupnya yang memiliki pandangan demikian terhadap alam. Maka tidak berlebihan rasanya jika mengenang filosofi hidup dari mbah Maridjan menjadi sesuatu yang sangat relevan saat ini. Apalagi jika mengingat semakin maraknya kerusakan lingkungan akhir-akhir ini, seperti industrialisasi, pertambangan, eksploitasi sumber daya alam, pencemaran limbah, dan lain sebagainya; Secara keseluruhan disebabkan oleh keserakahan manusia untuk menguasai alam tanpa melihat akibat buruk yang ditimbulkannya. Seakan-akan keserakahan itu sudah menggelapkan mata hati mereka sebagai seorang manusia.

Perjalanan panjang mbah Maridjan dalam menyerap kearifan tindak-tanduk merapi, belajar menggali gejala-gejala yang berkaitan dengan aktivitasnya terhadap alam, khususnya gunung Merapi, kiranya dapat menjadi penangkal dari sikap keserakahan, ketamakan, dan kesombongan manusia. Bagaimana tidak, perjalanan panjangnya tersebut telah membawa dirinya rajin melakukan puasa mutih. Hanya makan sekepal nasi dan minum air putih, selain mengisap rokok putih kegemarannya.

Dari sikapnya yang demikian secara tidak langsung mbah Maridjan ingin mengajarkan manusia tentang artinya prihatin dan waspada. Sebagaimana yang selalu dikatakannya “karepe ngono, manungso kon podo prihatin” (maunya itu manusia harus prihatin). Sebab dengan terbiasa hidup prihatin, maka dalam realitasnya kita tidak akan mudah terjebak pada keserakahan dan kesombongan.

Salah satu nasihat mbah Maridjan untuk tidak mengucapkan kata-kata yang dapat “menyakiti” alam khususnya kepada Gunung Merapi, seperti jangan pernah mengatakan “mbledhos, njeblug, wedhus gembel”. Meskipun istilah-istilah itu umum digunakan masyarakat tapi bagi mbah Maridjan tidak sopan meyematkannya kepada Merapi. Mbah Maridjan meyakini bahwa Merapi bukan sekedar gunung biasa. Melainkan sebuah “komunitas” yang bertahta sejumlah “penguasa” seperti, Eyang Empu Romo, Eyang Empu Permadi, dan Eyang Panembahan Sapujagad. Karena itu ada hubungan saling menjaga dan saling melindungi.

Baca juga: Edelweis Kehidupan: Filosofi dan Sejarah Sang Bunga Puncak Gunung

Jika kita berbuat sewenang-wenang terhadap alam, khususnya kepada Merapi dengan perusakan dan kata-kata kotor akan membuat “sang makhluk” terluka perasaannya. Jika sudah terluka maka alam pun akan menunjukkan kemarahannya akibat perbuatan tangan manusia itu sendiri. Hal ini kiranya, dalam Islam, selaras dengan firman Allah bahwa“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar” (Q.S. Ar-Rum ayat 41-42).

Melalui simbolisasi Gunung Merapi ini mbah Maridjan ingin menyarankan kepada orang-orang untuk selalu terus-menerus membersihkan hati sehingga menjadi suci dan tidak berbuat yang macam-macam terhadap alam. Apalagi dengan serakahnya sampai-sampai melakukan perusakan. Sebab Merapi dalam pandangan mbah Maridjan adalah pusarnya jagat di Tanah Jawa yang senantiasa hidup bertambah dan berubah. Kemisteriusannya pun menjadi daya pesona bagi jiwa-jiwa yang haus dahaga spiritual.

Bahkan bukan hanya sarannya saja yang mengajak orang-orang untuk membersihkan hati melalui kata-kata, sikap hidup mbah Maridjan juga telah memberikan nasihat tersendiri bagi masyarakat masa kini yang lebih mementingkan sikap hidup rasional dan ego pribadinya sendiri.

Ada sebuah cerita menarik sebagaimana yang dituturkan oleh budayawan Landung Simatupang bahwa pada suatu ketika mbah Maridjan menghantarkan rombongan orang kota pendaki gunung dengan atribut lengkap pendakian. Merasa heran dengan mbah Maridjan yang tidak mengenakan alas kaki, salah seorang dari mereka pun bertanya; “kenapa mbah tidak menggunakan alas kaki? Kan panas”. Mbah Maridjan pun balik bertanya, “mengapa mereka tidak menggunakan penutup kepala?”

Sang penanya heran, mbah Maridjan pun kemudian melanjutkan pembicaraannya dengan enteng: “saya tidak mengenakan alas kaki, tetapi menutup kepala (kopiah). Karena bagi saya, kepala lebih utama daripada kaki. Karena kepala-lah yang berpikir dan memberi perintah pada kaki untuk berjalan. Sementara kaki hanya saya gunakan untuk melangkah” (Gunawan, 2006).

Bagi budayawan seperti Landung, sikap mbah Maridjan tersebut secara tidak langsung telah menunjukkan bagaimana mbah Maridjan lebih mementingkan keutamaan dan kebijaksanaan dibandingkan logika praktis orang-orang kota yang selalu melihat sesuatu secara hitam dan putih.

Baca juga: Diskursus Eskatologi yang Sepi

Bahkan sikapnya ini tercermin di dalam prilakunya sehari-hari yang tidak dipenuhi oleh fantasi belaka. Ia benar-benar mengamatinya, mencicipinya, serta merasakannya. Sesuatu sikap yang telah jarang muncul di era sekarang; Ketika orang-orang lebih mementingkan ego dan kamuflase kehidupan yang tidak benar-benar ia rasakan; Sibuk pada urusan masing-masing sehingga tidak jarang terjebak pada sifat individualisme yang mementingkan diri sendiri (Gunawan, 2006).

Sikapnya ini juga ia ajarkan kepada anak cucunya melalui lantunan kidung tentang bagaimana manusia dapat gembira, harmonis, tentram, rukun dan yakin berada dalam lindungan Gusti Allah Swt. Sikap-sikap hidup seperti ini bagi kehidupan yang serba modern sekarang tentu sangat dibutuhkan sekali. Ketika orang mulai gampang marah, mulai gampang menyalahkan pihak tertentu yang tidak sependapat dengannya, ketika orang mulai acuh tak acuh kepada dirinya sendiri dan orang lain, dan ketika orang lebih senang hidup berfoya-foya, serakah, tamak, dibandingan memilih hidup prihatin baik di kala senang maupun susah.

Sikap hidup yang penuh kebijaksanaan, kearifan, kepasrahan kepada Gusti Allah sebagai juru kunci Gunung Merapi pun tetap dipegang teguh oleh mbah Maridjan sampai akhir hayatnya. Sebagai bentuk sikap hidup manusia sejati dalam memegang tanggung jawabnya. Sebagaimana kata-kata yang diucapkannya “Ajining manungso iku gumantung ono ing tanggung jawabe marang kewajibane” (Kehormatan seseorang dinilai dari tanggung jawab [menjalankan] kewajibannya).

Sumber Bacaan:
Gunawan, R. (2006). Mbah Maridjan (Sang Presiden Gunung Merapi). Jakarta Selatan : Gagas Media.

_ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂

Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!

Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

0
R. Dimas Sigit Cahyokusumo
Sang Pembelajar

One Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

  1. Dari ulasan di atas memiliki poin yang menarik tentang Mbah Maridjan.Beliau adalah tokoh yang patut di jadikan teladan tindak-tanduknya.Bukan karena kumpulan pidatonya atau sekedar beberapa argumentasi belaka.Beliau mengajarkan tentang keindahan melalu tindak-tanduknya.Cara dalam menyikapi hal-hal yang dipandang banyak orang terkesan remeh dengan hati-hati, ingat dan waspada.
    Hal ini dapat di buktikan dengan hal-hal kecil yang berkaitan dengan Beliau.
    Terima Kasih informasi ini sangat membantu

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals