Gairah Islamisasi dan Kemunduran Sains dalam Islam

"..Banyak analisis yang dikemukakan mengenai sebab-sebab kemunduran tersebut. salah satu di antaranya adalah dikotomi ilmu.."3 min


1

Munculnya gairah islamisasi ilmu pengetahuan layak untuk diapresiasi secara positif. Namun demikian semangat ini perlu digarisbawahi bukan hanya sekedar meniru atau mengklaim bahwa kemajuan ilmu tertentu adalah sudah ‘termaktub’ dalam al-Qur’an atau pernah dikembangkan oleh ilmuwan terdahulu sebagaimana banyak dijumpai akhir-akhir ini.

Sehingga umat Islam tetap tak berdaya dalam penguasaan teknologi sebab hanya mengaku-ngaku saja tanpa adanya upaya untuk menguasainya.

Sebagai pedoman hidup umat Islam, al-Qur’an berulang kali menegaskan bahwa alam semesta ditundukkan oleh Allah untuk manusia. Penundukan ini lahir dari potensi yang dianugerahkan-Nya kepada manusia untuk menciptakan teknologi.

Al-Qur’an memakai astilah sakhkhara untuk maksud tersebut mengandung makna kemampuan meraih dengan mudah segala sesuatu yang dapat dimanfaatkan dari alam raya melalui keahian di bidang tekhnik. Tashkhir yang dilakukan Allah itu harus menyadarkan manusia bahwa ia tidak boleh angkuh atau menyia-nyiakan anugerah itu dan ia seharusnya memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhan.

Di sisi lain, manusia tidak boleh diperalat oleh teknologi hasil ciptaannya, tidak juga dikuasai dan ditundukkan olehnya, baik secara pribadi maupun kolektif.

Para ilmuwan Muslim masa lalu berupaya memahami rahasia alam raya yang mereka nilai sebagai ayat/tanda kehadiran Allah yang terhampar, sebagaimana al-Qur’an adalah ayat (tanda kehadiran) Tuhan yang terbaca. Prinsip-prinsip semua pengetahuan (bukan rinciannya) mereka nilai terdapat di dalam al-Qur’an, dengan demikian semua pengetahuan sesuai dengan akal universal, dan pada akhirnya bersumber dari Allah swt.

Paham tauhid yang mendasari ajaran Islam mengantar mereka menyadari kesatuan segala sesuatu di alam raya ini. Dengan demikian,pengetahuan tentang alam raya yang harmonis dan terpadu merupakan bagian dari paham tauhid, sehingga mereka berusaha memahami secara mendalam segala sesuatu yang berkaitan dengan alam raya tanpa membedakan satu cabang dengan cabang yang lainnya dan tanpa melepaskan kehadiran Allah.

Keterlibatan seseorang dalam kegiatan ilmiah, apapun disiplinnya dinilai sebagai pencarian dan pembuktian tentang kehadiran Tuhan sekaligus merupakan proses tumbuh kembangnya jiwa manusia menuju kesempurnaan kemanusiaan serta penghambaan dirinya kepada Allah swt.

Dari sini mereka tidak mengenal pemisahan seperti sekarang antara ilmu-ilmu yang lahir dari kajian Al-Qur’an dan Sunnah (ilmu agama) dan ilmu-ilmu yang lahir dari kajian terhadap alam raya (ilmu umum).

Ilmuwan muslim pada masa itu, di samping mendalami sains juga merupakan manusia-manusia yang sangat memahami dan mengamalkan tuntunan agama, baik yang bersifat rasional maupun suprarasional.

Sebagai contoh, Jabir Ibnu Hayyan (Geber) seorang pakar bahkan peneliti ilmu Kimia di samping menulis tentang Kimia juga filsafat, kedokteran dan lainnya. Ia adalah seorang sufi dan karena itu pemikirannya diwarnai oleh spiritualitas. Umar al-Khayyam yang dikenal luas sebagai penyair adalah seorang pakar dalam bidang Matematika, Geometri, Fisika dan metafisika.

Perintah al-Qur’an untuk berpikir, tafakkur dan sejenisnya diindahkan oleh generasi umat Islam terdahulu, sehingga tercipta masyarakat berilmu dan berteknologi yang sangat mengagumkan pada masanya. Pertanyaannya, mengapa kemudian terjadi kemunduran? Sebagian pakar menjawab, Umat Islam mundur karena meninggalkan tuntunan agama mereka, sedang umat lain maju oleh sebab yang sama.

Banyak analisis yang dikemukakan mengenai sebab-sebab kemunduran tersebut. salah satu di antaranya adalah dikotomi ilmu. Lembaga-lembaga pendidikan Islam lahir dalam suasana di mana ilmu agama sangat diperhatikan dan dijadikan nomor satu sedangkan ilmu-ilmu ‘duniawi’ cenderung dipinggirkan. Padahal kemajuan Sains yang dicapai pada masa Dinasti Abbasiyah tidak lahir dari lembaga pendidikan tetapi dari upaya individual pakar-pakar pada waktu itu.

Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang memprioritaskan pendidikan agama telah menempatkan fikih dalam kedudukan yang sangat tinggi. Pada gilirannya turut berperan dalam memunculkan pendapat-pendapat yang dapat dinilai menghambat kemajuan dalam bidang ilmu lain.

Ilmu kedokteran misalnya, nyaris terpaku pada sisi-sisi teoritis dan tidak dapat melakukan penelitian terhadap tubuh manusia yang telah wafat sekalipun.

Sebaliknya dalam bidang pemikiran hukum (fiqih), lahir aneka pandangan menyangkut segala persoalan, bahkan para pakar ketika itu kehabisan masalah hukum yang tumbuh dalam masyarakat sehingga secara imajinatif mereka menciptakan persoalan-persoalan yang sama sekali belum muncul atau apa yang disebut dengan al-Fiqh al-Iftiradhi.

Imam al-Ghazali yang merupakan hujjah al-Islam (Pengurai kebenaran Islam) terasa meng-anak-tiri-kan sains dan teknologi. Lembaga pendidikan al-Nizhamiyah di mana Imam Ghazali pernah mengajar dan dinilai sebagai lembaga terbaik di Dunia Islam pada abad ke-11 lewat penanggungjawabnya yakni Nizham al-Mulk, bahkan menetapkan bahwa pejabat-pejabat dalam lembaga tersebut harus bermazhab Syafi’i.

Dari satu sisi, hal ini mungkin dapat dimengerti karena mazhab tersebut dinilai moderat dan kompromistis, tetapi dari sisi lain ini dapat menjadi hambatan bagi pengembangan pemikiran dan perluasan wawasan.

Kini sudah banyak yang menyadari hal tersebut. Sudah ada juga upaya-upaya yang dilakukan untuk meraih kembali ilmu milik kaum muslim yang diambil dan dikembangan oleh Barat. Hanya saja yang dikhawatirkan adalah bahwa upaya tersebut adalah sekedar peniruan belaka sehingga menanggalkan nilai-nilai spiritual, yang dalam pandangan Islam harus selalu menyertai setiap aktivitas muslim termasuk dalam pengembangan ilmu dan teknologi.

Sebagian pakar menguraikan betapa kemajuan teknologi yang kini dekembangkan sangat rawan terhadap sisi negatif. Teknologi yang oleh manusia diharapkan dapat memberikan kemudahan dan kenyamanan, serta memberinya kesempatan untuk mempersingkat waktu menyelesaikan tugas agar lebih banyak waktu luangnya, kini justru malah sering menyita waktu luang tersebut.

Misalnya penggunaan internet, smartphone dan TV, betapa banyak orang yang duduk berlama-lama menghadapinya sehingga waktu tidur, istirahat dan beribadah tersisih.


Like it? Share with your friends!

1
Rizal Mubit

Rizal Mubit, S.HI., M.Ag. adalah Peneliti Farabi Institute dan dosen di Institut Keislaman Abdullah Faqih Gresik. Ia telah menulis sejumlah buku bertema keislaman.

One Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals