Terusan Suez dan Terbukanya Jaringan Ulama Indonesia

Era 1800-an adalah momentum terbukanya jaringan ulama Indonesia pasca larangan Belanda Besluit van 4 Agustus.2 min


-1
29 shares, -1 points

Era 1800-an adalah momentum terbukanya jaringan ulama Indonesia pasca larangan Belanda Besluit van 4 Agustus. Terdapat peristiwa penting pada pertengahan abad IXX tersebut, yaitu pembukaan Terusan Suez. Terbukanya terusan Suez meningkatkan intensitas jamaah haji sebagai basis mata rantai kader intelektualitas Indonesia.

Pada tahun 1869, insinyur Perancis yang bernama Ferdinand de Lesseps berhasil memimpin proyek pengerjaan jalur tembusan yang menghubungkan antara Laut Tengah (Mediterania) dengan Laut Merah, dari kota Bur Said menuju Suez. Jalur air sepanjang 193 km ini mampu mempersingkat perjalanan antar Asia-Eropa yang sebelumnya harus mengitari Tanjung Harapan (Cape of Good Hope) yang selain jauh juga beresiko tinggi.

Satu tahun sebelum terbukanya Terusan Suez, lahir seorang bayi di Pesantren Termas bernama Mahfudz tepatnya pada 1868. Bayi ini tumbuh dewasa dan menghabiskan masa belajar kepada ulama-ulama Jawa yang salah satunya adalah ulama Semarang yang bernama Ibrahim Samarani atau yang lebih dikenal dengan Shaleh Darat, seorang ulama yang tersohor sebagai guru yang mengajarkan Islam kepada keluarga berdarah biru. Salah satu muridnya adalah RA Kartini yang terkenal dengan suratnya yang terisnpirasi dari ayat al-Qur’an berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Terbukanya terusan Suez membuka peluang para pemuda seperti Mahfudz Termas untuk belajar ke Haramain. Dan akhirnya iapun dikirim ke Makkah, belajar ilmu agama dan berhasil menjadi ulama di sana. Otoritasnya kian bertambah saat Sayyid Bakar Syatha memberinya wewenang untuk mengajar di salah satu pintu Masjidil Haram bernama Baab Ash-Shafa.

Era perkembangan Mahfudz Termas diiringi oleh kondisi yang tidak begitu kondusif di Indonesia. Penjajah Belanda beberapa kali melakukan pertempuran dengan rakyat pribumi. Beberapa pengamat sejarah menduga karena berita ini sampai ke telinga Mahfudz Termas melalui intensitas haji yang digunakan sebagai sarana informasi dan update kabar terkini tentang kondisi Indonesia, maka Mahfudz Termas menulis karya Al-Minhah Al-Khairiyyah, sebuah kitab kumpulan hadis-hadis yang sering dikaitkan menyimpan ideologi perlawanan terhadap penjajah.

Kitab ini berbeda dengan kitab lainnya terkait sistematika penulisan kitab fiqih, jika kitab lainnya diawali dengan bab bersuci (thaharoh), kitab ini secara berbeda menonjolkan tema hadis yang mengulas mengenai bab pentingnya persatuan dan kesatuan. Hal tersebut dikorelasikan terkait dengan isu kolonialisme yang sedang dialami beberapa wilayah Islam yang membutuhkan upaya pengorganisasian umat.

Mahfudz Termas terus melakukan komando kepada ulama Indonesia yang belajar di Makkah untuk memperkuat umat Islam dengan membentuk organisasi. Salah satu muridnya tersebut bernama Hasyim Asy’ary dan Ahmad Dahlan. Dari dua tokoh ini pulalah lahir organisasi Islam di Indonesia yakni Nahdlatul Ulama’ dan Persyarikatan Muhammadiyah. Beberapa murid yang lain menjadi ulama besar sekembalinya ke tanah air. Di antaranya adalah : Abbas Buntet, Muhammad Faqih Maskumambang Gresik yang kemudian menjadi wakil Nahdlatul Ulama pertamakali, Nahrowi Dalhar Watucongol Magelang, dan Muhammad Dimyathi Termas.

Ulama Indonesia di Timur Tengah sebagaimana analisa Snouck Hurgronje telah membuka isu pemberontakan di Indonesia secara tidak langsung. Bagaimanapun terdapat nama-nama ulama Indonesia yang menjadi guru di luar negeri seperti Khatib Al-Minangkabawi dan Nawawi Al-Bantani.

Terbukanya terusan Suez mengakhiri keputusan Belanda menghalang-halangi perjalanan ke Tanah Suci. Kesempatan pergi haji menjadi begitu eksklusif, terutama setelah pembatasan Belanda pada tahun 1716 dalam mengawasi hubungan ulama Indonesia dengan luar negeri. Hal tersebut dengan terbitnya Besluit van 4 Agustus. Dengan keputusan ini, para calon jemaat haji bahkan ada yang sampai secara sembunyi-sembunyi diangkut oleh kapal dagang orang Arab. Terusan Suez menyimpan sejarah penting bagi perkembangan Islam dan Masyarakat Muslim Indonesia.


Like it? Share with your friends!

-1
29 shares, -1 points

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
0
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
1
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
1
Wooow
Keren Keren
1
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Muhammad Barir
Muhammad Barir, S.Th.I., M.Ag. adalah redaktur Artikula.id. Ia telah menulis beberapa karya, diantaranya adalah buku Tradisi Al Quran di Pesisir.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals