Semangat Berbagi Takjil Masa Kini: Antara Trend, Anjuran, dan Kemanfaatan

Semangat berbagi takjil di era masa kini akan jauh lebih keren jika tersalurkan tepat sasaran dan lebih mengandung kemanfaatan.4 min


1
Sumber gambar: banksampoerna.com

Sejatinya, judul di atas hanyalah sebuah hasil dari kegabutan yang tak lagi terkontrol oleh pikiran dan perasaan. Bagaimana tidak? Berbagi takjil adalah sebuah perbuatan yang mulia bahkan dianjurkan agama dalam sisi normatif yang teredaksikan dalam hadis nabi. Lalu, untuk apa lagi harus disoroti?

Takjil, dalam KBBI, secara verbal, dimaknai sebagai tindakan mempercepat (dalam berbuka puasa). Adapun secara nominal, kata tersebut merupakan makanan untuk berbuka puasa.

Maka secara sederhana, kata “Berbagi Takjil” dapat dimaknai sebagai upaya dalam berbagi makanan kepada orang yang berpuasa agar sesegera mungkin dapat berbuka ketika lantunan azan Maghrib terkumandangkan. Dari segi normatif, menyegerakan berbuka adalah sebuah tindakan yang dianjurkan dan disunnahkan.

Dalam pelaksanaan takjil, terdapat berbagai bentuk cara yang dilakukan oleh masyarakat. Ada yang lebih memilih untuk duduk manis di rumah sembari menikmati hidangan takjil bersama keluarga. Dalam bentuk lain, ada pula yang telah mencatat beberapa tempat yang menyediakan hidangan takjil secara gratis untuk didatanginya.

Bentuk kedua inilah yang biasa dilakukan penulis ketika hidup di perantauan dengan modal pas-pasan. Maklum, wajah penikmat makan gratisan. Inilah yang menambah keunikan tersendiri dalam berbuka puasa. Masih terdapat bentuk lain, sebetulnya, namun dua bentuk di atas paling tidak cukup mewakili sebagai contoh ragam keanekaragaman tradisi takjil yang berkembang di masyarakat.

Tidak hanya itu, sebagian masyarakat pun seakan berlomba dalam memberikan menu takjil secara gratis. Baik itu dilakukan oleh perseorangan, instansi atau lembaga, maupun komunitas atau kelompok.

Menu yang disajikan juga terbilang variatif. Mulai bingkisan makanan ringan, sampai menu makan malam prasmanan.

Baca juga: Ramadhan Bulan Pencerahan

Hal tersebut merupakan suatu kewajaran, mengingat 15 abad yang lalu Nabi Muhammad telah menginformasikan balasan pahala bagi penyedia menu buka puasa, “Barangsiapa yang memberi makan orang yang berbuka, dia mendapatkan seperti pahala orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa sedikit pun.” (al-Tirmidzi, 1975, jilid III, hal. 162).

Sebagai bentuk legalitas, hadis di atas merupakan hadis yang berstatus hasan-sahih (Sebuah istilah kualitas hadis yang dicetuskan oleh imam al-Tirmidzi) menurut Abu ‘Isa. Selain itu, imam al-Albani menghukumi hadis di atas sebagai hadis sahih.

Selain al-Tirmidzi, imam Ibn Majah meriwayatkan hadis yang sama dari jalur sanad yang berbeda. Artinya, hadis di atas diriwayatkan oleh dua perawi (mukharrij al-hadis) dalam Kutub al-Sittah.

Penjelasan terkait status hadis di atas bukanlah poin terpenting dalam tulisan ini. Sebab, maksud dari tulisan ini bukan belajar tentang ulumul hadis. Namun, paling tidak hal tersebut dapat menjadi sebuah tambahan pengetahuan sebelum kita mengarah pada poin terpenting dalam tulisan ini.

Selain itu, mengetahui kualitas hadis serta segala perangkatnya, merupakan hal yang dibutuhkan dalam memahami hadis sebelum diaplikasikan dalam kegiatan (amaliyah) di masyarakat.

Ini menjadi penting sebab betapa banyak orang yang hanya memahami hadis sebatas literal-tekstualis tanpa memperhatikan kesejarahan dan ruh al-ma’ani yang terkandung dalam redaksi hadis.

Alhasil, menimbulkan sebuah pemahaman yang terkesan kaku dan bahkan salah. Barangkali hal itu yang melahirkan kelompok-kelompok Islam garis keras.

Kembali pada judul, pada sore menjelang Maghrib di bulan Ramadan, sering kali kita jumpai fenomena sekelompok orang dengan senyum termanisnya, berbagi takjil di tepi jalan raya.

Kebanyakan, mereka memakai atribut komunitas atau keanggotaan, baik instansi pendidikan maupun organisasi kemasyarakatan. Di satu sisi, kegiatan tersebut merupakan sebuah kepedulian sosial yang terbilang cukup baik.

Namun, di sisi lain, ada beberapa hal yang (mungkin) penting untuk dikaji ulang. Pasalnya – dalam teori pro-sosial Adler – tidak semua bentuk kepedulian sosial murni sebagai rasa peduli terhadap sesama. Sebaliknya, bisa jadi hal itu hanya sebatas jubah bagi ketercapaian diri melalui tindakan yang berasaskan sosial-kemasyarakatan (Jess Feist dan Gregory J. Feist, 2008, hlm. 68).

Lain dari itu, bagi-bagi takjil yang dilakukan di tepi jalanan seringkali mengganggu kelancaran lalu lintas. Ayunan tangan sambil melambai mengisyaratkan bahwa pengendara yang melintas diharapkan melepas gas dan menginjak rem kendaraan agar dapat mengambil takjil yang disuguhkan melalui uluran tangan si pembagi, baik sambil jalan atau menghentikan laju kendaraannya.

Tentunya sedikit memakan area jalan raya. Sasaran dalam bagi-bagi takjil tersebut pun terbilang variatif, mulai pengendara sepeda ayun hingga pengendara mobil mewah yang sejatinya notabene tidak membutuhkan gratisan takjil sebungkus nasi.

Bahkan – bukan berarti bersikap skeptis – bisa jadi penerima takjil gratisan tepi jalan adalah mereka yang tidak berpuasa. Hal ini tentunya sebatas kemungkinan yang bisa saja terjadi. Namun, bagaimana pun memberi lebih baik dari pada tidak memberi.

Jika pesan agama – hadis di atas – menyeru untuk berbagi makanan pada orang yang berpuasa dengan reward pahala sebagaimana orang yang berpuasa, namun seruan tersebut tidak dapat ditelan begitu saja.

Seperti halnya latar belakang hadis itu teredaksikan, sasaran orang yang diberi, serta hal lain yang melingkupinya, harus diperhatikan. Secara eksplisit, hadis yang diriwayatkan al-Tirmidzi di atas tidak memuat batasan bagi penerima, artinya siapa pun berhak mendapatkan pemberian takjil secara gratis.

Akan tetapi, dari segi kemanfaatan akan jauh lebih sempurna jika di-tasharruf-kan pada orang-orang yang membutuhkan. Misalnya, orang-orang yang memang kekurangan dalam kesehariannya, yayasan-yayasan yang mengakomodir anak-anak yatim, dan lain sebagainya.

Sebab, pesan normatif lainnya pun menyeru agar berbagi pada delapan golongan yang telah ditentukan. Terlepas dari teori yang dikemukakan Adler sebelumnya, hal tersebut sepertinya lebih tepat sasaran dalam ranah kemanfaatan.

Bagi-bagi takjil di tepi jalan raya sekarang ini seakan telah menjadi trend. Fenomena ini lebih banyak dilakukan oleh instansi, lembaga, organisasi, serta kelompok.

Baca juga: Menghidupkan Malam-malam Akhir Ramadhan

Sejauh pengamatan yang dilakukan penulis dari beberapa kegiatan yang ada akhir-akhir ini, nampaknya hal tersebut ditujukan sebagai bagian dari kontestasi entitas keberadaan, promosi lembaga, dan ada juga yang hanya sekedar ikut-ikutan agar mendapat pengakuan atas kepedulian sosial-kemasyarakatan.

Di era milenial ini, mengikuti trend yang berkembang adalah sebuah keniscayaan. Semangat berbagi takjil di era masa kini akan jauh lebih keren jika tersalurkan tepat sasaran dan lebih mengandung kemanfaatan.

Untuk sampai pada pemahaman secara kaffah, – meski bersifat nadhari (pendapat) – terhadap teks keagamaan (baca: Al-Qur’an dan hadis), memerhatikan kesejarahan suatu teks, korelasi dengan dalil-dalil lain, adalah sesuatu yang dibutuhkan dan tidak boleh diabaikan.

Dari sini, pesan moral teks keagamaan (baca: Al-Qur’an dan hadis) menjadi luwes dan tidak kaku, serta dapat diterapkan di lintas zaman, tempat, dan keadaan. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Fazlur Rahman dalam teori double movement-nya.

Editor: Sukma Wahyuni
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]

Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂

Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!

Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

1
Khoirul Faizin
Khoirul Faizin adalah mahasiswa Ilmu al-Qur'an dan Tafsir Pasca Sarjana UIN Sunan Ampel Surabaya. Lahir pada 4 April 1994 di Lamongan. Ia juga sebagai tenaga pengajar al-Qur'an Hadis di MTs. Mamba'ul Ma'arif Banjarwati Paciran Lamongan.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals