Polemik RUU Omnibus Law Cipta Kerja: Perjuangan yang Belum Berakhir

RUU Cipta Kerja sejak penyusunannya mengandung pasal-pasal problematis sehingga diperlukan berbagai masukan agar lebih representatif terhadap kebutuhan masyarakat.4 min


0
Sumber gambar : newsmaker.tribunnews.com

Pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 5 Oktober lalu mengundang beragam reaksi. RUU ini (dalam Bab II Pasal 4) mengatur kebijakan meliputi: 1). Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha. 2). Ketenagakerjaan. 3). Kemudahan, perlindungan serta pemberdayaan koperasi dan UMK-M. 4). Kemudahan berusaha. 5). Dukungan riset dan inovasi. 6). Pengadaan tanah. 7). Kawasan ekonomi. 8). Investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional. 8). Pelaksanaan administrasi pemerintahan. 9). Pengenaan sanksi.

Dilihat sekilas, regulasi ini mengatur proses kegiatan ekonomi serta aktor yang terlibat di dalamnya. Baik investor, pengusaha, pekerja, lahan dan lainnya diatur sedemikian rupa dalam lembaran setebal 905 halaman itu.

Namun kini, RUU tersebut tengah dikecam oleh berbagai kalangan karena dianggap kontroversial dan hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu serta merugikan pihak yang lain.

Baca Juga: Rekonsiliasi Politik Pasca Pemilu: Merawat Demokrasi dan Kesatuan Bangsa

Kecaman terhadap RUU ini disampaikan oleh berbagai pihak, di antaranya para ahli hukum, ekonom, akademisi dan masyarakat umum. Melalui berbagai medium, mereka menyampaikan argumen ketidaksetujuannya.

Bahkan organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama secara terang-terangan menyampaikan keberatan mereka terkait RUU Cipta Kerja. Namun hingga saat ini DPR pun belum buka suara atau mendengarkan suara masyarakat.

Berbagai pihak menilai RUU Cipta Kerja mengesampingkan hak buruh (pekerja), mengutamakan tenaga kerja asing, mempermudah investor mendapatkan izin penggunaan lahan, sehingga nanti akan menimbulkan kerusakan lingkungan dan lainnya.

Hal yang paling membuat publik curiga adalah sikap tergesa-gesa DPR dalam membahas dan mengesahkan RUU Cipta Kerja tersebut. Tidak heran jika banyak orang menduga DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) sedang memanfaatkan situasi pandemi untuk mengesahkan RUU yang masih problematis itu.

Tulisan ini pun tidak akan mengulik isi pasal RUU Cipta Kerja lebih jauh. Hal ini karena keterbatasan kapasitas penulis dalam memahami buku tebal undang-undang itu, juga tidak memiliki background di bidang itu.

Apalagi berbicara di media mainstream tanpa basis yang jelas, tentu saja akan menjadi malapetaka untuk diri penulis sendiri. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba merangkum hal-hal yang dianggap janggal dari RUU Omnibus Law Cipta Kerja, apa yang dituntut di lapangan dan lainnya.

Dimulai dari penggunaan istilah “omnibus law”. Istilah ini menjadi metode pembuatan RUU terbaru di Indonesia. Berawal dari pidato Presiden RI, Joko Widodo, pada Sidang Paripurna dalam rangka terpilihnya ia sebagai presiden RI periode 2019-2024.

Beliau menyebutkan bahwa metode omnibus law merupakan strategi menyederhanakan regulasi terkait program unggulannya ke depan. Hal ini menunjukkan bahwa undang-undang Omnibus Law adalah undang-undang yang sangat kompleks.

Baca Juga: Demi Bangsa dan Negara!!!

Salah satu program unggulan beliau adalah regulasi terkait penyediaan lapangan pekerjaan dan pengembangan UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah). Maka, dalam konteks saat ini kita melihat bahwa RUU Cipta Kerja merupakan undang-undang yang dirancang sebagai sistematisasi undang-undang sebelumnya.

Sebagai sebuah undang-undang yang sistematis, rancangannya tentu harus dilakukan secara sigap, cermat, teliti dan pastinya harus mampu merangkul seluruh kepentingan pihak terkait, terutama masyarakat.

Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Kelompok kontra melihat RUU Omnibus Law Cipta Kerja dibahas dalam waktu yang cukup singkat dan tidak melibatkan masyarakat sepenuhnya. Padahal, RUU ini sangat krusial dan harus benar-benar diperhatikan pasal-pasalnya.

DPR dinilai semena-mena sehingga tidak mementingkan pendapat rakyat, pembahasannya secara tertutup dan mengabaikan aspirasi pihak yang kontra terhadap RUU tersebut. Oleh karena itu, gerakan penolakan terhadap pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja digaungkan di beberapa titik di Indonesia. Salah satu gerakan penolakan adalah aksi unjuk rasa.

Aksi unjuk rasa di beberapa daerah di Indonesia digelar pada 7-8 Oktober 2020. Adapun tujuan aksi massa digelar adalah untuk membatalkan pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja agar tidak dilanjutkan menjadi undang-undang tentunya.

Aksi unjuk rasa terus berlangsung, baik di Jakarta dan di beberapa titik di Indonesia. Tidak jarang terjadi pengrusakan fasilitas umum. Salah satunya pembakaran halte Sarinah. Tentu saja unjuk rasa kali ini tidak mengejutkan, karena sebelumnya sudah pernah terjadi aksi dengan massa yang cukup besar.

Tepatnya pada September 2019 lalu, aksi mahasiswa yang menolak beberapa RUU saat itu juga mencantumkan penolakan terhadap pasal-pasal bermasalah dalam RUU Cipta Kerja tersebut.

Dari fenomena ini, setidaknya dapat kita pahami bahwa dari kebijakan DPR terhadap RUU Cipta Kerja sejak penyusunannya sudah banyak mengandung pasal-pasal yang problematis sehingga diperlukan masukan dari berbagai pihak agar dapat merepresentasikan kebutuhan rakyat. Dari proses-proses pembahasan hingga pengesahannya pun tidak sesuai dengan alur yang semestinya.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun nampak “bodoh amat” dan tidak peduli dengan aspirasi rakyat. Dari sinilah pangkal ketidakpercayaan rakyat terhadap wakil-wakilnya ini. Pun beberapa kali wakil rakyat selalu membuat keputusan yang dinilai tidak mewakili suara rakyat.

Apabila RUU Omnibus Law Cipta Kerja tetap disahkan sesegera mungkin, DPR perlu mengedukasi masyarakat dengan memberikan pemahaman mengenai undang-undang ini secara komprehensif, membuka ruang untuk berjumpa dan berdialog bersama dengan masyarakat dari berbagai kalangan.

DPR juga harus menjelaskan seberapa penting undang-undang ini sehingga harus disahkan di masa pandemi yang belum diketahui kapan akan berakhir. Tentu saja ini menimbulkan kemudaratan, karena massa aksi sangat berisiko terpapar virus Covid-19.

Baca Juga: Etika Politik dalam Pemikiran Konfusius

Namun, berkaca dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, nampaknya DPR tidak akan memberikan ruang-ruang semacam itu.Aksi mahasiswa juga belum berakhir. Mungkin akan ada aksi susulan, tapi apakah mampu mempengaruhi kebijakan-kebijakan?

Faktanya, draft RUU Cipta Kerja itu sudah diserahkan kepada presiden. Meskipun mengurangi beberapa halamannya, dikatakan bahwa tidak ada perubahan apa pun terkait substansi isinya. Padahal banyak sekali kalangan yang mencurigai adanya pasal-pasal sisipan komplotan elit.

Presiden Joko Widodo mengeluarkan pernyataan terkait RUU Cipta Kerja pada 9 Oktober 2020. Dalam pidatonya tersebut, beliau menyebutkan faktor-faktor pentingnya RUU Cipta Kerja, Isu hoax yang muncul di media dan meluruskan beberapa kesalahpahaman dalam melihat RUU ini.

Sikap presiden sebagai pemimpin negara dianggap terlambat karena kericuhan sudah terjadi di beberapa titik unjuk rasa, bentrok antara aparat dengan massa aksi dan lain-lain. Selain itu, banyak spekulasi tanpa fakta dan data ikut dimunculkan ke publik.

Adanya isu aksi ditunggangi oleh pihak berkepentingan, baik elit politik dan “asing” menyeruak ke publik. Rasanya isu ini hanya taktik pengaburan fokus. Rakyat dicekoki oleh teori-teori konspirasi yang muncul dari asumsi tanpa fakta dan data yang jelas. Buktinya, hingga saat ini tidak ada pihak tertentu yang benar-benar ditindak sebagai “penunggang”.

Penangkapan terhadap beberapa orang yang dituding sebagai penyebar hoax dan berbagai upaya lainnya semakin mempertontonkan “oligarki”. Masyarakat dianggap bodoh yang tidak memahami teater yang sedang dimainkan.

Aksi terus berlanjut, namun nampaknya tidak ada arti dan pengaruh apa-apa. Benar saja, pada 2 November RUU Omnibus Law secara resmi ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo. Dengan begitu, RUU Omnibus Law sah menjadi UU No.11 Tahun 2020.

Beliau bersama jajarannya pun kembali menegaskan bahwa apabila ada yang tidak menyetujui perundangan tersebut dapat mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Sederhananya, suara yang sudah digaungkan sejak lama sedikit pun tidak digubris oleh para wakil dan pemimpin rakyat. Jalan mana lagi yang harus ditempuh?

Rakyat biasa hanya menonton aksi anarkis yang ditampilkan media. Sesekali heran melihat para demonstran dan bertanya : “apa yang sedang mereka perjuangkan?”. Mereka yang berjuang nan berdarah-darah hingga meregang nyawa hanya deretan soal angka, bukan manusia yang membela haknya. Sementara para pejabat yang berwenang sedang goyang kaki atau sekadar menikmati aroma kopi dari gelas mahalnya.

Editor: Ainu Rizqi
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]

Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂

Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!

Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

0
Sukma Wahyuni

Tim Redaksi Artikula.id

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals