Quo Vadis Politik Kriminal RUU-Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS)

Ada yang dilupakan, akar segala bentuk kekerasan pada perempuan sejatinya dibuat oleh sejarah. Bukan melulu soal lekuk tubuh dan berahi. 3 min


1
Ilustrasi: Sofia Bonati (diambil dari society6.com)

“One is not born a woman, but becomes one.” –Simone de Beauvoir

Publik mungkin setuju Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) yang berisi 50 pasal adalah ikhtiar kecil dalam memutus mata rantai kekerasan terhadap perempuan. Bahwa penindasan, kekerasan tak menyerah menjadi takdir sejarah. Menelisik dalam logic manusia. Dalam bahasa sederhana RUU-PKS adalah bentuk paling logis dari perlawanan itu.

Naskah akademik RUU-PKS yang disusun berdasarkan pengalaman korban dan advokasi, kini dicabut dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Tentu saja keputusan tersebut tidak terlalu mengejutkan. Sejak tahun 2012 ketika rancangan undang-undang ini mulai di-inisiasi oleh Komnas Perempuan, terhitung sejak diserahkannya draft naskah akademik pada DPR tahun 2016, tarik ulur terjadi. Kemudian rapat paripurna 6 April 2017, draft disepakati sebagai inisiatif DPR, RUU ini ditangani oleh Komisi VIII yang membidangi agama dan sosial.

Tak lama berselang RUU-PKS dibahas, RUU tersebut menarik perhatian masyarakat luas, dan menjadi sorotan. Petisi penolakan dan dukungan bertarung dalam kanal media sosial dan berbagai bentuk aksi solidaritas. Lebih dari itu kontestasi wacana antara feminisme dan nilai-nilai agama serta nilai-nilai lokalitas Indonesia mencuat dan dimanfaatkan sebagai isu oleh beberapa partai politik.

Baca juga: Membaca Perempuan dari Masa ke Masa

Memandang realitas kontestasi wacana agama dan feminisme, nampaknya tokoh agama pun perlu diberikan ruang, karena memiliki posisi strategis untuk mendukung pengesahan RUU PKS. Peran strategis ini bukan saja untuk mengedukasi umatnya, melainkan juga menangani kasus di lingkungan keagamaan. Sebab, kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja, termasuk di tempat yang dianggap suci seperti rumah ibadah, atau bahkan dilakukan oleh tokoh agama sendiri.

Jalan panjang rancangan undang-undang ini berawal dari ditetapkannya kondisi darurat kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak yang terjadi di Indonesia, pada masa periode awal pemerintahan Jokowi. Kasus Yuyun, salah satu yang menunjukkan bahwa regulasi hukum pidana di Indonesia belumlah cukup untuk memenuhi rasa keadilan bagi korban.

Kondisi tersebut menjadi sinyal dari politik kriminal yang diambil oleh negara, menyoal keberpihakan sekaligus sikap tegas dan jelas dalam kasus-kasus kekerasan seksual. Indonesia sebagai negara hukum mestilah memenuhi beberapa prasyarat;  supremacy of law, equality before the law dan constitution based on individual right. 

Marc Ancel menjelaskan, pengertian politik kriminal (criminal policy) sebagai usaha rasional dan terorganisasi dari suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan (the rational organization of the control of crime by society). Ia pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare).

Dengan demikian dapat dikatakan, politik kriminal juga merupakan bagian integral dari politik sosial. Ia dapat tercermin dalam laku politik yang dipilih oleh negara dalam berbagai bentuk, antara lain mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan melalui kebijakan yang hendak ditetapkan.

Selama ini kultur masyarakat di Indonesia masih memandang bahwa kekerasan seksual berada di ranah moral, agama dan privat. Semestinya negara mengubah kultur tersebut melalui upaya transformatif dalam bentuk kebijakan legislasi perundang-undangan. Demikian politik kriminal di samping dapat dilakukan secara represif melalui upaya non penal/criminal law application, dapat pula melalui sarana non penal/prevention without punishment.

Tujuan hukum pidana sebagai sarana terakhir (ultimum remedium), yang tidak hanya menciptakan tertib dan keteraturan, melainkan juga membangun keadilan sosial dalam sebuah masyarakat. Ia tidak semata sebagai sebuah sistem yang mekanis, rigid, menempatkan pasal-pasal dan manusia sebagai dua objek yang memiliki posisi berbeda dan berlawanan.

Baca juga: Politisi Perempuan di Senayan, Gender dan Framing Media

Pengertian keadilan yang dimaksud dalam konsep negara hukum Indonesia adalah bukan hanya sekedar keadilan hukum (legal justice), tetapi juga keadilan sosial (social justice). Terdapat kecenderungan interpretasi yang mengarah pada konsep rule of law. Dalam konsep keadilan ini, Iris Marion Young mengkritik konsep keadilan yang diusung oleh John Rawls.

Kritik Young bermula dari ketidaksetujuannya pada konsep yang diusung oleh John Rawls. Bagi Rawls, adil merupakan sebuah konsep keputusan dalam posisi asali (manusia tidak tahu akan jadi apa di masa depan). Dalam kondisi ini ia akan menerima hak sipil dan politik dalam perbedaan ekonomi. Perbedaan yang akan diterima adalah jika menguntungkan orang yang paling tidak diuntungkan dalam masyarakat.

Young mengkritik cara pandang negara dalam melihat kelompok-kelompok minoritas yang tidak diperhitungkan. Ia menyoroti sikap kelompok-kelompok kultural yang melakukan eksklusifitas dan memainkan politik perbedaan dengan “universalisme substitusi”, yakni, melakukan universalisme atas dasar partikularitas budaya dan agamanya. Young membicarakan keadilan dengan menitikberatkan pada kelompok-kelompok budaya sebagai bentuk-bentuk kehidupan yang tumbuh secara historis.

Baginya Rawls tidak realistis. Posisi asali tidak ada karena telah ada kondisi sosial masyarakat. Young memperluas konteks keadilan dengan memasukkan dimensi relasi kekuasaan dan penguasaan. Ia menegaskan kekuasaan, penguasaan dan penindasan merupakan parameter utama dalam menakar ketidakadilan.

Ia membedakan lima model penindasan; pemerasan, marginalisasi, ketakberdayaan, imperialisme budaya dan kekerasan. Persoalan diskriminasi terhadap perempuan adalah salah satu bentuk yang sulit dideteksi, karena sudah terkondisi secara struktural.

Dalam konteks yang lebih besar, ada yang dilupakan, akar segala bentuk kekerasan pada perempuan sejatinya dibuat oleh sejarah. Bukan melulu soal lekuk tubuh dan gejolak berahi. RUU-PKS bukan hanya sekedar regulasi yang ditujukan untuk kemenangan kaum perempuan. Ia adalah penanda kebebasan dari kemandegan sejarah.

Jika perempuan sebagai sebuah ide besar, maka upaya legislasi nasional dalam bentuk RUU-PKS dimaksudkan untuk sebuah tujuan yang lebih tinggi–keadilan sosial, yang tak lagi memandang jenis kelamin. Ia harus ada, mengakrabi dan menyentuh setiap yang dibungkam.

Setelah ini,  ke mana lagi keadilan terhadap korban kekerasan seksual disuarakan? (SJ)

_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]

Jadi, bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! 

Anda juga bisa mengirimkan naskah Anda tentang topik ini dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannyadi sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.iddi sini!


Like it? Share with your friends!

1
Dian Andriasari
Aktivis cum Dosen Hukum Pidana dan Kriminologi Universitas Islam Bandung

One Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals