Indonesia adalah negara yang darurat kejujuran. Banyak alasan mengapa Indonesia dikatakan sebagai negara yang darurat dengan kejujuran? Salah satu contoh kecilnya adalah masih banyaknya orang-orang yang senang sekali memproduksi informasi, berita-berita yang belum valid kebenaran dan sumbernya.
Sehingga sangat riskan menimbulkan kesalahpahaman (miss understanding) di kalangan masyarakat yang terlalu sering mengkonsumsi berita-berita tersebut. Tak hayal bahkan timbul beberapa kasus mengatasnamakan agama. Nyatanya, ajaran agama manapun tidak ada yang mengajarkan kekerasan.
Indonesia saat ini sebagaimana dikutip dari situs CNNIndonesia.com bahwa tercatat kurang lebih 800 ribu situs, terindikasi mengandung unsur Hoax, SARA atau Hate Speech, serta konten yang berbau persekusi. Hal inilah yang kemudian merambat menjadi identitas baru dalam terciptanya kasus-kasus kekerasan yang biasa kita kenal dengan radikalisme.
Betapa bahayanya dampak yang ditimbulkan dari budaya konsumsi secara massal tanpa mempertimbangkan kontennya, terlebih bagi kalangan pemuda-pemudi di dunia pendidikan yang menjadi sarana empuk melancarkan penanaman karakter radikal tersebut.
Lantas bagaimanakah solusi yang harus diterapkan bagi tercapainya masyarakat yang anti terhadap radikalisme tersebut, terutama bagi kalangan orang-orang yang berpendidikan?
Radikalisme, Pesantren dan Values Of Peace
Radikalisme merupakan fakta sosial yang spektrumnya merentang dari lingkungan makro (global), lingkungan messo (nasional) maupun lingkungan mikro (lokal). Kajian mengenai radikalisme lebih banyak memberi perhatian kepada proses radikalisasi dan akibat-akibat radikalisme. Dalam pendekatan tersebut, berupaya mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan individu atau kelompok bertindak radikal.
Mereka memandang bahwa keyakinan, latar belakang pendidikan, kondisi sosial dan ekonomi menjadi faktor-faktor yang membentuk proses radikalisasi. Selain itu tindakan radikal, seringkali dipandang sebagai pilihan rasional bagi sekelompok orang. Tindakan radikal melibatkan mobilisasi sumber daya dan kesempatan politik yang dibingkai dengan kerangka tertentu, misalnya agama.[1]
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa kehadiran gerakan radikal ini juga bisa melalui jalur pendidikan, sebagai contohnya melalui pendidikan berbasis agama, yakni pesantren. Hal ini mengacu pada pernyataan Pemerintah RI melalui Wakil Presiden RI Muhammad Yusuf Kalla pada masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, beliau akan mengawasi dengan ketat, aktivitas pesantren yang tersebar di tanah air. Menurutnya beberapa aksi teror di antaranya peristiwa bom Bali tidak menutup kemungkinan, para pelakunya santri dari pondok pesantren yang tersebar di tanah air.
Wacana mengenai relasi pesantren dengan radikalisme, merujuk pada dua kemungkinan. Pertama, pesantren-pesantren tersebut hadir dalam masyarakat mengambil pola pendidikan impor dari luar negeri (negara yang menjadi basis Islam radikal. Kedua, cara pandang keislamannya tekstual skripturalistik, akibatnya pemahaman konteks atas suatu teks keagamaan (Al-Qur’an dan Hadits) kurang. Fenomena tersebut dipengaruhi oleh pemikir Timur Tengah seperti Sayyid Qutb, Hasan al-Banna dan lain-lainnya.[2]
Pertanyaannya kini, apakah benar bahwa pesantren dengan ajaran yang terfokus pada pendidikan ilmu agama mengajarkan tentang tindak radikalisme tersebut? Atau ada sebagian pesantren yang seperti itu?
Mengenai wacana di atas terkait kalangan yang mengatakan bahwa pesantren adalah sumber ladang bagi penanaman pemahaman yang radikal, itu semua tidaklah benar. Menurut saya itu adalah anggapan atau sebuah asumsi yang tidak selamanya benar hanya dimanfaatkan oleh sekolompok orang yang ingin memperkacau wajah Islam.
Nyatanya, memang sebagian pesantren di Indonesia ada yang sangat tertutup dengan dunia luar sehingga memberi kesan bagi masyarakat untuk selalu mawas diri terutama bagi lulusan pesantren yang tertutup tersebut. Tetapi di sebagian besar yang ada di Indonesia pesantren memiliki peran yang sangat besar dalam melahirkan cendikiawan-cendikiawan muslim yang paham tentang ilmu agama.
Oleh karena itu, pesantren dengan seluk beluknya sangat sah dikatakan sebagai wadah pendidikan berbasis agama terbaik di dunia, karena segala sesuatu yang diajarkan dalam agama telah terpatrikan di dalam jiwa pesantren, begitupun seorang santri. Adapun ajaran pesantren yang sangat kuat mengakar dalam jiwa santri adalah ajaran untuk bersikap saling terbuka, saling memahami, saling mengerti dan saling menghargai. Begitu pula dalam ajaran agama Islam yakni mengenai ajaran toleransi antar golongan terutama antar umat beragama.
Strategi inilah yang sebenarnya ingin diajarkan oleh agama kita, bagaimana kita bersikap kepada orang lain yang tidak sama latar belakangnya dengan kita, bagaimana menerapkan nilai persaudaraan di tengah perbedaan. Inilah ajaran sesungguhnya dari agama Islam bahwa agama tersebut sama sekali tidak mengajarkan nilai-nilai radikalisme, bahkan Islam menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian, sebagaimana dinamika yang terjadi di dalam lembaga pesantren tersebut.
——————-
[1]Quintan Wiktorowicz, Gerakan Sosial Islam: Teori, Pendekatan dan Studi Kasus, (Jakarta:Gading Publishing, 2012).
[2]Nuhrison M. Nuh, (ed.), Peranan Pesantren dalam Mengembangkan Budaya Damai, hlm. 3.
0 Comments