Toleransi dan Pendidikan Moderat dalam Keluarga Kiai

“Tidak penting apapun agama dan sukumu kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan pernah bertanya apa agamamu” Gus Dur4 min


5
Sumber gambar: Andrydj / Freepik.com

Kiai bagi orang NU adalah panutan. Seseorang yang ‘alim dan mumpuni untuk bisa ditanya oleh masyarakat awam tentang berbagai problematika masyarakat dan agama. Kiai tidak selalu memiliki pesantren, namun pada umumnya yang memiliki pesantren disebut kiai. Di nDalem (rumah), kiai disibukkan dengan mengurus santri di pesantren dan jama’ah di masjid. Dari mulang ngaji (mengajar mengaji) berbagai kitab kuning khas pesantren, juga menerima tamu dari berbagai kalangan.

Mulai dari masyarakat umum, pejabat, tokoh politik maupun sesama tokoh agama sesuai kepentingan dan keperluan masing-masing. Kiai selalu membuka pintu rumahnya untuk masyarakat yang bertandang tanpa pandang.

Hampir setiap hari Kiai disibukkan dengan persoalan umat. Tak jarang Kiai harus tindak’an (bepergian) ke luar kota untuk mengisi undangan pengajian sebagai bagian dari dakwah kepada masyarakat umum. Termasuk di dalamnya Kiai tindak’an juga sering untuk tujuan menikahkan alumni pesantren, mengurus organisasi masyarakat, hingga urusan politik meski tak semua Kiai terjun ke ranah politik. Serta bersilaturahim atau sowan antar sesama Kiai kepada Kiai yang lebih sepuh (tua), merekatkan hubungan kekeluargaan dan jama’ah menunjukkan sikap andhap asor (rendah hati) dari seorang Kiai.

Banyak Kiai yang mewariskan ke-kiai-annya kepada putra-putrinya. Namun banyak pula putra-putri Kiai yang tidak melanjutkan ke-kiai-an Abah-nya (sebutan umum untuk Ayah dalam keluarga Kiai). Itu bisa dilihat dari profesi putra-putri Kiai yang memilih berkiprah di luar dunia pesantren. 

Di antara para putra-putri Kiai tersebut yaitu Najwa Shihab putri dari KH. Prof. Dr. Quraisy Shihab yang adalah salah satu Anchor populer negeri ini, Ia juga adalah Duta Baca Indonesia. Lulus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 2000, lantas merintis karir di media elektronik di bagian jurnalistik televisi. 

Kemudian ada Gus Ipank Wahid putra dari KH. Dr. Ir. Salahudin Wahid yang menekuni dunia periklanan. Lulusan Institut Kesenian Jakarta pada tahun 1991 ini, kemudian meneruskan kuliah di The Art Institute of Seattle Amerika Serikat mengambil jurusan musik dan bisnis video. Lalu ada Inayah Wahid putri dari presiden keempat KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Mencintai dunia teater sejak di bangku kuliah mengantarkan Mbak Nay panggilan akrabnya, ikut terlibat bermain di serial komedi situasi di salah satu televisi swasta.

Begitu pula Mbak  Yenny Wahid, putri kedua Gus Dur. Setelah lulus pendidikan S1 di Universitas Trisakti Jurusan Desain dan Komunikasi Visual, beliau meneruskan pendidikannya di Universitas Harvard, Boston, Amerika Serikat mengambil Studi Administrasi Publik. Mbak Yenny sempat menekuni profesi reporter di Timor-Timur dan Aceh. Beliau menjadi koresponden koran terbitan Australia, The Sydney Morning Herald dan The Age (Melbourne). 

Selain dari profesi mereka yang 180 derajat berbalik dari aktivitas Ayah mereka namun bukan berarti mereka absen dari kegiatan sosial masyarakat dan kemanusiaan yang memberi makna dan manfaat untuk sesama. Mereka berdakwah dengan cara yang berbeda dari Ayah mereka. Mereka tidak 100 persen meninggalkan khasanah pesantren, lingkungan di mana mereka dilahirkan dan dibesarkan. Terutama nilai-nilai agama yang diajarkan, lebih diaplikasikan secara kontekstual oleh mereka. 

Faktor tersebut dipengaruhi oleh sikap demokratis Ayah mereka dalam mendidik mereka. Sehingga Ayah mereka menghargai jalan keputusan dari segi pendidikan dan profesi yang diambil putra-putrinya.

Melihat kiprah mereka di lingkungan yang berbeda dari keluarganya, memberi pengajaran dan pelajaran bagi kita untuk berprinsip siapapun kita, bagaimana pun kita, di mana pun kita jadilah manusia yang bermanfaat. Seperti kata Gus Dur, “Tidak penting apapun agama dan sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan pernah bertanya apa agamamu”. 

Membayangkan begitu pula Gus Dur sebagai seorang Ayah memberi wejangan kepada putri-putrinya. Dan beruntungnya wejangan tersebut adalah wejangan untuk anak bangsa ini, yang masih sangat relevan kita sendiko-dawuhi (terapkan) di kehidupan saat ini.

Putri pertama Gus Dur juga adalah aktivis sosial kemanusiaan dan peace maker. Bukan sekadar mengurus santri di pesantren atau bergelut di dunia pesantren, Ia memilih mengurus semua lapisan masyarakat dari berbagai elemen, suku dan agama. Beliau adalah Mbak Alissa Wahid yang tinggal di Yogyakarta merupakan ketua Jaringan Gusdurian. 

Perempuan alumnus Psikologi Universitas Gajah Mada ini sangat peduli dengan isu toleransi. Ia aktif melakukan diskusi lintas agama bersama Gereja Kristen Indonesia (GKI). Mbak Alissa meneruskan perjuangan ayahnya dalam bidang Budaya. Ia mengambil bagian dalam perkembangan The Wahid Institute, mengelola kelas Pemikiran Gus Dur. 

Berkaca dari seorang Gus Dur yang tidak hanya sebagai Kiai. Beliau juga adalah budayawan, cendekiawan, negarawan dan pejuang kemanusiaan. Bahkan Gus Dur berpesan untuk membubuhkan sebutan sebagai pejuang kemanusiaan tersebut di pusaranya. Betapa ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin meresap dalam aliran darahnya. Kita semua patut mencontoh sikap keluarga-keluarga Kiai tersebut. 

Dalam demokratis pengajaran dan mendidiknya, tidak memaksa anak-anak menjadi seperti yang kita inginkan. Sebab, kata Kahlil Gibran anak-anak adalah anak-anak kehidupan, mungkin mereka terlahir melalui engkau tapi mereka bukan milik engkau. Dan di balik potret keluarga Kiai itu, kita tidak bisa begitu saja menafikan peran ibu mereka. Sebab Ibu adalah madrasatul ula bagi anak-anaknya.

Kita mengambil contoh peran Ibu Sinta Nuriyah, ibunda Mbak Inayah Wahid yang adalah juga bukan saja panutan di kalangan pesantren terutama bagi perempuan di muslimat NU dan IPPNU sebagai aktivis perempuan NU. Namun juga panutan perempuan Indonesia pada umumnya. Beliau adalah representasi jiwa Kartini Indonesia. Baru-baru ini beliau masuk dalam daftar 100 orang berpengaruh di dunia versi majalah TIME

Predikat itu tentu tidak serta merta diberikan begitu saja. Namun berdasarkan dari apa yang telah dilakukannya untuk bangsa ini dalam aktivitas sosialnya dalam menyuarakan Hak Asasi Manusia, pemberdayaan perempuan dan giatnya beliau mengajarkan kepada kita bagaimana menjaga toleransi di tengah keberagaman di Indonesia. Kegiatan beliau yang sangat membawa pengaruh hingga saat ini masih terus dilakukan adalah Sahur on the road lintas iman dan budaya. 

Di sini kita juga bisa melihat bahwa keluarga Kiai tersebut meletakkan perempuan di tempat yang terhormat dengan cara menghargai peran perempuan. Memberi kemerdekaan bagi perempuan untuk mengambil peran tidak semata dalam keluarga namun juga di tengah masyarakat. Perempuan tidak dianggap hanya sebagai orang yang tugasnya melahirkan anak-anak demi keberlangsungan keturunan Kiai, akan tetapi perempuan adalah pilar bangsa yang juga bisa menjadi agen perdamaian dan kemanusiaan bagi sesama. 

Seperti itulah yang dilakukan oleh Ibu Sinta Nuriyah, yang juga seorang putri Kiai. Setelah menamatkan pendidikan mualimat di Tambak Beras dan Madrasah Aliyah Denanyar Jombang, pendidikan khas pesantren dan S1 di bidang agama. Beliau mengambil S2 pada studi Kajian Wanita di Universitas Indonesia.

Sebagai masyarakat awam kita patut mengambil contoh dari keluarga-keluarga Kiai tersebut, yang demikian moderat dan terbuka menerima perkembangan zaman dengan open minded dan menerapkan karakter tawassuth, tawazun, tasamuh tidak saja dalam prinsip beragama namun juga dalam mendidik keluarganya. 

Dengan memberi ruang kepada penerus-penerus keluarga Kiai tersebut di medan perjuangan yang universal, supaya bisa menjangkau semua kalangan. Sehingga bisa mengaplikasikan ajaran Islam yang selamat dan menyelamatkan sesama makhluk Allah rabbul izzati. Tanpa sekat-sekat pembeda dengan lebih luas. Dan merangkul dengan sikap rahmah dan mesra bukan dengan marah dan mencela terhadap sesama, tanpa merasa menjadi kelompok yang lebih baik dari kelompok yang lainnya.

Wallohu al musta’an


Like it? Share with your friends!

5
Neyla Hamadah

Pembelajar kehidupan. Simple ga neko-neko, cuma sedang gila buku dan baca 😊

3 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

  1. Sae Ning artikele

    Sae Ning artike, ngapunten menawi kulo share tg beranda kulo pareng mboten njih

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals