Israel, Palestina, dan Proxy War

Sikap merasa paling benar cenderung tidak bisa diandalkan di kala berhadapan dengan masalah kompleks semisal Israel-Palestina. 3 min


0
Gambar Pribadi

Berpikir holistik dan kecakapan objektif di banyak kasus acap kali dijegal oleh sikap merasa paling benar, paling surgawi, paling tersakiti, dan paling-paling lainnya. Sikap demikian cenderung tidak bisa diandalkan di kala berhadapan dengan masalah-masalah yang kompleks, semisal problem Israel-Palestina.

Dalam konteks Indonesia, sikap ‘paling’ itu dengan mudah dapat kita temui terutama di laman maya, baik paling Yahudi, paling Zionis, paling Sunni, paling Syiah, maupun paling Kristen. Logika yang dominan dipakai ialah hitam-putih. Jika partisan Palestina, berarti pro teroris. Jika partisan Israel, maka dicap liberal, kafir, dan antek Zionis. Dan seterusnya. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh kecenderungan untuk melihat apa yang ingin dipercaya dan mengabaikan perbedaan-perbedaan atau dikenal dengan istilah cherry picking fallacy.

Baca Juga: Al-Quran Harus Direvisi Karena Diskriminasikan Yahudi?

Kemanusiaan dan masa depan yang damai bagi Israel dan Palestina terlihat kian utopis di hadapan cara berpikir demikian.

Faktanya, Israel bukan apa-apa tanpa Amerika dan sekutu. Karenanya melihat Israel tidak bisa berhenti pada identitas ke-yahudi-an, atau hanya sebatas Timteng (Timur Tengah). Ada kekuatan besar di sekeliling Israel. Kekuatan-kekuatan itu saling terhubung dan solid. Israel berarti akumulasi kekuasaan dari banyak aktor, state maupun non-state.

Pun demikian Palestina, ia tidak sendirian. Ada banyak kepentingan berkelindan di tubuh negara yang status politiknya sampai detik ini masih morat-marit. Kepentingan itu datang bukan hanya dari luar, namun juga internal Palestina. Hamas dan Fatah ialah dua kekuatan yang saling bersitegang di internal Palestina, mirip-mirip Cebong dan Kampret kalau di +62, meski resistensinya relatif ‘kalem’.

Israel dan Palestina adalah medan bagi pertarungan negara-negara yang menaruh keadikuasaan. Wilayah Israel-Palestina tak ubah seperti gelanggang beradunya petarung-petarung UFC. Yang lebam dan berdarah ditanggung petarung, lainnya hanya melempar sorak-sorai dan tepuk tangan.

Banyak kalangan, wa bilkhusus, pakar hukum dan hubungan internasional menyebut apa yang terjadi di Israel-Palestina sebagai proxy war. Istilah tersebut kira-kira semakna dengan adagium “lempar batu sembunyi tangan” atau “nabok nyilih tangan” (menempeleng tapi meminjam tangan orang lain).

Baca Juga: Tetangga yang Tak Pernah Akur

Alhasil, Israel-Palestina diposisikan sebagai perpanjangan tangan dari negara-negara yang berkontestasi merebut pengaruh dan kuasa. Sedikitnya, ada 3 poros yang bersaing ketat dari pembacaan Smith Alhadar (penasihat ISMES), dan kian terlihat jelas pasca Arab Spring.

Pertama, poros perlawanan, terdiri dari Iran, Irak, Suriah, dan Hizbullah-Lebanon. Kedua, poros kontra-revolusi yang terdiri dari Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, Yordania, dan Mesir. Mereka didukung AS
dan sekutu. Ketiga, poros pro-perubahan yang terdiri dari Turki dan Qatar, dan Ikhwanul Muslimin sebagai motor.

Ketiga poros di atas tidak hanya berseteru di skala sipil, namun juga regional hingga lintas negara. Galibnya, perseteruan mereka tidak jauh-jauh dari gold, oil, dan land. Dari fakta yang ada tentunya tak sulit bagi kita memahami kenapa kawasan Timteng, terlebih Israel-Palestina, sangat rentan konflik.

Selain itu, munculnya proxy war di negara-negara di Timur Tengah merupakan buntut dari dominasi nasionalisme qaumiyyah atas wathaniyyah. Nasionalisme berdasarkan yang terberi (given) ataukah teritorial? Kawasan Arab di masa kekhalifan hampir tidak mengenal konsep nation-state. Sampailah munculnya revolusi AS (1765-1783) dan Perancis (1789-1799), sehingga ide nation-state mewabah ke seantero dunia, tak terkecuali wilayah Arab. Dan kolonialisme berperan sebagai ujung tombak penyebaran ide itu.

Apa yang terjadi selanjutnya adalah kegamangan bangsa Arab menghadapi tatanan baru tersebut, setelah berabad-abad diasuh dengan sistem ala monarki-teokrasi-imperium. Bahkan hingga hari ini kegamangan itu masih dapat kita saksikan di Suriah dan Yaman, di antaranya.

Persoalan ini cenderung tak diurus dengan serius oleh negara-negara Arab maupun non-Arab (Turki dan Iran), sehingga merembet ke sektor liyan dan terus-menerus membuka kran intervensi dari banyak negara. Ditambah pula faktor geografis dan sumber daya alam (minyak) kawasan Timteng, yang kapan-kapan saja dapat menyulut perang proksi. Belum lagi kaitannya dengan kelangsungan distribusi senjata, dan sebagainya.

Betapa rumit, bukan? Karenanya kita yang remah-remah ini yang masih berada di ‘maqam donasi’, barangkali bisa memperluas perspektif dalam membaca silang sengkarut Israel-Palestina. Tidak tunggal, apalagi emosional.

Dengan kata lain, sebisa mungkin hindari oversimplifikasi dalam melihat konflik Israel-Palestina, yang hanya sebatas perseteruan antara Islam dan Yahudi; atau sebatas teologis-eskatologis belaka; apalagi setakat kampret-kadrun. Jika kita masih bertahan dengan sikap demikian, mustahil kiranya petaka kemanusiaan ini dapat dientaskan. Very impossible.

Editor: Ainu Rizqi
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]

Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂

Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!

Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!

[zombify_post]


Like it? Share with your friends!

0
Mahmud Wafi

Mahmud Wafi, wakil pimred Artikula.id, merupakan seorang pekerja sosial, juga merangkap sebagai santri malam minggu di Lingkar Mahiyyah.

One Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

  1. Ping-balik: Kerapuhan Israel