Al-Qur’an sebagai sebuah kitab suci yang turun tiga abad silam telah melalui perjalanan yang panjang sehingga masih tetap eksis sampai saat ini. Dalam perjalanannya, tentu Al-Qur’an melewati kehidupan umat manusia dari masa ke masa. Dari persentuhannya dengan umat manusia tiap-tiap masanya, Al-Qur’an telah banyak memberikan warna pada wajah sejarah umat manusia.
Warna yang diberikan oleh Al-Qur’an tentu warna yang mencerahkan. Karena Al-Qur’an merupakan pedoman, petunjuk, dan penuntun umat manusia di dalam melewati lika liku kehidupan di dunia. Tidak sedikit pula ulama-intelektual yang terinspirasi dan termotivasi oleh Al-Qur’an sehingga mereka mampu memahami makna kehidupan, mampu melihat realitas sebagaimana adanya dan realitas sebagaimana seharusnya, mampu memakmurkan alam, dan kemampuan-kemampuan lainnya yang menuntun peradaban manusia ke arah yang lebih baik.
Perjalanan panjang yang dilalui oleh Al-Qur’an dari awal turunnya hingga hari ini menandakan bahwa Al-Qur’an sesuai dengan segala masa dan tempat, sebagaimana para ulama mengatakan bahwa Al-Qur’an itu sholih likulli zaman wa makan, dan ini merupakan salah satu mukjizat Al-Qur’an.
Ali Syariati mengatakan di dalam bukunya, Sosiologi Islam, bahwa Al-Qur’an akan tetap eksis sampai akhir zaman dikarenakan Al-Qur’an menggunakan bahasa simbol. Sehingga Al-Qur’an tidak akan selesai dan tuntas untuk dikaji pada suatu masa saja, tetapi Al-Qur’an akan selalu dapat dikaji dalam setiap zaman karena keuniversalan dan metafora bahasanya. Jika bahasa yang digunakan oleh Al-Qur’an adalah bahasa yang hakiki (hakiki dalam ilmu mantik berarti kata yang sebenarnya), bukan bahasa majas atau simbol, maka Al-Qur’an akan kehabisan makna karena akan selesai dikaji pada suatu masa tertentu.
Al-Qur’an sebagai sebuah pedoman bagi umat manusia yang telah teruji oleh zaman dan masih tetap eksis serta terjaga kemurniannya perlu untuk dimasyarakatkan. Meminjam bahasanya Prof Quraish Shihab, Al-Qur’an perlu untuk dibumikan. Pembumian maupun pemasyarakatan Al-Qur’an menjadi agenda yang sangat penting agar Al-Qur’an yang berisi tuntunan hidup laksana lentera mampu menerangi umat manusia dalam mengarungi kehidupan.
Memasyarakatkan Al-Qur’an bukanlah kegiatan yang terbilang gampang. Karena Al-Qur’an memiliki dimensi transcendental dan sakral serta menggunakan bahasa yang simbolik-metaforis sehingga perlu pendekatan untuk memahaminya. Dalam tradisi Islam, setidaknya terdapat tiga pendekatan untuk menyingkap makna Al-Qur’an. Ketiga metode tersebut ialah terjemah, tafsir dan takwil.
Dr. Mohd Sabri mengatakan bahwa terjemah adalah salah satu metode penyingkapan makna Al-Qur’an yang bersifat literer dan harfiah. Metode ini menyingkap makna melaui relasi teks ke teks. Teks Al-Qur’an yang berbahasa Arab disingkap maknanya melalui penerjemahan ke dalam bahasa kedua.
Tafsir adalah salah satu metode penyingkapan makna yang melihat relasi antara teks dengan konteks. Teks-teks wahyu dicoba untuk didialogkan dengan konteks masyarakat tertentu. Sedangkan takwil ialah metode penyingkapan makna Al-Qur’an yang melihat substansi atau makna terdalam dari sebuah teks.
Lebih lanjut, Sabri juga mengilustrasikan Al-Qur’an sebagai sebuah laut. Metode terjemah dianalogikan dengan orang yang ingin menggambarkan sebuah laut, tetapi ia hanya berada di tepi laut untuk memandangnya. Ada jarak antara dirinya dengan laut. Dia memandang laut hanya sebagai sebuah ekosistem yang mengalami pasang surut, memiliki hutan bakau, memiliki air yang bergelombang tanpa menyentuh dan merasakan kesegaran airnya.
Kemudian metode tafsir diibaratkan ketika orang tersebut mencoba menggambarkan laut dengan cara terjun ke dalam laut tersebut dan bersentuhan dengan air, terumbu karang dan lain sebagainya. Sedangkan metode takwil dimisalkan ketika seseorang yang ingin menggambarkan laut, dia tidak hanya memandangnya dari kejauhan, tetapi dia juga terjun ke dalam laut tersebut. Tidak hanya sampai disitu, dia lantas menyelam ke dasar laut untuk menyaksikan keindahan yang berada di balik laut tersebut. Dia menyaksikan keindahan terumbu karang, ikan-ikan yang berenang kesana kemari dan lain sebagainya.
Dengan demikian, jika ingin melakukan pemasyarakatan Al-Qur’an, diperlukan ketiga metode tersebut untuk menyingkap makna terdalam dari Al-Qur’an sehingga makna terdalam yang ada di dalam Al-Qur’an bisa tersingkap dan dapat menjadi pelita yang dapat digunakan manusia dalam berjalan di tengah kegelapan alam semesta.
Pemasyarakatan Al-Qur’an bukan berarti hanya menjadikan Al-Qur’an sebagai sebuah bacaan saja, akan tetapi lebih dari itu. Al-Qur’an yang bersifat transendental dan sakral harus didialogkan dengan kehidupan duniawi yang bersifat profan. Sehingga nilai-nilai kebenaran mutlak yang terdapat di dalam Al-Qur’an dapat dijadikan landasan di dalam mengarungi samudera kehidupan
Metode untuk melakukan pemasyarakatan Al-Qur’an di zaman now pasti berbeda dengan dengan zaman klasik. Zaman sekarang merupakan zaman digital, zaman teknologi, sains dan ilmu pengetahuan, zaman post modernisme, post-truth, era disrupsi dan berbagai sebutan lainnya. Zaman ini memiliki keunikannya tersendiri seperti munculnya dunia lain, yakni dunia maya.
Selain dimasyarakatkan di dunia nyata, Al-Qur’an juga perlu dimasyarakatkan di dunia maya. Media-media sosial dan elektronik perlu dipenuhi dengan ajaran-ajaran Al-Qur’an yang benar sesuai dengan kaidah terjemah, tafsir dan takwil sehingga media sosial tidak menjadi tempat bagi ujaran kebencian, ajaran radikal, penyinggungan Sara dan lain sebagainya. Agenda ini bukan hanya menjadi tugas sebagian orang saja, tetapi ini merupakan tanggung jawab kita semua sebagai umat beragama.
Wallahu A’lam.
0 Comments