Ulama Mengubah 186 Kata Dalam Al-Quran?

Penjelasan tentang Hasil Mukernas Ulama Al-Qur’an di Bogor3 min


2

Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Ulama Al-Qur’an yang diselenggarakan oleh Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) Kementerian Agama (Kemenag) RI di Bogor, 25-27 September 2018, membuahkan hasil cukup penting. Harian Republika, baik cetak maupun elektronik, juga menurunkan laporannya pada edisi Jumat (28/9) lalu. Sayangnya, judul pada edisi cetak mengundang perdebatan: “Ulama Sepakati Perubahan 186 Kata Dalam Al-Qur’an”.

Sudah menjadi kebiasaan manusia sekarang, akibat perkembangan dunia informasi dan komunikasi yang begitu cepat, membaca berita pun begitu cepat. Baru melihat judulnya, sudah mengambil kesimpulan. Belum membaca detil isinya, sudah berkomentar ke sana ke sini. Walhasil, di sebagian grup WhatsApp (WA) dan Facebook (FB) beredar komentar miring tentang hasil Mukernas ini.

Saya termasuk salah satu peserta yang ikut dalam Mukernas. Meski saya tidak tergabung dalam kelompok kerja (pokja) yang membahas rasm (gaya penulisan) dan dhabth (tanda baca) Mushaf pada Mukernas –karena saya di pokja terjemah Al-Qur’an– sedikit banyak saya bisa mengerti jalannya mukernas itu.

Baca juga: Upaya Merengkuh Al-Quran

Pertama, judul pada Republika cetak edisi Jumat memang tidak tepat. Sangat tidak tepat. LPMQ, setahu saya, sudah menyatakan keberatan dengan judul itu. Sebab, memang, yang dihasilkan oleh Mukernas Ulama di Bogor itu bukan perubahan kata dalam Al-Qur’an, tetapi perubahan cara atau gaya penulisan sejumlah kata di dalam mushaf Al-Qur’an. Kalau alif-lâm-mîm pada awal surah Al-Baqarah diubah menjadi alif-lâm-râ’, misalnya, itu bisa dikatakan perubahan kata. Dzâlika al-kitâb lâ rayba fîh diganti dengan hâdza al-kitâb lâ rayba fîh, itu juga bisa disebut sebagai perubahan kata. Itu semua tidak terjadi pada Mukernas Ulama Al-Qur’an kemarin. Mana mungkin ulama sepakat untuk mengubah kata di dalam Al-Qur’an? Kalaupun ada orang yang berniat mau mengubah kata-kata dalam Al-Qur’an, itu mustahil dapat terjadi: Innâ nahnu nazzalnâ adz-dzikrâ wa innâ lahû lahâfizhûn.

Kedua, tidak ada kata yang diubah dalam Al-Quran oleh peserta Mukernas Ulama Al-Qur’an yang diselenggarakan oleh Kemenag. Yang dilakukan oleh para ulama Al-Quran kemarin adalah menelaah ulang sisi rasm (cara atau gaya penulisan) Mushaf AlQuran Standar Indonesia. Penulisan itu dikaji lagi apakah setiap kata sudah sesuai dengan kaidah-kaidah Ilmu Rasm (cabang Ulum al-Qur’an) atau belum.

Seperti kita tahu, ada dua mazhab besar dalam Ilmu Rasm yang muktabar. Oleh pakar Al-Qur’an mereka disebut syaikhâni fî al-rasm (seperti dalam hadis kita mengenal syaikhâni, yaitu Imam Bukhari dan Imam Muslim). Syaikhâni (dua tokoh utama) dalam ilmu rasm al-Qur’an itu adalah (1) Abu Amr al-Dani dan (2) Abu Dawud Sulaiman ibn Najjah (murid imam Abu Amr). Penulisan Mushaf Al-Quran yang dikontrol oleh Kemenag lebih cenderung mengikuti mazhab pertama, sedangkan Mushaf Al-Quran terbitan Arab Saudi lebih cenderung mengikuti kaidah Abu Dawud.

Ketiga, dari hasil kajian, telaah, dan penelitian ulama peserta Mukernas Ulama Al-Qur’an kemarin, ditemukan beberapa perbedaan cara (gaya/ model) penulisan sejumlah kata (sekali lagi: cara penulisannya, bukan kata itu sendiri) dengan kaidah Abu Amr, dan itulah yang disesuaikan.

Seperti kita tahu dalam ilm rasm, ada lima prisip pokok yang menjadi pedoman penulisan mushaf. Seputar lima prinsip inilah perubahan yang dimaksud itu:

Kaidah ilm rasm

1. Al-hadzf (penghapusan). Contohnya penulisan رآ (dibaca ra’â) (lazimnya ditulis رأى). Huruf yâ’ dihapus (di-hadzf). Contoh lain, penulisan اليل dengan hanya satu huruf lâm setelah alif, sementara yang umum sesuai kaidah imla adalah الليل dengan dua lâm setelah alif.

2. Al-ziyâdah (penambahan huruf). Contohnya adalah penulisan تفتؤا. Huruf alif pada akhir kata itu adalah tambahan.

3. Penulisan hamzah seperti pada kata سئل

4. Al-badal (penggantian huruf dengan huruf lain) seperti pada penulisan kata الصلوة, di mana penulisan huruf alif setelah lâm diganti dengan huruf wâw.

5. Al-fashl wa al-washl (ditulis bersambung atau terpisah) seperti penulisan kata كلما (dibaca: kullamâ) yang lazim ditulis terpisah: كل ما).

Walhasil, yang dibahas pada Mukernas itu adalah soal perbedaan penulisan saja. Pada mushaf yang beredar di masyarakat di Indonesia, kita memang menemukan adanya perbedaan penulisan sejumlah kata. Umpamanya, dalam mushaf Al-Quran Standar Indonesia, kata الصراط dalam surah Al-Fatihah, penulisannya menggunakan huruf alif setelah huruf râ’ (untuk menandakan dibaca panjang dua harakat) mengikuti kaidah Abu Amr. Sedangkan, dalam mushaf Al-Qur’an terbitan Arab Saudi tertulis الصرط tanpa alif. Sebagai gantinya, setelah huruf ر diletakkan ‘alif kecil’ sebagai tanda bacaan panjang.

Baca juga:  Sejarah Mushaf Utsmani

Mana yang benar? Kedua-duanya benar. Cara bacanya bagaimana? Apakah berbeda? Tidak berbeda sama sekali. Sama saja. Keduanya dibaca panjang dua harakat. Yang berbeda hanya cara penulisan huruf alif saja. Dan untuk kita ingat pula, tanda baca pada mushaf Al-Qur’an itu persoalan ijtihadi. Pada masa awal penulisannya, jangankan tanda baca seperti fathah, dhammah, kasrah, dan sukun, titik satu di atas nûn dan di bawah bâ’ dan sebagainya, pun belum ada.

Sekali lagi, pada Mukernas Ulama Al-Qur’an yang diselenggarakan oleh Kemenag di Bogor itu hanya penulisan seperti ini yang disesuaikan agar konsisten dengan kaidah Abu Amr. Dan perubahan yang seperti ini disetujui oleh para pakar-pakar Al-Quran yang hadir kemarin, baik yang dari dalam maupun dari luar negeri.

Dari luar negeri ada ketua pentashih Mushaf Al-Quran Mesir dan Yordania. Juga hadir pakar dari percetakan Al-Mujamma’ Al-Malik Fahd (Arab Saudi) pencetak resmi mushaf Al-Quran Saudi. Beliau juga tidak mempermasalhkan, bahkan mendukung.

Wallahu a’lam


Like it? Share with your friends!

2
Muhammad Arifin
Muhammad Arifin, Lc, MA merupakan alumni S1 Fakultas Studi Islam dan Bahasa Arab, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, 1995 dan Magister Pengajaran Bahasa Arab untuk Non Arab, Khartoum International Institute for Arabic Language, Khartoum, Sudan, 1998. Ia merupakan salah satu pakar Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) Jakarta dan aktif sebagai Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lampung Utara. Pernah menjadi penulis naskah (Scriptwriter) Program Khazanah Islam stasiun televisi swasta nasional Trans 7 (Januari – Desember 2017) dan karya-karyanya sudah banyak diterbitkan, baik cetak maupun online.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals