Mentransformasi Ajaran Puasa dalam Kehidupan Sosial

Faktanya, nuansa-nuasa “islami” yang ada selama Ramadhan secara keseluruhan hanya bertahan sebentar saja.3 min


4

Hari ini merupakan hari terakhir Ramadhan. Setiap orang memiliki kesannya masing-masing (termasuk: kesan sebagian orang yang tidak memiliki kesan sama sekali selama bulan diwajibkannya berpuasa ini).

Berbicara mengenai puasa, pada dasarnya, ajaran tersebut tidak hanya ada dalam ajaran agama Islam saja. Agama Katolik, Protestan, Budha, Hindu, Yahudi, semua agama tersebut juga memiliki ritual untuk berpuasa.

Ajaran puasa disinyalir sudah ada bahkan sejak dahulu dalam syariat umat-umat terdahulu sebagaimana yang diinformasikan oleh Al-Qur’an dalam QS. 2:183, “kama kutiba ‘ala allazina min qablikum” ([puasa diwajibkan atas kamu] sebagaimana yang telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu).

Para ulama memiliki perbedaan pandangan perihal kesamaan tersebut. Ada yang berpendapat bahwa kesamaan tersebut terletak dari tata cara berpuasanya untuk tidak makan atau minum. Ada juga yang berpandangan bahwa kesamaannya terletak dari waktunya, yakni pada bulan Ramadhan.

Selain itu, ada juga yang mengatakan bahwa kesamaan yang dimaksudkan adalah sifat “wajib” yang terkandung di dalamnya. Begitu juga pendapat lain yang mengatakan bahwa kesamaan tersebut adalah kesamaan mutlak dari segala sisi, baik waktu dan tata caranya.

Terlepas dari perbedaan tersebut, tidak ada yang menyangsikan bahwa tujuan disyariatkannya ritual puasa bagi umat Muslim, bahkan termasuk dalam salah satu rukun Islam, adalah agar mereka yang berpuasa bisa menjadi orang-orang yang bertakwa, yakni sanggup melaksanakan semua yang diperintahkan oleh Allah dan meninggalkan semua yang dilarang-Nya tanpa terkecuali, baik di waktu sendiri maupun di keramaian.

Jika demikian tujuan berpuasa, lantas apakah setiap orang yang berpuasa secara otomatis akan menjadi orang bertakwa?

Faktanya, nuansa-nuasa “islami” yang ada selama Ramadhan secara keseluruhan hanya bertahan sebentar saja. Nuansa-nuasa tersebut dengan sangat cepat hilang begitu saja ketika Ramadhan berakhir.

Semangat untuk mendirikan salat malam, masjid yang melimpah oleh jamaah, kebiasaan membaca Al-Qur’an setiap harinya, semuanya hanya bertahan selama Ramadhan saja. Jika demikian, apa bedanya mereka yang berpuasa dengan siaran-siaran TV komersil yang “mendadak” islami hanya selama Ramadhan saja?

Hal ini menunjukkan bahwa berpuasa tidak secara instan bisa menjadikan pelakunya menjadi manusia yang bertakwa, sebagaimana tujuan dari ibadah puasa itu sendiri. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi Muhammad “banyak orang yang berpuasa, namun tidak ada yang diperolehnya dari puasa tersebut kecuali hanya sekedar rasa lapar dan haus saja”.

Jadi, bagaimana sebenarnya agar ibadah puasa tersebut bisa benar-benar bekerja sehingga pelakunya bisa menjadi orang yang bertakwa? Bagaimana ibadah puasa tersebut bisa menjadikan pelakunya secara konsisten melakukan hal-hal positif yang telah dilakukannya selama Ramadhan sepanjang tahun dan tidak terbatas selama sebulan saja?

Pertanyaan tersebut agaknya bisa dijawab dengan salah satu hadis Nabi yang berbunyi: “apabila telah masuk bulan Ramadhan, maka dibukakan pintu Surga, dikunci pintu Jahannam, dan dibelenggu para Setan”.

Hadis ini secara literal jelas kontradiktif dengan banyak fakta yang ada. Bukankah masih banyak kemaksiatan seperti judi, mabuk-mabukan, perkelahian antar sesama, korupsi, terror, ghibah, fitnah, status-status provokatif yang mengandung unsur kebencian di medsos, dsb juga banyak terjadi di bulan yang katanya setan-setan dibelenggu tersebut?

Banyak ulama yang mencoba menginterpretasi hadis tersebut dengan mengatakan bahwa semua kemaksiatan yang ada di bulan Ramadhan tidak ada kaitannya dengan terbelenggunya para setan.

Menurut mereka, para setan memang dibelenggu, mereka tidak bisa menggoda dan menghasut umat manusia, mereka “cuti” untuk melakukan ‘tugas’ mereka. Sedangkan kemaksiatan yang ada murni disebabkan oleh hawa nafsu yang ada dalam diri manusia. Begitu penjelasan logis mereka,

Di sisi lain, ada juga memandang hadis tersebut sebagai sebuah ungkapan kiasan (majaz). Bagi mereka, seseorang yang benar-benar berpuasa akan menahan diri untuk melakukan segala hal yang bisa merusak ibadah mereka, baik lahiriah maupun batiniah.

Selama berpuasa mereka akan menahan diri mereka untuk tidak berbuat maksiat, tidak melakukan ghibah, tidak membuat fitnah, tidah asal nge-share informasi-informasi yang tidak jelas sumbernya, apalagi yang terindikasi berisi ‘hoax’.

Sehingga ketika seseorang sudah bisa berpuasa dengan cara seperti itu, maka setan-setan semuanya seolah terbelenggu, mulai setan dari golongan jin sampai setan jenis manusia, mulai dari setan yang ada di dunia nyata sampai setan yang ada di dunia maya. Para setan tersebut tidak sedikitpun bisa menggoda orang yang berpuasa tersebut, tidak ada satupun metode mereka yang berhasil seolah mereka benar-benar terbelenggu.

Ketika sudah sampai pada titik ini, maka secara otomatis pintu surga akan terbuka selebar-lebarnya bagi orang yang berpuasa, baik surga dalam arti kebahagian psikologis ketika hidup berupa ketentraman hati, maupun surga yang melampaui imajinasi manusia seperti yang dilukiskan oleh Al-Qur’an.

Sebaliknya, ketika pintu surga terbuka untuk mereka, maka mereka yang berpuasa secara otomatis juga akan terlepas dari beban psikologis. Pintu-pintu yang menjerumuskan mereka pada kebinasaan akan terkunci untuk mereka. Mereka benar-benar akan terbebas dari ‘jahannam’, baik yang ada di kehidupan dunia maupun di kehidupan setelahnya.

Artinya, keadaan terbukanya pintu surga, terkuncinya pintu neraka, dan terbelenggunya para setan di bulan Ramadhan hanya berlaku bagi mereka yang bisa mentransformasikan nilai-nilai puasa ke dalam kehidupan sosialnya.

Seorang murid yang berpuasa adalah murid yang mampu menahan rasa malas dan keinginannya untuk bermain-main dan memilih untuk belajar sungguh-sungguh demi menggapai cita-citanya di masa mendatang.

Begitu juga dengan seorang remaja yang menahan keinginannya untuk bersantai-santai dan memilih untuk bekerja keras, atau seorang pejabat yang memiliki kesempatan untuk ‘menyelundupkan’ duit rakyat dan memilih berlaku jujur.

Seorang pedagang yang punya kesempatan untuk menipu pelanggan demi keuntungan lebih namun memilih jujur, seorang yang melihat status yang tidak jelas sumbernya atau ada indikasi hoax memilih untuk tidak ikut meng-share berita tersebut meskipun kontennya bisa menyudutkan tokoh/partai politik yang tidak disenanginya.

Semua kelompok di atas adalah mereka yang termasuk berhasil mentransformasikan nilai “berpuasa” ke dalam kehidupan sosial mereka.

Ketika kelompok-kelompok tersebut berhasil mentransformasi nilai-nilai berpuasa tersebut secara kontinu dan tidak terbatas hanya pada bulan Ramadhan saja, ketika itulah mereka sampai pada goal yang disebutkan oleh Al-Qur’an, yakni menjadi orang yang bertakwa. Dan begitulah seharusnya!

Wallahualambishshowab.


Like it? Share with your friends!

4
Dona Kahfi MA Iballa
Founder dan Chief Executive Officer (CEO) Artikula.id | Awardee LPDP Doctotal Program-Islamic Thought and Muslim Society-Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals