Kematian Mahsa Amini Runtuhkan Tirani, Mungkinkah?

3 min


1
Sumber gambar: Wana News Agency via bbc.com

Tewasnya Mahsa Amini (16/9/2022) mampukah meledakkan gelombang massa dan meruntuhkan otoritas Mullah sebagaimana Bouzizi yang melegenda itu mengawali Arab Spring?

Sebelum mengutarakan kemungkinan-kemungkinan dari pertanyaan di atas, terlebih dahulu kita pahami Iran dan sekelumit persoalannya. Iran pasca revolusi 79 telah bertransformasi menjadi negara yang memasang sikap frontal terhadap Barat, Amerika dan Israel khususnya. Sikap itu diejawantahkan dalam konsep bernegara, kebijakan politik, ekonomi, hingga ranah agama. Karenanya, mari kita lihat Iran dengan pendekatan zoom out, tidak melulu soal teologi, mut’ah, takiyah, dan sejenisnya yang jamak berkembang dan dipercayai mentah- mentah oleh masyarakat kita.

Sikap frontal itu yang kemudian berimplikasi langsung terhadap seluruh aspek masyarakat. Ekonomi merupakan aspek yang paling berdampak, di antaranya karena kebijakan embargo dari negara-negara dunia. Bahkan untuk sekadar mengakses ATM saja, rakyat Iran benar-benar dipersulit sebab sirkulasi fulus dari luar dibatasi.

Selain itu, sikap frontal Iran juga terefleksikan dalam ortodoksi agama yang mereka anut. Aturan berpakaian bagi perempuan yang heboh saat ini merupakan salah satu outputnya. Ortodoksi agama di masyarakat Iran didikte oleh Pemimpin Agung, yang merupakan konsekuensi dari asas Vilayat-e Faqih (supremasi ulama) dan doktrin imamah yang sangat sentral di tubuh Syiah. Sekarang, Pemimpin Agung Iran ialah Ayatullah Ali Khamenei yang telah memimpin sejak 1989.

Baca juga: Kilas Balik Arab Spring di Mesir

Ortodoksi agama tersebut berkaitan erat dengan apa yang terjadi pada Mahsa Amini, Hadis Najafi, dan perempuan-perempuan Iran lainnya saat ini. Mereka terpicu melakukan aksi protes besar-besaran, bahkan sampai menelan korban jiwa. Lantas, apakah titik persoalannya hanya sekadar jilbab dan hasrat bebas yang tidak terpenuhi?

Orang-orang akan mudah berasumsi ini soal kebebasan perempuan, perjuangan perempuan atas hak kebertubuhan, dan seterusnya. Semuanya hampir seragam menitikfokuskan persoalan Iran saat ini pada sudut pandang itu. Iran seketika jadi bulan-bulanan media-media asing.

Meskipun demikian, sebaiknya kita juga melihat bagaimana agama dan kebijakan saling berkelindan. Sebab, kita seringkali terkecoh menilai mana agama dan mana pula yang ‘terkesan agama’. Berhijab sememangnya perintah agama yang berstatus wajib, ini pendapat mayoritas. Meskipun ada sebagian pendapat yang tidak sampai pada level wajib. Namun, semuanya sepakat tidak ada perintah untuk menghukumi para perempuan yang tidak berhijab sebagaimana yang dilakukan polisi moral Iran (Gasht-e Irsyad). Polah polisi moral yang doyan menghukum perempuan tidak berhijab itulah yang disebut ‘terkesan agama’.

Padahal, itu tak lebih hanya produk dari agama yang dilembagakan. Kenapa bisa demikian? Karena agama dikooptasi secara serampangan demi eksistensi kekuasaan dan kemapanan identitas. Lalu, kekuasaan dan identitas siapa yang ingin dilanggengkan? Ya, betul sekali. Supremasi kaum ulama.

Jika demikian, lambat laun hegemoni kepemimpinan moral—meminjam Gramsci—yang diotaki para Mullah akan kehilangan resonansi di jantung rakyat. Moralitas yang diinjeksi lewat selembar kain (red: hijab) ternyata memperlihatkan keabsurdan, alih-alih superioritas ideal.

Kembali ke pertanyaan di muka. Apakah tewasnya Mahsa Amini mampu mengilhami perubahan besar bagi konstelasi politik Iran? Saya pikir agak mustahil karena, pertama, pemerintahan negeri Mullah itu memiliki instrumen dan sumber daya yang dapat menekan gerakan people power. Ini sudah teruji pada gerakan massa pada 2018 lalu, yang dimotori kaum Bazaari (pedagang). Pemerintah mampu mengondisikan amuk massa yang menurut banyak sumber sebelas-duabelas dengan revolusi 1979. Apa yang dilakukan otoritas Iran untuk menekan massa di antaranya, memanipulasi narasi di media sosial dan memblokade jaringan internet.

Kedua, masyarakat Iran sendiri terpolarisasi dalam berbagai faksi baik politik maupun etnik, sehingga akumulasi power akan terhambat dan jauh dari klimaks. Kematian Mahsa Amini sempat digadang-gadang dapat membangun solidaritas nasional, namun sejauh ini hanya sebatas reaksi seremonial belaka.

Ketiga, bisa saja terjadi dengan catatan adanya keterlibatan kekuatan Barat. Pengalaman Arab Spring di tiga negara (Tunisia, Mesir, dan Suriah) membuktikan itu. Ahmad Sahide (2019) mengonfirmasi hal tersebut dengan menegaskan bahwa keterlibatan pihak asing dalam setiap konflik di Timur Tengah semata-mata untuk menjaga kepentingan mereka. Krusialnya peran asing disadari betul oleh para pemimpin Iran. Karenanya dalam beberapa kesempatan baik Ali Khamenei maupun Ebrahim Raeisi melontarkan nada keras terhadap Amerika dan sekutunya, bahwa merekalah dalang huru-hara dengan menyebarkan konspirasi, sabotase, dan agitasi ke masyarakat Iran (arabnews.com).

Namun masalahnya, Barat tidak mungkin mengambil opsi yang berisiko untuk mengintervensi politik domestik Iran di tengah gonjang-ganjing resesi saat ini. Paling banter mengagitasi dan melakukan propaganda melalui media.

Satu hal yang pasti, jika Iran mampu melewati ‘badai’ ini di tengah tekanan dan persekusi berduyun-duyun dari dunia internasional, patutlah kiranya ditegaskan bahwa kedigdayaan negara produsen uranium ini tidak bisa dipandang sebelah mata.

Editor: Ainu Rizqi
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]

Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂

Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!

Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

1
Mahmud Wafi

Mahmud Wafi, wakil pimred Artikula.id, merupakan seorang pekerja sosial, juga merangkap sebagai santri malam minggu di Lingkar Mahiyyah.
Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals