Kontestasi Narasi Medsos dan Euforia Pesta Tahun Baru

Mengapa masyarakat Indonesia masih merayakan pesta kembang api di tengah bertebarannya fatwa-fatwa pengharaman perayaan tahun baru?3 min


2

Tulisan ini dimulai dengan sebuah pertanyaan sederhana: Mengapa masyarakat Indonesia masih merayakan pesta kembang api di tengah bertebarannya fatwa-fatwa pengharaman tentang perayaan tahun baru?

Apa sebenarnya yang mendorong masyarakat untuk berbondong-bondong berkumpul di satu titik hanya untuk melihat pesta kembang api. Di samping banyak sekali konten infografis, meme sampai dengan narasi provokatif bertebaran di media sosial yang mempertentangkan perayaan tahun baru dengan doktrin keislaman.

Namun banyaknya konten-konten pelarangan perayaan tahun baru di media sosial tampaknya tidak berbanding lurus dengan tingkat antusiasme masyarakat untuk merayakan pesta tahun baru. Misalnya, seluruh elemen masyarakat tidak hanya muda mudi tapi juga kalangan orang tua dan anak-anak rela menunda jam tidur demi menyaksikan pesta pergantian tahun tersebut. Begitu antusiasnya, mereka telah berkumpul 1-2 jam di lokasi sebelum pesta kembang api dimulai.

Pesta kembang api merupakan tradisi perayaan di malam puncak tahun baru yang biasanya didahului oleh peniupan terompet secara serempak ketika waktu telah menunjukkan pukul 00.00. Seketika, bunyi terompet yang diikuti dengan suara ledakan kembang api menggema di langit-langit malam sembari diiringi teriakan sukacita penonton.

Begitulah suasana pesta malam tahun baru yang terjadi hampir di seluruh kota di Indonesia. Bahkan tradisi di kota-kota besar, pesta tahun baru dimeriahkan dengan pergelaran konser musik dengan mendatangkan para artis dan grup band terkenal di Indonesia.

Padahal di era digital seperti sekarang ini, masyarakat bisa menyaksikan pesta kembang api melalui media streaming, youtube maupun televisi. Tampaknya, media tidak mampu menjembatani euforia masyarakat untuk terlibat dalam perayaan tahun baru. Setiap dari mereka menginginkan pengalaman empirik yang menurutnya lebih menarik dan sensasional.

Inilah karakter mendasar manusia yang selalu ingin terlibat dalam proses sejarah. Manusia secara naluriah senantiasa menginginkan kehidupan yang penuh dengan pengalaman historis sebagai ruang imajinasi memorial. Sehingga faktor inilah yang menyebabkan masyarakat rela mengorbankan waktu dan biaya demi terlibat dalam proses perayaan tahun baru dan cenderung mengabaikan berbagai bentuk fatwa pelarangan tahun baru di media sosial.

Kembang Api Simbol Keberagaman
Kembang api memang menarik dan cantik saat menghiasi langit-langit malam. Hal terpenting pada pertunjukkan kembang api adalah semua bahan peledak terhubung ke sebuah saklar dengan sumbu meledak serentak pada waktu yang ditentukan, sehingga menghasilkan perpaduan warna yang atraktif, didominasi oleh warna emas, dan dipadu dengan warna merah, kuning, hijau, biru dan juga putih terlihat sangat elegan dan memukau. Dentuman suara ledakan kembang api yang menggelegar menambah kemeriahan pesta kembang api dan memecah kebisuan malam.

Kembang api memberikan nuansa warna-warni yang berbeda serta bentuk cahaya yang bermacam-macam. Itulah kembang api sebagai simbol kebersamaan yang tidak saling mengalahkan. Suatu potret keberagaman yang disatukan dan dipadukan, yang akhirnya menghasilkan keindahan.

Kembang api yang dinyalakan secara vertikal meluncur dari bawah dan meledak di atas mengajarkan kepada kita bahwa untuk mencapai kesuksesan dan keberhasilan hidup dibutuhkan perjuangan panjang dan tidak mudah. Kesuksesan disusun oleh hal yang paling rendah hingga akhir dapat mencapai puncak. Suara ledakan yang menggema adalah spirit masyarakat dalam menyambut tahun baru dengan kebahagiaan dan semangat kolaboratif.

Begitulah pluralitas kehidupan, agama, suku, bahasa, dan golongan, jika kita bisa membingkainya dalam bentuk kerukunan dan kerja sama, juga akan menghasilkan panorama estetik dan potret keindahan. Pluralitas adalah modal sosial terpenting bagi masyarakat untuk bisa maju, bermartabat dan bertamadun. Tanpa pluralitas, kehidupan akan menjadi sepi, tidak menarik dan monoton. Dari sinilah kita bisa belajar dari pesta kembang api tentang perlunya saling mendukung dan menciptakan harmoni dalam keberbedaan.

Perdebatan Perayaan Tahun Baru
Kita bisa memahami bahwa pagelaran pesta kembang api yang diadakan setahun sekali itu tidaklah memakan biaya yang sedikit. Panitia ataupun masyarakat yang ingin menikmati pesta kembang api harus mengeluarkan budget jutaan rupiah demi merayakan pesta kembang api yang mungkin hanya berlangsung kurang dari satu jam.

Bahkan proses menyalakan kembang api pun penuh dengan risiko ledakan bubuk mesiu. Hal ini kemudian menyebabkan pro kontra di kalangan masyarakat dalam merayakan pesta kembang api.

Sebagian masyarakat yang tidak menyukai pesta kembang api, mereka akan mengatakan bahwa kegiatan tersebut adalah bentuk pemborosan dan menghambur-hamburkan uang. Pemborosan adalah pekerjaan syaitan yang haram hukumnya. Daripada untuk foya-foya lebih baik disedekahkan kepada fakir miskin. Bahkan ada yang menggunakan dalil-dalil agama untuk menggembosi euforia perayaan pesta tahun baru.

Namun bagi mereka yang menyukai pesta kembang api akan berargumentasi bahwa kebahagiaan itu mahal. Sewajarnya ketika kita harus mengeluarkan banyak uang untuk membeli kembang api. Demi menciptakan senyum, gelak tawa dan perasaan bahagia yang menyatu dalam kebersamaan.

Ibarat liburan keluarga yang mengunjungi berbagai destinasi wisata mereka juga harus mengeluarkan uang demi menyeruput kebahagiaan. Sehingga, ketika pesta kembang api dilakukan, bukanlah semata-mata bentuk pemborosan tanpa kebermanfaatan, melainkan salah satu bentuk pencapaian dan penciptaan ekspresi kebahagiaan memorial. Karena memang tidak ada sesuatu yang murah untuk sebuah kebahagiaan dan kebersamaan.

Akhirnya, terlepas dari debatable tentang perayaan tahun baru, saya ingin menutup tulisan ini dengan sebuah perandaian sederhana, “Ketika perayaan tahun baru Hijriyah (Islam) dilakukan seperti halnya tahun baru Masehi, apakah juga akan memunculkan fatwa-fatwa pengharaman pesta tahun baru?”

Perandaian pertanyaan ini memberikan peringatan kepada kita bahwa jangan sampai lahirnya fatwa-fatwa haram di media sosial tentang pesta tahun baru Masehi hanya dilatarbelakangi oleh faktor kecemburuan karena perayaan tahun baru Masehi jauh lebih meriah dibandingkan dengan tahun baru Hijriyah.

Semoga umat Islam Indonesia semakin dewasa ke depannya dan bijak melihat perbedaan, hanya mereka yang bersumbu pendeklah yang mudah berang dan reaktif terhadap perbedaan.

_ _ _ _ _ _ _ _ _                                                              
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]

Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂

Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!

Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!

[zombify_post]


Like it? Share with your friends!

2
MK Ridwan

Alumnus Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif, Awardee MAARIF Fellowship (MAF) MAARIF Institute for Culture and Humanity, Peneliti Sosial-Keagamaan.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.