Nasib Sial Kebebasan Berpendapat di Media Sosial

Kebebasan berpendapat yang (dulu) kita junjung dan sanjung-sanjung, malah menjadi jalan terjal yang siap membuat langkah kita tersandung.1 min


10

Kita, atau lebih tepatnya sebagian besar dari kita, kini telah terbelenggu oleh media sosial. (Sebenarnya) ada yang menggembirakan di sana; hidup di dunia maya. Tak ada batas pembeda. Tidak ada kasta. Besar kecil usia maupun tinggi rendah strata setiap warganya sama. Pukul rata.

Tapi, perlu disadari bahwa hal menggembirakan itu juga ternyata tegak-lurus-sama-panjang dengan segala konsekuensinya. Salah satunya, kebebasan berpendapat yang terlalu berlebihan.

Di medsos, setiap pemilik akun bebas menuliskan segala unek-unek yang berseliweran di benaknya. Setiap perkembangan diperbincangkan, persoalan-persoalan diperdebatkan. Bahkan, isu-isu SARA yang (dulu) dianggap tabu kian tak dipedulikan.

Sampai di sana, tidak ada yang salah. Namun, acap kali diskusi-diskusi tanpa titik henti itu berbelok kepada caci maki. Yang merasa benar tetap ingin dibenarkan, yang salah tetap saja disalahkan. Nyaris tidak pernah ada kesepakatan. Parahnya lagi, semua itu bisa terbawa-bawa dan berimbas kepada kehidupan nyata.

Media sosial –sesuai namanya– ­pada hakikatnya adalah salah satu sarana (baru) yang diciptakan untuk menghubungkan setiap makhluk sosial dalam berkehidupan sosial. Namun sialnya, semakin ke depan, ia justru menjadi pemicu atas retaknya hubungan sosial itu.

Tidak dipungkiri pula bahwa dalam dunia nyata acap kali terjadi bebagai gesekan akibat perdebatan-perdebatan. Bedanya, ia tak terlalu cepat merebak ke mana-mana. Sehingga “riak-riak” tersebut tidak sampai membuat “air semakin keruh”. Situasi dan kondisi pun dapat segera kembali seperti sedia kala.

Dengan perkembangan jumlah penduduk maya yang kian tak terbendung, maki-makian itu pun kian membubung. Kebebasan berpendapat yang (dulu) kita junjung dan sanjung-sanjung, malah menjadi jalan terjal yang siap membuat langkah kita tersandung.

Pantas saja, pemerintah –yang kita anggap menjadikannya sebagai aji mumpung– menyambutnya dengan undang-undang –yang juga kita anggap– membuat hak kebebasan berpendapat kita jadi buntung.

Perdebatan akibat keberagaman itu mutlak terjadi. Namun jika karena itu kita larut dalam sumpah serapah dan menjadikan caci maki sebagai hobi, barangkali kita perlu mempertanyakan kembali kepada diri sendiri, apakah kita masih laik memprotes regulasi baru pemerintah itu, padahal kita sendiri yang memicu?

Perlu diingat lagi, bahwa perbedaan bukan untuk membeda-bedakan dan memisah-misahkan. Ia tumbuh dari tunas kebebasan. Jika pada akhirnya keberagaman itu malah menumbuhkan kebencian dan memecah belah hubungan kebhinekaan, maka kebebasan berpendapat seyogianya tak lagi menjadi sesuatu yang kita idam-idamkan.


Like it? Share with your friends!

10
Makmuriyanto

Makmuriyanto, S.I.Kom merupakan Co-Founder atau Chief Operating Officer (COO) Artikula.id.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals