Nilai-Nilai Islam Konfusianis di Daratan China

Islam bukanlah sesuatu agama yang kaku melainkan mampu beradaptasi dengan berbagai kondisi kultural. 7 min


0

Bagi kita yang belum terbiasa membaca secara keseluruhan khususnya soal masalah Muslim China tentu akan terjebak dalam gejolak emosi yang begitu dalam. Tatkala pandangan kita yang masih sedih melihat saudara-saudara sesama Muslim khususnya di Xinjiang China, menurut beberapa sumber berita mengalami kekerasan yang ditahan di kamp’re-edukasi’ di China.

Ketika seluruh masyarakat dunia emosi melihat itu, hal demikian sangat wajar sebab media-media sangat senang sekali mengolah emosi pembaca atau pendengar untuk kepentingan meningkatkan rating.

Keterbatasan kita untuk memahami kompleksitas masalah China, di satu sisi  menjadi masalah tersendiri. Utamanya dalam konteks cara kita memahami berita tersebut yang jelas-jelas masalahnya lebih pelik dibanding yang ditanyangkan oleh media-media tersebut.

Di sisi lain keterputusan kita terhadap pengetahuan mengenai China juga menjadi masalah yang cukup rumit. Mengingat selama lebih dari 30 tahun akses kita baik terhadap pengetahuan dan perkembangan soal China mengalami keterputusan.

Apalah daya pengetahuan terkait sejarah, toleransi dan penduduk Muslim khususnya menjadi tidak terjangkau dalam pengetahuan kita. Bagaimanapun ini tidak lain akibat dari kebijakan pemerintah Orde Baru saat itu yang melarang segala yang berbau China untuk dihilangkan.

Baca Juga: Kontestasii Partai Politik dan Gerakan Sosial Islam Pasca Orde Baru

Oleh karena itu, sebagai saudara seiman nampaknya penting sekali bagi kita untuk memahami sedikit tentang bagaimana kehidupan dinamis Muslim di China.

Seperti dinyatakan dalam beberapa literatur, kontak di antara China dengan dunia Arab Islam dapat ditelusuri sejak abad ke-7 semasa dinasti Tang, tidak lama setelah agama Islam berkembang pesat di Timur Tengah.

Muslim di China meyakini bahwa “agama mereka didakwahkan kali pertama di China oleh salah seorang paman Nabi Muhammad dari pihak sang ibu, dan makamnya yang diyakini berada di Kanton sangat mereka hormati”, (Sen, 2010).

Sumber China abad ke-17 juga mengkaitkan kedatangan empat utusan Nabi Muhammad di China abad ke-7 sebagai awal masuknya Islam ke China.

Dari sana kemudian ada yang menyebutkan bahwa empat utusan Nabi tersebut tiba di China untuk berdakwah semasa pemerintahan Wude dari dinasti Tang. Utusan pertama berdakwah di Guangzhou (Kanton), utusan kedua berdakwah di Yangzhou, utusan ketiga dan keempat di Quanzhou. Makam mereka masih sangat dihormati oleh Muslim China (Sen, 2010).

Selain itu, sumber lain menyebutkan bahwa yang menyebarkan Islam pertama kali di China pada abad ke-7 dipimpin langsung oleh sahabat nabi bernama Saad bin Abi Waqqas. Dialah yang berperan penting menjelaskan pekembangan agama Islam dan kondisi ekonomi di negeri Arab pada masa itu di hadapan kaisar China, (Hidayat, 2010).

Bahkan ada yang menyebutkan bahwa kedatangan Islam ke China, jauh sebelum berdirinya masjid Niujie, di Beijing, diperkirakan masjid ini berdiri pada tahun 996 M. Namun jauh sebelum berdirinya masjid Niujie diperkirakan Islam sudah ada di China.

Hal ini juga dapat dibuktikkan dengan adanya masjid Huaisheng ci Buangzho, yang berangka tahun 627. Menurut cerita, masjid ini didirikan atas bantuan dana dari saudagar Arab pengikut Saad bin Abi Waqqas, Mualim (guru) muslim terkenal yang meninggal di Guangzhou, pada saat Kaisar Zheng (624-649 M) memegang tampuk kekuasaan, (Hidayat, 2010).

Meskipun sebagian besar tujuan orang Arab datang ke China untuk kepentingan bisnis, namun kontak pertama dan kedua antara Timur Tengah dan China pada umumnya bersifat diplomatik dan merupakan jembatan penghubung untuk membuka hubungan kedua negara yang berbeda agama dan kebudayaan.

Hal ini dapat dibuktikan bahwa pada tahun 31 H atau 651 M, istana Tuhanang dikunjungi duta pertama dari negeri Ta Shih, yakni istilah China untuk menyebut orang Arab. Kemudian empat tahun berikutnya, istana Tuhanang menerima lagi duta kedua, yaitu Tan-Mi-Mo-Ni atau (al-Mu’-minin), yang menceritakan pada masyarakat China bahwa mereka sudah mendirikan negara Islam di Timur Tengah sekitar 34 tahun yang lalu, dan telah memiliki tiga penguasa (Hidayat, 2010).

Duta Muslim yang kedua ini datang ke China pada masa Khalifah ke-3 yaitu Usman bin Affan (23-35 H atau 644-565 M). Sejak itulah hubungan kedua negara menjadi akrab dan hubungan-hubungan lain seperti perdagangan dan perkawinan mulai berkembang.

Seiring berjalannya waktu Islam pun mulai berkembang di daratan China. Dan salah satu kaum minoritas terbesar adalah Muslim Hui Hui atau etnis Hui dengan populasi 9.816.802 jiwa. Kaum minoritas di daerah otonom seperti Ningxia, Provinsi Gangsu, Qinghai, Henan, Shandong, Yunnan, dan daerah otonom Provinsi Uygur Xinjiang.

Nenek moyang komunitas Hui Hui adalah orang Muslim pertama yang datang untuk berdagang dan menetap di China semasa dinasti Tang dan dinasti Song (618-1279). Mereka datang sebagai pedagang dari dunia Islam Asia Barat dengan asal-usul etnis yang beragam: Arab, Persia, dan lain-lain.

Adapun orang Arab dikenal oleh pemerintah Tang sebagai Dashi, secara keseluruhan mereka disebut orang Dashi (Sen, 2010). Di era ini mereka para pedagang Muslim Arab dan Persia dengan menempuh jalur Sutra dan jalan Keramik Maritim melakukan berbagai interaksi perdagangan, akan tetapi gerak mereka dibatasi.

Mereka dibatasi untuk melakukan interaksi dengan penduduk lokal. Sehingga secara tidak langsung gerak mereka untuk berdakwah menjadi terhambat.

Namun seiring bergantinya waktu, Islam berkembang pesat semasa dinasti Mongol berkuasa di China. Perkembangan ini pun diikuti oleh migrasi besar-besaran orang Muslim dari Asia Tengah dan Asia Barat ke China membawa perubahan besar pada lanskap politik dan sosial di China.

Di bawah patronase politik pemerintahan Mongol, status sosial orang Muslim naik menjadi sekutu penguasa Mongol. Orang-orang Muslim mulai diakui sebagai warga China, dan membuka jalan bagi evolusi komunitas Hui di China (Sen, 2010).

Baca juga: Konsep Yin dan Yang sebagai Simbol Keseimbangan Keharmonisan dan Kedamaian dalam Kehidupan

Komunitas Muslim pun kemudian berkembang sangat pesat selama dinasti Yuan dan banyak membangun komunitas Muslim, seperti di Provinsi Shaanxi, Ningxia, Xinjiang, Shanxi, Henan, Qinghai, Shangdong, Hebei, Yunnan, dan Beijing. Mereka bukan lagi orang asing, tetapi sudah menjadi warga Yuan China, (Sen, 2010).

Mereka mulai banyak menduduki jabatan tinggi di dalam administrasi pemerintahan. Serta mulai membangun tempat ibadah seperti masjid yang dibangun di Guangzhou, Quanzhou, Hangzhou, Kunming, Chang-an, Ningbo, Dingzhou, dan Yangzhou. Dari masjid ini mereka mulai membangun komunikasi kehidupan agama dan sosial mereka dengan komunitas lain (Sen, 2010).

Bahkan menjelang berakhirnya dinasti Yuan, mereka semakin percaya diri dan lebih banyak melihat keluar. Interaksi sosial dengan etnis Han yang mayoritas di China dalam kegiatan budaya, sosial, dan politik juga meningkat. Mereka pun mulai mengorientasikan diri mereka sendiri sesuai dengan masyarakat China yang lebih luas.

Sinisisasi Islam di China

Akan tetapi kegiatan yang mereka bangun fokus pada pemahamannya atas agama yang diyakini, yakni Islam. Tidak berjalan selalu mulus, perubahan sosio-kultural di dalam kelompok etnis Hui Hui yang melahirkan generasi baru pada kenyataannya tidak banyak berpengetahuan tentang bahasa Arab. Mereka tidak dapat memahami al-Qur’an dan teks-teks suci Islam lainnya yang ditulis dalam bahasa Arab. Hasilnya perhatian mereka terhadap Islam menurun drastis.

Krisis keagamaan ini kemudian memunculkan apa yang disebut dengan Sinisisasi Islam. Sinisisasi sendiri merupakan suatu proses dimana masyarakat non-Tionghoa berada di bawah pengaruh budaya Tionghoa, khususnya budaya dan norma-norma kemasyarakatan Tionghoa.

Hal itu, kurang lebih tampak sama dengan Pribumisasi Islam ala Gus Dur, yang mengibaratkan Islam itu seperti benih yang bisa dibawa ke mana-mana. Tetapi agar benih itu bisa tumbuh di suatu tempat, maka benih itu harus menyesuaikan dengan tanah di tempat itu (Izad).

Seperti yang telah diketahui,  bahwa sebelum kedatangan pengaruh Islam di China, mayoritas masyarakat China daratan menganut ajaran Konfusianisme. Oleh karena itu diperlukan sebuah pendekatan baru untuk menafsirkan ajaran-ajaran Islam.

Dan beberapa tokoh yang dapat disebut sebagai Muslim Konfusian (Hui Ru) atau Konfusian yang Muslim (Ru Hui). Tokoh-tokoh ini adalah, 1). Sayyid Ajjal Syamyudin, seorang Muslim dari Asia Tengah, yang menjadi Gubernur Provinsi Yunnan. 2). Zhan Si, adalah sarjana Muslim dan ideolog politik pada masa akhir Dinasti Yuan. 3). Hai Rui, seorang filosof Muslim. 4). Li Zhi, seorang penulis Muslim. 

Dalam sejumlah karya mereka membuat rekonsiliasi sistematis antara Islam dan Konfusianisme dengan menafsirkan doktrin Islam dipandang dari ajaran Konfusianisme. Satu upaya dengan harapan dapat memperkenalkan Islam kepada masyarakat China dalam bahasa Konfusian mereka sendiri, (Sen, 2010). 

Dengan keadaan seperti ini maka pada abad ke-17 dimulailah apa yang disebut dengan gerakan kebangkitan Islam, mereka berupaya menyelenggarakan dialog antara Islam dan budaya tradisional China, khususnya Konfusianisme.

Nilai-Nilai Islam Konfusianis

Semua tokoh di atas beragama Islam. Mereka merupakan kelompok kecil Muslim yang memahami Konfusianisme dan mengemasnya dengan nilai-nilai Islam. Bagi mereka, Islam harus didahulukan daripada Konfusianisme. Oleh karena itu tokoh-tokoh ini lebih tepat disebut sebagai Muslim Konfusian, (Sen, 2010).

Gagasan menerjemahkan teks-teks Islam ke dalam bahasa China dengan terminologi Konfusian mencerminkan nilai-nilai Islam yang membumi dan berkemajuan. Adapun beberapa contoh dogma Islam yang dielaborasi dengan konsep-konsep kunci Konfusian adalah sebagai berikut:

  • Pandangan Dunia: Yang Maha Benar dari Islam

“Yang Maha Benar, keadaan asal yang tidak mempunyai permulaan, dan bukan keadaan untuk memberi perintah. Tiada satu pun yang dapat diperbandingkan dengan-Nya. Yang Maha Benar adalah Yang Maha Esa, bukan yang nomor satu. Yang Nomor Satu berasal dari Yang Maha Esa. Yang tak bernama adalah permulaan dari langit dan bumi, Yang Nomor Satu adalah benih dari segala sesuatu yang tak terbatas di alam semesta, dan Yang Maha Benar adalah penguasa dari Nomor Satu. Jalan berasal dari Yang Maha Benar, inilah mengapa agama murni dan benar menghormati hanya Yang Maha Benar”.

Doktrin di atas terdapat dalam konsep Konfusianis tentang Wuji (Yang Tertinggi dari kehampaan) dan Taiji (asal tertinggi) yang kemudian digunakan untuk menunjukkan konsep Islam tentang Allah Swt Yang Maha Tinggi, sang pencipta segala sesuatu (Sen, 2010).

  • Konsep Etika dan Hubungan Manusia Paling Utama: Lima Pilar Wu Dian, Sangang, Wuchang

Para penganut Konfusian mencita-citakan masyarakat ideal yang berlandaskan pada lima hubungan manusia paling utama, yaitu; 1). Hubungan antara penguasa dan rakyat. 2). Bapak dan anak. 3). Suami dan istri. 4). Kakak dan adik. 5). Teman dan sahabat. Anggota masyarakat ini memiliki tanggung jawabnya masing-masing dalam memainkan perannya di dalam konteks sosial.

Dalam tradisi Konfusius terdapat tiga prinsip membimbing (sangang) yang terdiri dari: 1). Subordinasi rakyat dan menteri kepada raja. 2). Anak kepada bapak. 3). Istri kepada suami.

Serta lima aturan abadi (wuchang) terdiri dari: 1). Kemanusiaan. 2). Kesalehan. 3). Ritual/budi pekerti. 4). Kebijaksanaan. Dan 5). Keyakinan.

Terminologi ini kemudian digunakan oleh tokoh-tokoh Muslim Konfusian untuk menjelaskan konsep-konsep tentang pilar Islam yakni, Rukun Islam: 1). Iman (syahadat). 2). Shalat. 3). Puasa. 4). Zakat. 5). Haji, menjadi asas dari hukum tingkah laku manusia. Sedangkan sangang dan wuchang ditafsirkan untuk menggambarkan konsep Islam tentang kesatuan dengan Allah dan kesatuan umat manusia (ummah, persaudaraan).

Sementara prinsip pembimbing paling utama dan hubungan kemanusiaan paling utama berasal dari Iman. Karena itu berbuat baik adalah untuk menunjukkan rasa syukur kita kepada Allah Swt dan nabi-nabi-Nya atas semua berkah-Nya.

Kebajikan adalah memberi derma atas nama Allah Swt, mendirikan Shalat sebagai ritual untuk berterima kasih kepada Allah Swt atas kebaikan-Nya. Puasa memberikan kearifan untuk menyadari Yang Maha Benar, dan ibadah Haji untuk menunjukkan pengabdian dan keimanan mutlak kepada Allah Swt, (Sen, 2010).

  • Zhong (peduli pada orang lain) dan Shu (alturisme)

Zhong adalah konsep dalam konfusian yang berarti membantu orang lain terpenuhi keinginannya. Dan Shu adalah jangan memberi beban kepada orang lain apa yang anda sendiri tidak inginkan.

Konsep itu kemudian dipraktekkan dalam Islam, dengan menekankan hendaknya mengupayakan apa yang membuat anda bahagia dan menerapkannya kepada orang lain. Apa yang tidak anda inginkan sebaiknya disimpan untuk diri anda sendiri secara terus-menerus.

Oleh karena itu, agama tidak punya cara lain dalam memperlakukan saudara, keluarga, tetangga dan sahabat, kecuali dengan melakukan yang terbaik dan menggunakan diri sendiri sebagai ukuran untuk mengukur yang lain. Inilah yang disebut dengan persahabatan yang Islami. 

Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa dinamika keberagamaan di daratan China sangatlah dinamis. Bahkan bisa dibilang mengarah kepada toleransi.

Melalui fakta itu setidaknya pemahaman kita akan keberagaman dapat lebih luas dibandingkan hanya melihat satu sisi yang kadang-kadang sangat bias.

Jika dikaji melalui warisan Gus Dur mengenai Pribumisasi Islam, maka Islam bukanlah sesuatu agama yang kaku melainkan agama yang mampu beradaptasi dengan berbagai kondisi kultural.

Bahkan di tempat yang selama ini kita anggap sebagai negara yang tidak beragama sekalipun, seperti China. Padahal pada kenyataannya hubungan antara Islam dan daratan China telah terbangun selama ratusan tahun silam.

Editor: Roni Ramlan

 _ _ _ _ _ _ _ _ _

Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂

Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!

Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini!

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

0
R. Dimas Sigit Cahyokusumo
Sang Pembelajar

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals