Menakar Motif Bom Surabaya

Apakah Tuhan yang menjadi orientasi dari tragedi bom tersebut? ataukah ada motif lain yang hanya meminjam nama Tuhan sebagai pembenaran diri atas tragedi tersebut.2 min


12
Foto: ANTARA/HUMAS PEMKOT-Andy Pinaria

Musuh adalah api
Dan hanya air yang menjadi utusan
Api harus dipadamkam
Agar air mengalir di taman surga

Terhitung dengan jari sebelum  bulan suci Ramadhan datang. Banner-banner ucapan selamat datang mulai menghiasi sudut-sudut jalan, depan masjid dan bergelantungan di atas pohon ringin besar. Selain ucapan Marhaban Ya Ramadhan, akan terdengar bunyi letupan-letupan mercon yang dibarengi dengan tertawa puas anak-anak. Dengan kepolosan, anak-anak kecil menutup telinganya sembari menunggu suara letupan mercon yang kemudian disusul dengan asap yang menyengak hidung mereka. Ya, begitu biasanya.

Tetapi sedikit berbeda dengan tahun ini. bukan banner ucapan Marhaban Ya Ramadhan dan letupan mercon bersama tepuk tangan anak-anak yang terdengar, melainkan banner teror dan ledakan bom yang memberi kabar. Tentulah berbeda dengan letupan mercon anak-anak yang paling mentok hanya mengagetkan ayam Pak RT yang tengah mengerami telurnya. Ledakan bom ini cukup untuk membuat Pak RT sibuk melakukan sensus ulang warganya yang barangkali juga masuk dalam daftar korban ledakan bom tersebut, ataupun juga memaksa Bang Thoyib untuk segera pulang ke rumah, karena di luar rumah bukan lowongan pekerjaan yang menempel di dinding-dinding melainkan teror yang ditempel di sana.

Hari ini, Minggu 13 Mei 2018. Setelah Gunung Merapi meletup kecil-kecilan yang terjadi beberapa hari kemarin, kini disusul dengan bom yang meledak di tiga tempat yang berbeda dengan durasi waktu yang hampir bersamaan. Tiga tempat ibadah yang berada di Surabaya menjadi titik perhatian atas teror tersebut. Tragedi pengeboman tiga tempat ibadah yang terjadi pagi tadi setidaknya membuat telur ayam Pak RT menetas sebelum waktunya, sekadar ingin melihat dan berandai-andai apa motif di balik tirai teror yang terjadi daripada terdiam dalam selimut cangkangnya.

Apakah Tuhan yang menjadi orientasi dari tragedi bom tersebut? ataukah ada motif lain yang hanya meminjam nama Tuhan sebagai pembenaran diri atas tragedi tersebut. Jikalau benar Tuhan yang menjadi orientasinya, apakah ini yang disebut Karen Amstrong sebagai “Perang demi Tuhan” yang menyuguhkan darah-darah manusia lain sebagai sesembahan kepada Tuhan. Menjadikan dirinya dan kelompoknya sebagai utusan Tuhan yang dikirim untuk memadamkan api yang dikobarkan oleh musuh Tuhan, tentulah air yang sanggup memadamkan api.

Sebagai utusan Tuhan (anggap saja seperti itu), sebagai air yang akan memadamkan api, yang dengan kebenaran diri bahwa esok air itu yang akan mengalir di surga kelak, maka alangkah sembrono-nya dalam pemilihan konstruksi kata, yakni “Musuh Tuhan” yang tentunya hanya berupa konstruksi absurd. Siapa air dan siapa api, siapa yang benar dan siapa yang salah, kita masih menempelkan diri kita pada dinding-dinding kata tersebut.

Anak ayam yang baru menetas belum bisa berkokok, sekadar bercuit-bercuit ringan sebagai suara perutnya yang sedang kelaparan. Induk ayam pergi keluar kandang. Entah ke mana, induk ayam tak meninggalkan pesan.

Jika ada motif lain, motif kekuasaan atau lainnya yang hanya sekadar meminjam nama beken Tuhan, maka masih ada peninggalan sontoloyo di sana. Seperti apa yang telah dituliskan oleh Bapak Proklamator kita Ir. Soekarno tentang kesontoloyoan, bahwa mereka mencoba menghalalkan perbuatan mereka dengan menggunakan nama Tuhan. Mencoba untuk membuat celah yang hanya diperuntukkan untuk kepentingan dirinya dan kelompoknya sendiri dengan menjadikan hukum Tuhan sebagai legalitas agar tercapailah apa yang menjadi tujuan. Benar memang. Benar bagi kaum sontoloyo.

Kenapa tidak mencoba membangun suatu taman dalam pikiran yang terdapat unsur-unsur harmoni yang saling melengkapi, dan tanpa ada penggusuran atas wilayah api dan air. Jika memang merupakan pertalian antara air dan api, yang terjadi bukan dialektika antar keduanya, melainkan dialog seharusnya.

Begitu dengan Bharatayudha, siapa yang menjadi api? bagi Kurawa, para Pandawa-lah musuh mereka. begitupun sebaliknya, bagi para Pandawa yang menjadi musuh mereka adalah para Kurawa. Ya, masih berupa konstruksi absurd.

Induk ayam kembali ke kandang. Satu kakinya terluka, tapi masih sanggup berjalan. Ia tidak mengatakan apa-apa pada anaknya, induk ayam tau bahwa anaknya masih terlalu kecil untuk memahami roman kehidupan.


Like it? Share with your friends!

12
Andre Hanura

Andre Hanura adalah mahasiswa prodi Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ia menjabat sebagai Ketua Umum LPM Humanius Ushuluddin.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals