Panda ‘Diplomat’ Lucu nan Menggemaskan dari China

Kebutuhan jalinan kerjasama yang lebih lembut (soft power) antar berbagai negara melalui para diplomatnya selalu terlihat unik, yakni diplomasi panda. 5 min


-1
Panda Sebagai Diplomasi Soft Power China
Ilustrasi: jatim.tribunnews.com

Belum lama ini kata kunci “Vanuatu” ramai diperbincangkan di media sosial dan menjadi tranding topic di Twitter. Ramainya pembicaraan bergulir tatkala isu mengenai dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua dalam sidang umum PBB disuarakan kembali, pada Sabtu 26 September 2020.

Ramainya pembicaraan itu tentu tidak lepas dari seorang sosok diplomat muda, yakni Silvany Austin Pasaribu. Sosok yang pernah menjabat sebagai Sekretaris Kedua Fungsi Ekonomi I Perutusan Tetap untuk PBB, New York, Amerika Serikat.

Keberaniaannya ini pun sontak mengundang berbagai pandangan di masyarakat ada yang kagum ada juga yang kurang simpatik. Melihat aksinya tersebut melalui forum internasional seperti PBB. Secara tidak langsung kita dapat mengetahui bahwa sejatinya fungsi dari diplomat (seseorang yang melalukan praktik negosiasi) sebagai garda depan dalam berdiplomasi dengan negara-negara lain memiliki peran yang begitu besar bagi kepentingan negara.

Namun, jika kita melihat lebih jauh ternyata ada sebagaian negara yang melakukan hubungan diplomasi dengan cara-cara unik yang melibatkan hewan sebagai pembuka jalan kerjasama seperti China misalnya, yang menggunakan hewan khususnya–panda–sebagai bagian dari berdiplomasi dengan negara-negara lain.

Seperti diketahui, diplomasi sendiri menurut beberapa ahli sebenarnya belum ada keseragaman. Istilah “diplomacy” memiliki pengertian yang berbeda-beda menurut penggunaannya (Widagdo, 2020):

1) Ada yang menyamakan kata itu dengan “politik luar negeri”, misalnya jika dikatakan “diplomasi Republik Indonesia di Afrika perlu ditingkatkan”.

2) Diplomasi dapat pula diartikan sebagai “perundingan” seperti sering dinyatakan bahwa “masalah Timur Tengah hanya dapat diselesaikan melalui diplomasi”. Perkataan diplomasi disini merupakan satu-satunya mekanisme, yakni perundingan.

3) Diplomasi dapat pula diartikan sebagai “dinas luar negeri”, seperti dalam ungkapan “selama ini ia bekerja untuk diplomasi”.

4) Ada juga yang menggunakan secara kiasan dalam “Ia pandai berdiplomasi” yang berarti bersilat lidah.

Sedangkan menurut definisinya, seperti dikemukakan oleh Sir Ernest Satow adalah, “penerapan intelijen dan kebijakan untuk melaksanakan hubungan resmi antara pemerintah dari negara-negara yang merdeka atau singkatnya merupakan pelaksanaan urusan antar negara dengan cara-cara damai”. Sedangkan menurut Harold Nicolson mendefinisikan diplomasi adalah, “pengelolaan hubungan antar negara-negara merdeka dengan proses negosiasi” (Widagdo, 2020).

Adapun Ian Brownlie mendefinisikan diplomasi sebagai, “cara yang dilakukan oleh negara untuk membangun atau mempertahankan hubungan timbal-balik, berkomunikasi antara satu dan lainnya, melalukan trasaksi politik ataupun hukum, dalam setiap kasus melalui agen mereka yang sah” (Widagdo, 2020).

Dahulu sebenarnya pada era perang dunia I dan II pola diplomasi hanya berfokus pada pembentukan aliansi-aliansi dalam perang. Diplomasi ini sempat digambarkan dengan sebutan “diplomasi lama” dan cenderung menggunakan cara-cara yang “hard power”. Hard power sendiri merupakan tujuan untuk mengubah perilaku aktor (negara) lain agar mengikuti keinginan kita (Bakry, 2017).

Melalui implementasi taktik-taktik yang bersifat koersif, seperti melalui ancaman atau penggunaan kekuatan bersenjata, tekanan ekonomi atau sanksi, pembunuhan dan tindakan tipu daya, serta bentuk-bentuk intimidasi lainnya. Instrument kekuataan militer, ekonomi, dan finansial lazim digunakan dalam implementasi hard power (Bakry, 2017).

Namun, seiring berjalannya waktu pada era setelah Great Wars dan semakin terintergrasinya berbagai negara akibat globalisasi, diplomasi tidak lagi bersifat kaku dan berfokus pada hard power saja, melainkan beranjak ke arah “soft power”. Soft power sendiri adalah kapasitas yang dimiliki suatu aktor (negara) untuk membujuk pihak lain melakukan apa yang diinginkannya tanpa menggunakan paksaan (coercion), ancaman (threats), atau sogokan (bribes) (Bakry, 2017).

Baca juga: Diplomasi UK-Malaysia: Soft Power Melalui Pendidikan

Instrument soft power di antaranya mencakup penggunaan nilai-nilai budaya, dialog ideologis, upaya-upaya untuk memengaruhi pihak lain dengan contoh yang baik, dan imbauan untuk menerima nilai-nilai kemanusiaan. Adapun sarana yang dapat digunakan untuk menerapkan soft power adalah program-program budaya untuk tujuan-tujuan politik (Bakry, 2017).

Salah satu negara yang menjalankan diplomasi soft powernya secara unik melalui hewan panda di dalam menjalin kerjasama dengan negara-negara lain adalah China. Sejak meningkatnya perekonomian China yang telah mencapai tahapan luar biasa, tidak hanya memberikan harapan yang besar tetapi telah melanggengkan posisinya di dunia internasional. Kebijakan luar negeri yang ditetapkan oleh negara ini diletakkan atas dasar prinsip-prinsip perdamaian dan harmonisasi dunia.

Maka, sesuai dengan prinsip dasar kebijakan tersebut, negara Tirai Bambu itu mencari cara yang tidak mengedepankan kekerasan dan peperangan, negara ini lebih menjunjung tinggi cara-cara yang lembut. Menyadari betapa pentingnya nilai sejarah dan budaya yang dimiliki oleh bangsanya, dan seiring dengan perkembangan konsep soft power, China kemudian menetapkan strategi kebudayaan sebagai salah satu sumber utama dari soft power negaranya.

Sebagai sebuah negara yang besar tentu bukan tanpa alasan China menggunakan hewan panda sebagai strategi diplomasinya. Seperti diketahui panda merupakan mamalia endemik Tiongkok yang lucu mendiami negara Republik Rakyat China (RRC). Di negaranya hewan ini dapat ditemukan di alam liar pegunungan bagian China Tengah dan Barat di sekitar 5000 sampai 13000 kaki.

Hutan daerah kawasan tersebut sangatlah dingin, lembab, dan umumnya mengalami curah tingkat hujan yang tinggi. Dengan mengonsumsi bambu, panda bertahan hidup di pegunungan.

Di habibat pegunungan diperkirakan ada populasi panda di enam gunung China, yakni Qinling, Qionglai, Minshan, Liangshan, Daxiangling, Xiaoxiangling. Dengan memiliki keunikan dan hewan yang satu-satunya hidup di daratan Tiongkok ini, maka tak heran jika pemerintah China berupaya melakukan pengembangan konservasi panda dengan mendirikan fasilitas modern bernama Chengdu Research Base of Giant Panda, di provinsi Chengdu.

Apalagi saat ini panda sudah dikenal luas sebagai ikon Republik Rakyat China, dan telah menjadi logo internasional untuk konservasi hewan yang dilindungi dan menjaga kelestarian habitat alam liar, oleh World Wildlife Fund (WWF) sejak tahun 1961. Pemilihan hewan panda logo WWF ini dikarenakan hewan yang berbulu hitam-putih dengan belang hitam dimatanya memiliki daya tarik tersendiri, lucu, dan menggemaskan.

Selain itu, juga telah menjadi maskot Asian Games 1990 serta Olimpiade Beijing tahun 2008. Maka, tidak heran jika penggunaan panda sebagai hewan yang memiliki daya tarik positif serta menggemaskan ini digunakan sebagai ‘diplomat’ dalam menjalani diplomasi dengan negara lain yang secara historis sudah di mulai pada era pra-modern, pada abad ke-7. Saat permaisuri Wu Zetian mengirimkan sepasang panda kepada kaisar Jepang.

Penggunaan panda sebagai objek berdiplomasi pun berlanjut hingga pada periode modern, hal itu bisa dilihat pada tiga fase perkembangan diplomasi panda yang dilakukan oleh China, yakni:

1) Pada era pemerintahan Mao Tse Tung sekitar tahun 1960-an. Di tahap ini panda diberikan oleh China ke beberapa negara dalam rangka meningkatkan hubungan persahabatan;

2) Pada masa pemerintahan Deng Xiaoping. Di masa ini panda tidak lagi diberikan, melainkan dipinjamkan China kepada negara-negara disertai dengan jaminan;

3) Pada bagian ini panda yang dipinjamkan China kepada negara-negara di samping sebagai objek diplomasi berkembang juga menjadi objek penelitian ilmiah.

Dalam perkembangannya tujuan dari diplomasi panda ini bergeser untuk mencari dua hal, yakni pasar dan kepentingan politik. Dalam mencari pasar panda disewakan untuk menjadi ajang pameran di beberapa kebun binatang bergengsi seperti salah satunya di Taman Safari Indonesia yang menghadirkan dua panda dari China bernama Cai Tao dan Hu Chun pada tahun 2017.

Baca juga: Psikologi Islam dan Peradaban Kebun Binatang

Panda yang memiliki daya tarik pengunjung menjadi ajang tontonan untuk hiburan sehingga penyedia kebun binatang juga menyediakan beberapa merchandise dari bentuk panda.

Sedangkan dalam kepentingan politik diplomasi panda mengharuskan adanya timbal balik dari peminjaman panda yang diberikan ke beberapa negara di dunia. Setidaknya sudah ada 19 negara termasuk Indonesia yang dipinjami hewan lucu ini yang berlangsung dari tahun 1957 sampai 2017, sebagaimana tertera di tabel bawah ini:

Daftar_panda_yang_dipinjamkan.jpg

(Sumber Gambar: rappler.com)

Dari tabel di atas setidaknya terdapat dua hal penting terkait negara-negara yang dipinjami hewan panda ini, sebab tidak semua negara dipinjami secara cuma-cuma. Dua hal itu, yakni:

1) Meminjamkan kepada negara di kawasan Asia yang melakukan kerjasama secara langsung dengan China;

2) Negara yang dipinjami tersebut merupakan negara-negara yang memasok kebutuhan sumberdaya alam dan teknologi. Negara di Eropa merupakan negara maju, sehingga China memilih beberapa negara untuk dijadikan tujuan dilakukannya diplomasi panda tersebut.

Dengan adanya perkembangan diplomasi yang telah bergeser ke arah yang lebih damai pasca era perang dunia I dan II. Kebutuhan akan jalinan kerjasama yang lebih lembut (soft power) melalui para diplomat-diplomatnya pun dilakukan dengan cara-cara yang unik dengan posisi yang sangat penting dan strategis serta tidak selalu terlihat formal.

Referensi:
Bakry, U. S. (2017). Dasar-Dasar Hubungan Internasional. Jakarta: Penerbit Kencana.

Widagdo, S. (2020). Kekebalan dan Hak-Hak Istimewa dalam Hubungan Diplomatik Menurut Konvensi Wina 1961. Malang: UB Press.

Editor: Andika S

 _ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂

Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!

Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

-1
R. Dimas Sigit Cahyokusumo
Sang Pembelajar

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals