Kita yang Haus dan Kelaparan

Fase yang sedang kita alami adalah kesenyapan pemaknaan yang telah berdaulat terhadap jiwa-jiwa lapar intelektual dan haus spiritual.3 min


1
Ilustrasi Manusia yang kacau dengan pikirannya (sumber foto: greatmind.id)

Sebagai seorang yang dikaruniai akal, pernahkah kita bertanya-tanya pada diri kita sendiri? Berdialog dengan diri kita sendiri dalam kesenyapan yang paripurna dan air mata yang tak menyimpan malu pada setiap tetesnya. Jangan-jangan belum pernah, meski sedetikpun?

Itulah yang kini kita rasakan bersama-sama. Kita−dalam hal ini berarti rakyat Indonesia−yang 75 tahun telah merdeka, rupa-rupanya sedang diserang dahaga. Jiwa kita kering kerontang. Fase yang sedang kita alami adalah kesenyapan pemaknaan yang telah berdaulat terhadap jiwa-jiwa lapar intelektual dan haus spiritual.

Mantra yang ratusan abad silam dirapalkan oleh Sokrates: “Hidup yang tak dimaknai, tak layak untuk dijalani” kini hanya sebatas buah caption pada akun-akun di media sosial. Kalimat tersebut dapat kita temui berjibun di media sosial, tapi pada kenyataannya sungguh nihil.

Jika pemaknaan sudah mengakar-rumput pada setiap individu; muskil adanya penindasan, diskriminasi, rasisme, dan mabuk agama. Nyatanya? Kita masih saja seperti bola yang digiring oleh opini-opini publik. Terbawa suasana yang carut-marut, yang lebih parahnya, justru ikut andil dalam ke-carut-marut-an tersebut.

Baca juga: Masyarakat Religius menurut Soren Kierkeegard: Reflesi 75 Tahun Indonesia Merdeka

Tahun 2020 yang belum genap 12 bulan ini, begitu banyak isu-isu yang berhasil menggiring publik menjadi bahan bakar yang mudah tersulut oleh api. Kata-kata menjadi senjata paling ampuh untuk membombardir ketenanangan. Hingga pada masanya kelak, terlalu banyak orang berkata-kata tanpa makna. Kata-kata bukan lagi makna. Makna bukan diambil dari kata-kata.

Ya, begitulah ironi kita saat ini. minimnya literasi dan pasifnya kontemplasi, menjadikan kehidupan kita serasa begini-begini saja. Tepat seperti kata Voltaire dalam novelnya Candide, “Hidup ini merupakan sebuah distopia (ketidaksempurnaan) dan kekejaman manusialah yang membuat dunia tak sempurna.” Hidup yang terasa tak lagi bermakna harus kita akui secara jujur. Ketidakbermaknaan tersebut memerlukan oase-oase yang  seharusnya digali pada diri kita sendiri.

Teknologi yang semakin canggih, justru membutakan kepekaan kita terhadap lingkungan dan kemanusiaan. Secara perlahan, jika kebutaan tersebut terus dikembang-biakkan, tak akan ada lagi keindahan dari hidup ini. Lantas, bagaimana menemukan kembali makna hidup yang kering kerontang?

Pertama, Beri asupan literatur untuk intelektual kita yang tengah kelaparan. Akhir-akhir ini, kelaparan intelektual sangat nampak di depan mata. Buktinya, fenomena diskriminatif dan provokatif melalui media sosial sangat mudah memperkeruh suasana kedamaian publik.

Jika kita tarik mendasar, keruhnya suasana itu terjadi karena individu-individu tersebut masih berada di bawah The Crowd (baca: golongan), yang menurut Soren Kierkegaard, jika individu belum mampu terlepas dari The Crowd, maka belum sempurna ia menjadi manusia.

Melalui literatur yang cukup, setidaknya mengurangi kita untuk menjadi salah satu penyulut api dalam kekacauan yang tak jelas kapan akan berakhirnya. Seperti memperbanyak membaca buku-buku pengetahuan pula, kita dapat menanggapi segala problem, isu, maupun opini secara multi-prespektif. Sehingga tak menyombongkan kebenaran tunggal dari-nya, maupun golongan-nya.

Kedua, cari sela-sela sunyi di antara berjubel kesibukan kita setiap hari. Dalam sunyi, kita mampu merenungi, mengevaluasi, dan mengisi kekosongan ruang pada spiritualitas kita. Poin kedua inilah yang acapkali terlupakan. Dengan dalih kesibukan, hingga melupakan evaluasi terhadap diri sendiri.

Pentingnya re-kontemplasi ini mungkin pernah disinggung juga oleh Bung Karno, yaitu: “Ada saatnya, dalam hidupmu, engkau ingin sendiri saja bersama angin sambil meneteskan air mata.” Lalu, apa output yang kita dapat setelah merenung?

Terutama dan yang paling utama adalah: kejernihan jiwa. Jiwa yang jernih akan senantiasa meluruskan pikiran dan menghalau segala bentuk rasa kejengkelan terhadap sesama. Selain itu, dengan merenung, kontak spiritual kita dengan Sang Pencipta lebih intim. Pasalnya, kita mampu merasakan setiap hembusan nafas kita ini tak akan terjadi bila tak ada causa prima (penyebab awal) yakni Allah SWT.

Coba bayangkan, andai setiap hembusan nafas itu diminta pertanggungjawaban oleh Tuhan dalam bentuk uang. Pasti pening, bukan?

Kita sudah terlalu kenyang memakan pikiran, gaya, maupun karakter orang lain−yang sama sekali tak cocok dengan diri kita. Hingga lupa; bahwasanya kita tengah kelaparan dengan karakter diri kita sendiri. Baik spiritual maupun intelektual.

Akal sebagai anugerah terbesar yang diberikan oleh Tuhan sudah sangat perlu dikoneksikan dengan hati (perasaan). Dengan begitu, kehidupan kita dapat selaras. Tak mudah baperan dan tak mudah terbawa arus. Sebab−meminjam istilah Soe Hok Gie−pilihan hidup itu ada dua: menjadi apatis atau mengikuti arus. Namun, kita harus memilih menjadi manusia merdeka, yang terlepas dari dua pilihan sebelumnya.

Baca juga: Pseudo Merdeka

Dalam euforia bulan kemerdekaan, kita seharusnya tidak hanya memperingati kemerdekaan bangsa ini. Tetapi, kemerdekaan pada diri sendiri juga perlu kita pertanyakan ulang kedaulatannya. “Sudahkah kita merdeka melawan nafsu? Sudahkah kita merdeka dari indoktrinasi? Sudahkah kita merdeka dari kepungan kekuasaan duniawi?” Biarkan akal dan hati kita sendiri yang mendiskusikan.[SW]
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! 

Anda juga bisa mengirimkan naskah Anda tentang topik ini dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya  di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

1
Ainu Rizqi

Tim Redaksi Artikula.id | Alumni Pondok Pesantren Darul 'Ulum. Mahasiswa jurusan Akidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals