Keragaman Bahasa dan Aksara dalam Tafsir Al-Qur’an di Indonesia

Barang kali, hanya di Indonesia saja produk-produk tafsir Al-Qur'an dikembangkan dengan berbagai bahasa dan aksara yang begitu beragam.2 min


6

Barang kali, hanya di Indonesia saja produk-produk tafsir Al-Qur’an dikembangkan dengan berbagai bahasa dan aksara yang begitu beragam. Di negara-negara lain, umumnya produk tafsir terbatas menggunakan bahasa Arab dan Inggris. Nilai lokalitas budaya sangat mempengaruhi bagaimana tafsir Al-Qur’an itu dibentuk, khususnya menggunakan bahasa dan aksara lokal seperti Jawa dan Sunda.

Di Jawa, terutama wilayah pedalaman seperti Solo dan Yogyakarta, terdapat karya tafsir yang ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa aksara cacarakan. Misalnya, Serat Patekah, sebuah terjemah tafsiriyah, Tafsir Wal Ngasrikarya St. Cahayati, Tafsir Al-Qur’an Jawen karya Bagus Ngarpah, Tafsir Al-Qur’an saha Pethikan Warna-warni koleksi Museum Sonobudoyo, Yogyakarta.

Menurut Islah Gusmian (2015), pemilihan aksara cacarakan ini dipilih dengan mempertimbangkan kebutuhan audiens sebagai pengguna tafsir dan pada saat yang sama menunjukkan adanya pergerakan dakwah Islam yang telah memasuki pada ruang masyarakat Jawa pedalaman.

Di samping menggunakan aksara cacarakan, ada pula produk tafsir yang menggunakan aksara pegon. Secara garis besar, tafsir jenis ini muncul dari masyarakat Muslim Jawa di daerah pesisir yang sangat kental dengan tradisi pesantren, khususnya dalam tradisi kajian kitab kuning.

Berbagai produk kitab tafsir itu misalnya, Faid ar-Rahman fi Tarjamah Kalam Malik al-Dayyan karya Syekh Muhammad Salih Ibn Umar as-Samarani yang umumnya dikenal dengan nama Kiai Saleh Darat (1820-1903), Tafsir Surah Yasin dan al-Ibriz li Ma’rifat Tafsir al-Qur’an al-‘Aziz karya KH. Bisri Mystafa, Iklil fi Ma’ani al-Tanzil dan Tajul Muslimin karya KH. Misbah Zainal Mustofa.

Dalam catatan Asmuni Abdurahman (1985), ketika aksara Latin/Roman diperkenalkan oleh Belanda sejak politik etis, kebutuhan karya tafsir bagi muslim Jawa juga difasilitasi dalam bentuk tafsir berbahasa Jawa dengan aksara Latin. Tafsir jenis ini bisa dilihat misalnya pada usaha yang dilakukan oleh Moenawar Chalil (1908-1961), salah seorang muslim modernis yang pada tahun 1958 menulis Tafsir Qur’an Hidaajatul Rahman.

Dua tahun kemudian muncul karya Tafsir Al-Qur’an Suci Basa Jawi karya Muhammad Adnan dan pada tahun 1970 disusul karya Al-Huda Tafsir Qur’an Basa Jawi oleh Bakri Syahid, yang merupakan salah satu jawaban atas kebutuhan dan permintaan masyarakat Islam dari Suriname. Bahkan, agar seni macapat tetap dilestarikan, Ahmad Djawahir Anomwidjaja pada tahun 1992 menulis Sekar Sari Kidung Rahayu, Sekar Macapat Terjemahanipun Juz Amma.

Selain menggunakan bahasa Jawa, ada pula penulisan tafsir dengan bahasa Sunda dan Bugis. Dalam bahasa Sunda penulisan tafsir menggunakan dua versi, ada yang pegon ada pula yang latin. Untuk edisi pegon, bisa dilihat misalnya, Raudlatul ‘Irfan fi Ma’rifatil Qur’andan Tafriju Qulub al-Mu’min fi Tafsir Kalimah Surat al-Yasin karya Kiai Ahmad Sanusi Sukabumi. Sementara edisi Latin bisa dilihat melalui karya berjudul Nurul-Bajan; Tafsir Qur’an Basa Sunda (1960) ditulis oleh KH. Romli dan Midjaja, dan Ayat Suci Lenyepaeun (1984) karya Muhammad Hasim.

Adapun dalam aksara Bugis, bisa dilihat melalui karya Tafsir Al-Qur’an al-Karim bi al-Lughah al-Bugisiyyah, Tafsere Akorang Bettuwang Bicara Ogi (1961) oleh H.M Yunus Martan, tafsir Munir, Tarjamah wa Tafsir al-Juz al-Awwal wa al-Tsani wa al-Tsalits (1980) karya H. Daud Ismail.

Meski banyak produk tafsir ditulis dalam aksara lokal, sebenarnya bahasa Arab juga dipakai oleh penulis tafsir Indonesia. Misalnya karya tafsir yang ditulis oleh KH. Ahmad Yasin Asymuni berjudul Tafsir Bismilahir rahmanirrahim Muqaddiman Tafsir al-Fatihah, Tafsir Surat al-Ikhlas, Tafsir al-Mu’awwidatain, Tafsir Ma Asabak, Tafsir Ayat al-Kursi dan Tafsir Hasbunallah. Karya ini banyak dipakai di berbagai pengajian di pesantren seperti di Kediri, Jombang dan Yogyakarta.

Pada kisaran abad ke-18, terdapat naskah tafsir berjudul tafsir Al-Asrar yang ditulis oleh Haji Habib bin Arifuddin pada tahun 1782 M. Selain karya ini, seorang mufasir dari Solo bernama Muhammad bin Sulaiman menulis tafsir berbahasa Arab dengan judul Jami’ al-Bayan min Khulasah suwar al-Qur’an al-Adim, ini termasuk karya tafsir lengkap 30 juz yang ditulis dalam dua jilid.

Selain karya tafsir yang menggunakan bahasa dan aksara lokal seperti di atas, bahasa Indonesia juga telah digunakan secara umum dan menjadi pilihan oleh para penulis tafsir Indonesia. Hal ini tidak bisa dipisahkan dengan adanya peristiwa Sumpah Pemuda yang menjadi penggerak dan pemersatu masyarakat Indonesia untuk menggunakan bahasa nasional dalam bangunan kesadaran akan pentingnya persatuan, yang di antaranya diwujudkan dalam persatuan pemakaian bahasa Indonesia.

Ada banyak sekali karya tafsir dalam bahasa Indonesia, sebut saja misalnya Tafsir al-Furqan karya A. Hasan, Tafsir Al-Qur’an al-Karim karya Muhammad Yunus, Tafsir al-Azhar karya Hamka, Tafsir al-Munir dan Tafsir al-Bayan karya Hasbi Ash-Shiqqiqie, Tafsir Rahmat karya Oemar Bakry, Tafsir Gelombang Tujuh karya KH. Abdullah Tufail,Al-Qur’an dan Tafsirnya karya tim Departeman Agama RI, dan Tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab.

Pemilihan bahasa Indonesia dalam penulisan tafsir ini sebenarnya mempertimbangkan sisi praktisnya. Sebab, bahasa Indonesia bisa sangat mudah dijangkau oleh audiens dan para pembaca secara luas di tengah masyarakat muslim Indonesia.


Like it? Share with your friends!

6
Rohmatul Izad

Alumni Pascasarjana Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada dan Santri di Pesantren Baitul Hikmah Krapyak Yogyakarta.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals