Tuli, Sebagai Komunitas Berdaya di Masyarakat

Sebagai bagian bangsa Indonesia, kaum difabel juga memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang baik dan layak. 2 min


0
goodnewsfromindonesia.id

Hari ini adalah peringatan hari Tuli Indonesia. Peristiwa ini merupakan kesepakatan para peserta gertuli yang diadakan di Kediri pada tahun 2017. Hal ini berdasarkan atas peristiwa pada tanggal 11 Januari 1961. Tanggal tersebut merupakan lahirnya perhimpunan serikat kaum tuli bisu Indonesia atau yang disingkat dengan sekar tuli.

Perkumpulan di atas merupakan keprihatinan di antara komunitas tuli yang ada di Indonesia. Adalah seorang Aek Natar Siregar yang merasa ada diskriminasi dalam bidang pendidikan. Baginya, belum ada sekolah yang dapat menerima pelajar difable ini. Oleh karenanya perlu diupayakan sebuah gerakan dalam rangka menjadikannya berdaya dan dapat dipenuhi segala hak-haknya termasuk dalam pendidikan yang setara.

Sebagai bagian bangsa Indonesia, kaum difabel juga memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang baik dan layak. Setidaknya, mereka ini akan dapat berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, setiap pribadi individu dapat menyumbangkan baktinya ke negara dan bangsa.

Setiap orang ingin sehat secara jasmani. Namun, dalam kaitannya dengan Tuli ini bisa disebabkan bawaan lahir, kecelakaan atau bahkan proses penuaan. Hal ini juga dapat diakibatkan oleh penyakit tertentu seperti virus Jerman, gondokan dan sebagainya. Dengan demikian penyebab adanya penyakit ini karena beragam sebab.

Sebagaimana diketahui persamaan di antara umat manusia merupakan sesuatu yang penting. Hal ini di antara kelompok Tuli ini lebih senang disebut dengan istilah Tuli ketimbang tuna rungu. Hal ini disebabkan karena penyebutan Tuli sebagai sebuah bentuk penghargaan secara sosial sebagai identitas sosial, dapat terjadi kepada siapapun, lebih nyaman dan kemampuan dengan bahasa isyarat. Dengan pola pemahaman seperti ini, maka mereka yang Tuli adalah juga memiliki kemampuan.

Istilah di atas adalah istilah yang powerable dibanding dengan istilah tuna rungu. Istilah terakhir ini lebih mengesankan ketidakmampuan dalam mendengar. Penyebuyan tersebut juga mengindikasikan sebagai diskriminatif, indikasi medis bagi penyandangnya dan kerusakan indera pendengaran. Sejumlah indikasi tersebut, maka penyebutan dengan Tuli lebih baik ketimbang tuna rungu.

Bahasa isyarat yang dijadikan sebagai bahasa untuk menjadikan komunikasi di antara mereka merupakan bahasa ibunya. Hal ini sudah dibakukan dengan istilah BASINDO atau dikenal dengan bahasa isyarat Indonesia. Dalam konteks inilah diperlukan pembudayaan bahasa isyarat dalam setiap kegiatan yang di dalamnya terapat komunitas Tuli.

Kemajuan dalam hal ini adalah bahasa isyarat di dalam khutbah Jum’at di Masjid UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sebagai kampus yang ramah dengan penyandang difable, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta maka kampus tertua di PTKIN ini tidak hanya ramah difable dalam hal bangunan fisik saja. Setidaknya hal tersebut ditunjukkan dengan bahasa isyarat di masjid dan di perkuliahan. Dengan demikian, upaya kampus menjadikan komunitas Tuli juga menjadikan berdaya termasuk di dalamnya dalam memahami ajaran agama Islam.

Apa yang digagas oleh UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta di atas harus dikembangkan ke ruang publik yang luas. Perluasan ini setidaknya terutama dalam pengajian atas ajaran Islam yang dilakukan para penceramah yang tidak spesifik khutbah. Perluasan ini secara tidak langsung akan menjadikan pemahaman agama di kalangan mereka semakin meningkat.

Dalam konteks nasional bahasa isyarat ini sudah banyak digunakan khususnya dalam acara televisi dalam konteks berita. Ini merupakan sesuatu yang penting karena sebagai manusia komunitas Tuli juga dapat melakukan komunikasi.

Bahasa isyarat merupakan bahasa yang menekankan pada gerakan manual dari gerak tubuh dan gerak bibir. Bentuk bahasa gerak inilah yang menjadikan komunitas ini dapat berkomunikasi satu dengan lainnya. Dalam sejarahnya, adanya bahasa isyarat adalah sejak abad ke 16 seorang dokter dari Italia Gerenimo Cardano yangmenemukannya. Dia memiliki anak yang penyandang Tuli dan membuatkan sebuah alat komunikasi dengan bahasa tubuh.


Like it? Share with your friends!

0
Alfatih Suryadilaga
Dr. H. Muhammad Alfatih Suryadilaga, S.Ag. M.Ag. adalah Wakil Dekan Bidang Akademik Fak. Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga (2020-2024). Beliau juga menjabat sebagai Ketua Asosasi Ilmu Hadis Indonesia (ASILHA) dan Ketua Yayasan Pondok Pesantren al-Amin Lamongan Jawa Timur. Karya tulisan bisa dilihat https://scholar.google.co.id/citations?user=JZMT7NkAAAAJ&hl=id.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals