Apakah Anda ke Masjid Memakai Kaos? Gantilah Baju Koko!

"..alangkah baiknya segala sesuatu lebih mengedepankan aspek substansi dan kebermanfaatannya, serta tidak terbelenggu pada kulit semata.."3 min


1

Para pembaca yang budiman, ijinkanlah saya yang masih pemula dan penuh kealpaan ini untuk andil berbagi cerita. Mungkin cerita ini tidak begitu penting, sepenting isu pilkada yang telah booming dan memenuhi lini media massa kita, tetapi ini perlu diceritakan agar tidak menjadi duri di dalam daging, hehe.

Langsung saja, di suatu minggu yang cerah, saya mengantarkan kakak dan ponakan untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari di salah satu pusat perbelanjaan di Sragen, Jawa Tengah. Hal ini merupakan agenda rutin, dikarenakan sang ayah ponakanmasih menjadi pahlawan devisa di negeri Petronas, sehingga sayalah sebagai badal sang ayah. Sebagai om yang baik, setelah selesai belanja ini itu, saya mengajak dan memanjakan ponakan dengan naik odong-odong di pusat perbelanjaan tersebut. “Bahagia itu sederhana kok om, ajakin aku naek odong-odong ea”, tutur si ponakan, hehe.

Setelah selesai belanja, kami putuskan untuk mampir di Masjid Raya yang lokasinya dekat pusat perbelanjaan, mengingat jam yang sudah menunjukkan pukul 12.45 WIB, sehingga pamali jika harus menunda-nunda waktu salat. Masjid terlihat ramai dengan para jamaah yang hendak salat atau sekadar duduk-duduk dan tiduran di serambi masjid. Di salah satu sudut halaman masjid, tepatnya di bawah sebuah pohon rindang juga disediakan air teh dan air putih gratis untuk para jamaah.Sekadar penghalau dahaga para jamaah.

Melihat begitu crowded-nya kondisi masjid saya dan kakak memutuskan untuk salat secara bergantian. Bukannya apa-apa, bukan karena takut kehilangan barang belanjaan yang lumayan banyak atau ketakutan lainnya, tetapi lebih untuk menjaga ponakan secara bergantian. Meski, di area masjid pun juga tidak menjamin keamanan seratus persen, hehe.

Saya yang hendak salat duluan langsung menuju toilet untuk HIV (Hasrat Ingin Vivis) kemudian lanjut untuk mengambil air wudhu. Betapa terperanjat saya ketika hendak memasuki masjid tertulis sebuah pesan “Bagi jamaah yang memakai kaos, silahkan ganti baju koko yang disediakan masjid”. Kemudian dilengkapi dalil penguat “Wahai Anak Cucu Adam, pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid.” (QS. Al-A’raf ayat 31).

Rasanya makjleb ketika membaca tulisan demikian, karena notabene saya memakai kaos juga saat itu. Namun, karena beberapa bapak-bapak di belakang saya kebetulan juga memakai kaos dan hendak salat, tanpa kami hiraukan ultimatum tersebut, kami dengan bapak-bapak sepakat untuk menjalankan salat secara berjamaah. Salat pun terlaksana dengan baik tanpa suatu halangan apapun.

Di sinilah klimaks dari cerita saya, masjid sebagai rumah Tuhan dan fasilitas umat sering dimonopoli oleh sebagian aliran tertentu. Masjid dijadikan sarana doktrinasi aliran dan paham keagamaan tertentu. Bahkan ada masjid yang memperlakukan orang lain di luar alirannya sebagai kotor dan najis, sehingga bekas sujudnya harus dipel dan dibersihkan, na’udzubillah.

Terlebih lagi pengikut aliran yang berbasis kulit ini, bukan substansi, kian tumbuh subur dan menjamur. Aliran yang melihat segala sesuatu dari hal yang formal terlihat saja, seperti pakaian, penampilan, dan lain-lain yang dianggap paling nyunnah Nabi. Kemudian memaknai ayat suci secara tekstual saja, tanpa mengkontekstualisasikannya dengan dinamika perubahan zaman. Akhirnya teks suci menjadi jumud dan alpa terhadap kemajuan Islam, serta kurang tajam dalam menyelesaikan permasalahan umat.

Dalam konteks announcement di atas, bukankah syarat sah pakaian orang yang hendak salat itu yang terpenting adalah suci dari kotoran dan najis. Kemudian pakaian tersebut menutup aurat, bagi laki-laki auratnya antara pusar dan lutut, sedangkan perempuan seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan.

Lalu, apakah dengan memakai kaos itu tidak menutup aurat, sehingga tidak sah salatnya. Kemudian apakah baju koko itu lebih baik dari kaos, dari mana tolok ukurnya. Padahal jika menilik sejarah baju koko, pakaian tersebut muncul di Indonesia erat kaitannya dengan adat masyarakat Tionghoa yang berbaur dengan penduduk pribumi, sehingga diadaptasi oleh berbagai suku di Indonesia. Di sini penting untuk membedakan mana syariat dan mana produk budaya.

Bila konsekuen dengan cara paham tekstualis, maka baju koko adalah tradisi dan kebudayaan di luar Islam, yakni budaya Tionghoa. Sehingga meniru-nirunya merupakan bentuk kebi’dahan, sehingga dholalah dan finnar. Apalagi merujuk pada hadis yang mengatakan bahwa barang siapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk dari bagian kaum itu, nah loh!

Menurut hemat saya, jika diselami makna memakai pakaian yang bagus pada surat Al-A’raf ayat 31 tersebut adalah pakaian yang suci dari kotoran dan najis serta menutup aurat, itu poin pentingnya. Sehingga poin tersebut yang menjadi dasar agar salatnya menjadi sah. Adapun wujud pakaiannya bebas yang penting memenuhi ketentuan di atas, bisa baju koko, jaket, batik, seragam dinas, kaos, dan lainnya. Bila merujuk pada aspek kesopanan, bukankah suci dari kotoran dan najis serta menutup aurat itulah standar kesopanan itu sendiri!

Saya memahami bahwa mungkin niat takmir adalah baik, yaitu ber-fastabiqul khoirot, berlomba-lomba dalam kebaikan, namun alangkah baiknya segala sesuatu lebih mengedepankan aspek substansi dan kebermanfaatannya, serta tidak terbelenggu pada kulit semata. Toh, ketika pesan tersebut dilaksanakan akan merepotkan pihak takmir sendiri, jumlah koko terbatas berbanding dengan jumlah jamaah yang banyak dan datang silih berganti. Apakah pengumuman tersebut juga sudah didukung dengan penyediaan baju koko yang cukup?

Eits, ane lupa ternyata emak-nya ponakan nunggu giliran salat di parkiran. Sudah dulu, gantian momong ponakan, lain kali disambung lagi. Terima kasih telah bersedia mendengarkan cerita ane. Ada yang bermanfaat silahkan diambil, ada yang salah bisa diluruskan. Intinya, kalau ke masjid jangan lupa pakai baju koko? Haha.


Like it? Share with your friends!

1
Abdul Ghofur

Abdul Ghofur, S.Pd.I., M.Pd., Guru pada MAN 1 Pati, Jawa Tengah; penelusur jalan kehidupan, masih proses pencarian makna & hakikat hidup yang sejati.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals