Kritik Sihrindi terhadap Wahdat al-Wujud

"..ia menganggap pemikiran tersebut adalah hasil dari keadaan mabuk, kejadian seperti ini dialami karena menggambarkan pandangan Jabariyah.."4 min


3
22 shares, 3 points
moslemforall.com

Sirhindi lahir pada Jumat 4 Syawal 971 H/ 26 Mei 1564 M di kota Sirhind, yang sekarang masuk bagian Punjab sebelah barat laut Delhi dan meninggal pada 1034 H/ 1624 M. Ia merupakan sufi yang mengkritik dan menentang konsep Wahdat al-Wujud Ibn Arabi. Sirhindi tidak sekadar mengkritik saja, ia juga memunculkan konsep Wahdat al-Shuhud untuk menyanggah dan mengganti konsep tasawuf dari Ibn Arabi.

Al-Imam al-Rabbani Shaykh Aḥmad al-Faruqi al-Sirhindi yang sering dikenal dengan Sirhindi, merupakan seorang ulama, pemikir sufisme, dan ia merupakan salah satu tokoh dari tarekat Naqshabandiyah yang berpengaruh di masanya. Sirhindi adalah seorang teoritikus dalam dunia sufi, sehingga ia dijuluki sebagai al-Mujaddid Alf-Thani (pembaharu milenium kedua).

Sirhindi lahir dari keluarga yang mempunyai tradisi kelimuan kuat, silsilah dari sirhindi bahkan sampai pada khalifah Umar bin Khattab. Ayah dari Sirhindi bernama Shaykh Abd al-Ahad (927-1007 H/1521-1598 M), ayah dari Sirhindi merupakan salah satu guru masa kecil Sirhindi, ia belajar dan menghafal Alquran kepada ayahnya sendiri.

Setelah berguru kepada ayahnya cukup lama, ia dikirim ke Sialkot yang sekarang termasuk wilayah Pakistan oleh ayahnya. Di kota tersebut, ia belajar logika, filsafat, dan teologi dari Mullah Kamal Kashmiri (w.1017 H/1608 M) yang terkenal dengan ilmu rasionya. Sirhindi juga belajar hadis pada Shaykh Ya’qub Sarfi (w.1003H/1594 M), gurunya merupakan seorang ulama yang mensyarahi Sahih al-Bukhari dan seorang sufi di masa dinasti Kubrawiyah.

Dia juga mempelajari ilmu tafsir dan hadis kepada Qadi Bahlul Badakh Sani, yang setelah itu Sirhindi menamatkan pendidikannya dan kembali ke kampung halaman pada umur 17 tahun.

Tujuan terpenting dalam perjalanan seorang sufi, yakni berada sedekat mungkin dengan Allah. Makna tentang tujuan tersebut semakin berkembang dalam ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah, sehingga muncul beberapa konsep yang dirumuskan oleh para sufi.

Berdasarkan pengetahuan dan pemahaman serta pengalaman mistik yang dialami oleh setiap sufi, pada akhirnya muncul beberapa konsep jalan tasawuf seperti mahabbah, ma’rifah, ittihad, serta muncul konsep hulul dan Wahdat al-Wujud.

Pemahaman tentang Wahdat al-Wujud sering dihubungkan dengan Ibn Arabi (560/1165-638/1234. Ajaran dan pemahaman tentang Wahdat alShuhud memiliki persamaan dan perbedaan pemikiran mengenai Wahdat al-Wujud, meski ia tidak pernah menggunakan istilah tersebut.

Sirhindi mengkritik konsep Wahdat al-Wujud, menurutnya konsep ini memiliki pandangan yang menjauh dari ajaran Islam. Dia mengkritik bukan berdasarkan pemahaman dari konsep Wahdat al-Wujud saja, namun ia juga melihat dari situasi, kondisi religius, sosial, dan politik di India. Ada beberapa kondisi yang terlihat, seperti beberapa ulama’ dan sufi yang menganut paham Wahdat al-Wujud dalam menjalani kehidupan keagamaan, sehingga mereka kurang peduli pada syari’ah yang diajarkan Rasulullah.

Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi perbedaan pemikiran antara Ibn Arabi  dan Sirhindi, batu pijakan dan karakter yang digunakan dalam memahami untuk ajaran tasawuf kedua sufi tersebut berbeda. Ibn Arabi lebih menekankan tasawuf falsafi, namun Sirhindi lebih menekankan tasawuf sunni.

Dalam epistemologi yang digunakan Ibn Arabi, ia menggunakan pendekatan filsafat, sedangkan Sirhindi menggunakan pendekatan dengan ilmu kalam. Wahdat al-Wujud memiliki pemahaman konsep yang mempunyai dua aspek, yakni aspek luar yang disebut al-Khalq, aspek luar mempunyai sifat kemakhlukan. Sementara aspek dalam yang disebut al-Haqq, memiliki pemahaman bahwa aspek ini mempunyai sifat ketuhanan.

Jika dilihat dari kedua aspek tersebut, setiap yang wujud terdapat sifat ketuhanan dan sifat makhluk. Konsep ini muncul berdasarkan hadis yang menyatakan Allah ingin memperlihatkan dirinya, maka Allah menciptakan alam dan seisinya. Ibn Arabi tidak hanya menekankan keesaan wujud, ia juga menekankan macam-macam realitas.

Menurut Ibn Arabi, alam adalah penampakan diri dari al-Haqq, dengan demikian segala peristiwa di alam ini tidak lepas dari entifikasi Tuhan. Ibn Arabi juga memunculkan beberapa konsep, yakni tanzih, tasbih, al-Zahir, al-Batin, al-Wahit, dan alKathir. Berbeda dengan konsep Wahdat al-Shuhud dari Sirhindi, konsep ini memiliki persepsi dari beberapa sufi. Para sufi menyatakan, bahwa tiada zat kecuali Allah sebagai zat tunggal. Sirhindi menyatakan, bahwa konsep menyatu dengan Tuhan merupakan tahapan yang harus dilalui oleh sufi.

Pada langkah awal, seorang sufi mulai melihat perbedaan antara Tuhan dengan alam, namun mereka belum bisa membedakan dengan jelas perbedaan tersebut. Setelah melalui beberapa proses, mereka dapat merasakan bahwa kebenaran pada dasarnya kembali pada zat tunggal. Seorang sufi akan mengalami tahap perbedaan setelah bersatu, ia akan menyadari bahwa sebenarnya Tuhan tidak menyatu dan tidak bisa dibandingkan dengan apapun.

Jika seorang sufi telah melewati tahap menyatu, seorang sufi akan masuk dalam tahap pemisahan sehingga mereka dapat melihat perbedaan, sehingga ia mampu membedakan Tuhan dan alam. Pada tahap ini, seorang sufi akan terbebas dari pengaruh mabuk dari pengalaman menyatu dan memperoleh kesadaran untuk bisa mengendalikan dirinya. Seorang sufi pada tahap ini tidak menemukan pertentangan antara shari’ah dan pengalaman yang telah dilalui, seperti melihat pertentangan antara pengalamannya dengan Al-Qur’an dan hadis.

Dari penjelasan di atas, muncul perbedaan pemikirian dan pemahaman tasawuf antara Ibn Arabi dengan Sirhindi. Perbedaan yang muncul yakni tentang konsep menyatu dengan Tuhan. Ibn Arabi meyakini bahwa, pengalaman menyatu merupakan pengalaman puncak dan titk tertinggi dari pencapaian seorang sufi. Namun Sirhindi memiliki pemahaman yang berbeda, ia menganggap bahwa pengalaman tersebut hanya serangkaian tahapan dari suluk yang dilakukan oleh seorang sufi, karena tahapan tertinggi dari seorang sufi merupakan seorang hamba kepada Tuhan, kebenaran terakhir adalah perbedaan dari pada bersatu.

Dalam doktrin Wahdat al-Wujud, Ibn Arabi meyakini bahwa realitas merupakan satu tetapi mempunyai dua sifat yang berbeda. Teori Ibn Arabi tentang hubungan Tuhan dengan alam, menyatakan bahwa dualitas itu tidak ada kecuali dualitas yang nisbi dan semu, sebab yang ada hanyalah keesaan. Ibn Arabi menyatakan bahwa al-Haqq dan al-Khalq adalah dua aspek bagi wujud yang satu.

Namun Sirhindi meyakini bahwa, eksistensi Tuhan tidak identik dengan alam, Tuhan terpisah dari alam dan bukan menyatu dengan alam. Menurut Sirhindi, eksistensi alam disisi Tuhan tidak bertentangan dengan kebenaran, hal tersebut dinyatakan bahwa yang ada hanya zat tunggal yaitu Tuhan. Sedangkan eksistensi alam adalah eksistensi maya, adanya bentuk yang tidak nyata, alam tersebut tidak mengancam kesatuan zat nyata.

Menurut Ibn Arabi tentang konsep Wahdat al-Wujud, Tuhan merupakan subjek tunggal, dalam hal ini Ibn Arabi mengutip QS. Al-Anfal (8) ayat 17: “engkau tidak melempar ketika engkau melempar, melainkan Allah-lah yang melempar”. Maksudnya adalah konsekuensi dari doktrin Wahdat al-Wujud, yakni segala subjek dari setiap predikat adalah Tuhan.

Berbeda dengan Sirhindi yang mengkritik pemahaman tersebut, ia menganggap pemikiran tersebut adalah hasil dari keadaan mabuk, kejadian seperti ini dialami karena menggambarkan pandangan Jabariyah dan mengabaikan tanggung jawab manusia. Sirhindi juga mengatakan, bahwa Wahdat al-Wujud bertanggung jawab dalam berbagai kepercayaan yang salah dan tindakan tidak benar kepada Allah, Sirhindi tidak meniadakan kausalitas dalam alam ataupun kebebasan berkehendak kepada manusia.

Sirhindi hanya menghilangkan keadaan dalam dirinya dan kebebasan tentang kepercayaan, tindakan pada amalan manusia adalah miliknya sendiri bukan milik Tuhan. Walaupun manusia mempunyai pengetahuan dan kekuatan yang telah diberikan Tuhan, sebenarnya manusia melakukan perbuatan masih dalam batasan yang diberikan oleh Tuhan.

Dalam perbuatan manusia yang disertakan dengan keyakinan yang baik dan benar, manusia tersebut akan mendapatkan ganjaran. Jika yang dilakukan manusia tidak sesuai dengan keyakinannya dan melakukan kesalahan, yang harus dilakukan adalah bertanggung jawab dari perbuatannya, sedangkan kesalahan yang diperbuat harus dipertanggung jawabkan dan mendapat hukuman.


Like it? Share with your friends!

3
22 shares, 3 points

What's Your Reaction?

Sedih Sedih
0
Sedih
Cakep Cakep
2
Cakep
Kesal Kesal
0
Kesal
Tidak Suka Tidak Suka
0
Tidak Suka
Suka Suka
5
Suka
Ngakak Ngakak
0
Ngakak
Wooow Wooow
3
Wooow
Keren Keren
3
Keren
Terkejut Terkejut
0
Terkejut
Rizal Mubit

Master

Rizal Mubit, S.HI., M.Ag. adalah Peneliti Farabi Institute dan dosen di Institut Keislaman Abdullah Faqih Gresik. Ia telah menulis sejumlah buku bertema keislaman.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals