Dialektika Langit dan Bumi: Al-Qur’an Bukan Teks yang Ahistoris

Pengetahuan mengenai konteks sejarah akan memberi pemahaman bahwa al-Qur'an bukan teks yang ahistoris.2 min


0

Al-Qur’an diturunkan untuk memberi petunjuk kepada umat manusia ke arah jalan yang terang dan lurus dengan berijak pada keimanan kepada Allah dan segala perintah-Nya. Selain itu, juga memberitahukan kepada segala hal yang sudah berlalu, kejadian-kejadian yang sekarang serta berita-berita yang akan datang.

Pada sebagian besar, isi kandungan Al-Qur’an pada mulanya diturunkan untuk tujuan yang umum, akan tetapi kehidupan dari para sahabat yang bersama Rasullullah telah menyaksikan banyak peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi di antara mereka peristiwa khusus yang memerlukan penjelasan atas peristiwa tertentu.

Salah satu langkah yang para sahabat lakukan adalah dengan bertanya kepada Rasullulah untuk mengetahui hukum Islam mengenai hal tersebut. Maka Al-Qur’an turun untuk peristiwa khusus atau untuk pertanyaan yang muncul serta juga turun tanpa sebab khusus.

Sudah hampir menjadi dalil aksiomatis bahwa tidak ada teks, apapun bentuknya, yang hadir dalam ruang hampa, ia selalu terkait dengan ruang sosial, karena itu teks selalu kompleks dan komprehensif.

Melakukan kegiatan penafsiran Al-Qur’an merupakan suatu bentuk kegiatan untuk melihat dan menguji kevalidan sebuah teks bagi kehidupan manusia. Sebagaimana dipahami bahwa teks senantiasa harus digunakan atau didialogkan dengan realitas bahkan dengan kepentingan apa-pun bentuknya dan di sinilah teks Al-Qur’an akan menjadi hidup.

Buku baru Dr. Abad Badruzaman memaparkan dengan apik mengenai pentingnya historisitas Al-Qur’an dilihat dari ruang kajian asbabun nuzul dan makki-madani.

Beliau mencoba melihat sisi sosiologi-historis dua konsep tersebut dengan menganalinya dari paparan mengenai sejarah masyarakat Arab sebelum dan sesudah Islam datang. Buku ini sangat bagus untuk pengantar memahami pentingnya kajian asbabun nuzul dan makki-madani.

Buku ini bukan hanya menjelaskan secara teoritik mengenai pengertian, konsep, signifikansi, dan faedah dari kajian tersebut, namun juga dipaparkan secara praktis bagaimana menafsirkan Al-Qur’an yang melihat konteks dua kajian ini sebagai landasan dalam memahami ayat Al-Qur’an.

Bebicara mengenai asbabun nuzul, dalam istilah kajian studi Al-Qur’an kontemporer, historisitas Al-Qur’an bukan hanya berpatok pada kaidah al-‘Ibrah bi ‘Umum al-Lafzh La bi Khusus al-Sabab atau al-‘Ibrah bi Khusus al-Sabab La bi ‘Umum al-Lafzh.

Pada mulanya, Al-Qur’an diturunkan dalam konteks historis tertentu baik di wilayah Makkah dan Madinah serta wilayah-wilayah yang ada di sekitarnya. Konteks historis ini terbagi menjadi dua, yakni: konteks mikro dan makro. Konteks mikro, asbabun nuzul didefinisikan dengan suatu peristiwa yang direspons oleh satu atau lebih ayat Al-Qur’an.

Peristiwa yang dimaksud kadang berbentuk pertanyaan-pertanyaan para sahabat tentang sesuatu atau berupa perilaku sahabat yang kemudian direspons oleh Al-Qur’an. Peristiwa-peristiwa ini hanya bisa diketahui pada saat ini dengan cara periwayatan.

Sedangkan konteks makro, asbabun nuzul dipahami sebagai segala situasi dan kondisi bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain di sekitar mereka yang hidup pada abad ke-7 M dan mendapatkan respon dari Al-Qur’an.

Asbabun nuzul makro semacam ini disebut oleh Syaikh Waliyullah al-Dihlawi dengan nama asbabun nuzul al-haqiqiyyah. Sehingga, konteks makro di sini adalah bukan melihat konteks historis tertentu, namun melihat secara luas apa yang terjadi dalam ruang sosial-budaya bangsa Arab.

Beberapa paparan di atas dapat dipahami bahwa pengetahuan terhadap asbabun nuzul sangatlah penting, karena tanpa berpijak pada sejarah munculnya sebuah teks maka kita tidak memiliki kajian analisis yang bersifat obyektif dan bersifat skeptis terhadap pemahaman sejarah.

Oleh karena itulah pentingnya nilai-nilai historis dapat dijadikan sebagai barometer untuk melacak sejarah masa lalu dan masa yang akan datang.

Intinya, pengetahuan terhadap nilai-nilai sejarah masa lalu dapat dijadikan sebagai indikator dalam mencari ideal moral yang dijadikan sebagai tujuan substansial dalam melakukan penafsiran.

Oleh karena itu, perlu ada semacam reinterpretasi yang berkaitan dengan konteks sejarah, sehingga hasil suatu penafsiran tidak mengandung nilai-nilai yang ahistoris. 


Like it? Share with your friends!

0
Adrika F. Aini
Adrika Fithrotul Aini, M.Ag. adalah dosen di IAIN Tulungagung dan juga Direktur Pusat Studi al-Qur'an dan Hadis (PSQH) IAIN Tulungagung.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals