Anak dalam proses tumbuh kembangnya jelas tidak akan lepas dengan interaksi dengan lingkungannya. Tentu saja dalam proses interaksinya denngan lingkungan harus juga terkondisikan secara baik, dimana lingkungan yang bersentuhan langsung dengan anak adalah lingkungan yang sehat, baik, dan penuh kultur edukatif.
Dalam istilah Ki Hadjar Dewantara ini berarti perlu keselarasan dari Tri-pusat pendidikan yaitu, keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ya, ketiga pusat pendidikan itu harus menjadi fokus setting lingkungan belajar yang ramah anak. Fenomena yang terjadi hari ini adalah dengan tidak terjalin harmonisasi dari ketiga struktur fundamen pendidikan tadi.
Anak di usia yang masih produktif jika terlalu sering bersentuhan dengan lingkungan yang negatif maka ia akan mudah terbawa negatif pula. Menurut George Herbert Mead dalam teori interaksionisme simbolik, anak – anak masih berada dalam fase play stage, dimana dalam fase ini anak masih sering meniru apa yang terjadi di lingkungannya.
Katakanlah ibunya sering memasak dan menyanyi, maka kebiasaan ibunya tadi juga akan terekam oleh memori anak, baik itu dalam short term memory maupun long term memory. Maka jangan heran jika kita sering menemukan anak – anak yang sudah begitu fasih berbicara kasar. Hal tersebut tidak lain merupakan pengaruh lingkungan yang buruk.
Orang tua sebagai fundamen awal pendidikan anak kadang sering melupakan perannya yang teramat vital. Kerap orang tua terlalu menyerahkan segala urusan pendidikan anaknya kepada pihak sekolah. Padahal jika kita tinjau lebih dalam, sekolah hanya sarana sekunder dalam pembentukan karakter anak. Ya, jika memang orang tua telah melakukan perannya dengan baik pada anak, maka anak tidak bersekolah pun sebenarnya tidak menjadi persoalan.
Hal yang terjadi justru sebaliknya. Sekolah terlalu dijadikan tumpuan, dan orang tua enggan jua mengakui perannya. Pendidikan anak di sekolah akan menjadi kurang berdampak jika di keluarga dan lingkungan anak tidak mendapatkan perlakuan yang baik pula.
Ini terjadi memang karena pendidikan adalah suatu sistem, jadi jika hanya sekolah yang konsen dalam mendidik anak secara baik, tetapi di keluarga dan lingkungan justru anak tidak terperhatikan, maka jangan harap hasil pendidikan di sekolah akan efektif.
Dalam kasus anak – anak yang bandel dan sering berkata kasar, itu tak lain karena lemahnya pengawasan dari ketiga stakeholder pendidikan tadi. Mirisnya, kadang malah mereka sendiri yang menjadi pencontoh anak dalam berkata kasar.
Di lingkungan keluarga misalnya, ketika terjadi ketegangan antara ibu dan ayah, secara tak sadar mereka pun sering melontarkan kata – kata kasar secara terang – terangan di depan anak. Bahkan ada kasus dimana orang tua malah bangga ketika anaknya yang baru belajar bicara mampu menggunakan kata – kata kasar tadi. Sungguh miris.
Perilaku berkata kasar di depan anak tentu harus segara dihilangkan. Apalagi jika diucapkan oleh orang tuanya sendiri. Bukankah anak akan lebih menuruti dan mencontoh tindak tanduk yang dilakukan orang tua atau keluarganya ? Lalu mau jadi apa anak jika yang di dengarnya hanya bualan kata – kata kasar ?
Ibarat pepatah “buah tak jatuh dari pohonnya” ini bisa menjadi bumerang jika orang tua tidak segera merubah perlakuannya. Dalam perspektif pedagogis jelas anak – anak belajar dari melihat, mendengar, merasa, dan mencoba. Orang tua harusnya juga bisa memahami bagaimana cara anak belajar tadi, agar ia berhati – hati dalambertindak di depan anak.
Pun hal ini sepatutnya dapat juga dipahami oleh fundamen lainnya, yaitu sekolah dan lingkungan. Namun memang jika menyangkut pondasi utama pembentukan karakter anak, menjadi tanggung jawab penuh keluarga, khususnya orang tua. Karena memang juga menciptakan suasana lingkungan yang edukatif dalam skala sekolah dan masyarakat amat sulit, maka keluarga lah yang skalanya lebih kecil dan lebih dekat pula dengan anak menjadi langkah paling tepat dan strategis.
Poin penting yang harus dipahami orang tua adalah bijak dalam bertindak. Seyogyanya mereka bisa menahan keluarnya perkataan atau tindakan kasar di depan anak. Percekcokan rumah tangga yang dilihat, didengar, dan dirasakan oleh anak jelas akan berdampak buruk padanya. Selain perkataan kasar yang akan tesimpan dalam memori anak, pun juga beban psikologis juga akan diterima anak. Maka jangan heran banyak kasus anak menjadi urakan, akibat masalah orang tua.
Jangan sampai anak menjadi “brutal” karena kesalahan orang tua. Orang tua yang bijak adalah orang tua yang tahu kapan waktu untuk membicarakan permasalahan rumah tangganya tanpa di ketahui anak. Ya, seharusnya jika memang orang tua sayang dan ingin melihat tumbuh kembang anak yang sehat, baik secara jasmani maupun rohani, jelas prinsip tadi perlu dilakukan.
Sudah saatnya orang tua benar – benar menjalankan peran dan fungsinya sebagai peletak dasar fundamen karakter anak. Karena dengan fundamen yang kuat anak akan lebih mempunyai suatu proteksi diri yang kuat ketika terpapar oleh pengaruh buruk di lingkungan sekolah dan masyarakat. Maka stop berkata dan bertindak kasar di depan anak.
0 Comments