Kisah Al-Qur’an: Fakta atau Fiktif?

Menurut perspektif pragmatisme seperti yang dikatakan oleh Pierce misalnya bahwa tolak ukur kebenaran pragmatis adalah value dalam action.4 min


2
Sumber gambar: TongKronganislam.net

Sebagai kitab suci yang dijadikan pedoman hidup oleh umat Muslim, Al-Qur’an tidak hanya sekadar memuat ayat-ayat dengan muatan aturan-aturan hukum (ayat ahkâm). Sebaliknya, sangat banyak sekali ayat-ayat yang berisikan tentang kisah-kisah.

Oleh sebagian ulama, kisah-kisah yang dinarasikan oleh Al-Qur’an tersebut merupakan salah satu bentuk kemukjizatan yang dimiliki Al-Qur’an karena di antara kisah-kisah tersebut terdapat informasi-informasi gaib –yang peristiwanya belum pernah disaksikan langsung oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya, baik peristiwa yang terjadi di masa silam (gaib al-mâdî), di masa hidup beliau (gaib alhâdîr) seperti rencana makar kelompok Yahudi dan kaum munafik, atau terkait peristiwa yang akan terjadi selanjutnya (gaib al-mustaqbal).

Namun pernahkah terlintas di benak kita pertanyaan apakah kisah-kisah yang diceritakan oleh Al-Qur’an semuanya berdasarkan kisah nyata ataukah sebagiannya terdapat kisah fiktif seperti mitos dan dongeng-dongeng yang telah popular di kalangan masyarakat Arab kala itu?

Nah ternyata beberapa sarjana muslim memang pernah mengemukakan argumentasi yang ingin menunjukkan bahwa sebagian kisah dalam Al-Qur’an diragukan bersumber dari fakta sejarah.

Baca juga: Koran by Heart (2011) dan Potret Pembacaan atas Al-Qur’an

Salah satu tokoh yang mengajukan keraguannya tentang kebenaran kisah Al-Qur’an sesuai dengan fakta sejarah adalah Thaha Husein. Dalam bukunya yang berjudul Fî asy-Syi’r al-Jâhili, sastrawan kondang dari Mesir ini mengatakan bahwa kisah yang terdapat dalam Taurat dan Al-Qur’an seperti kisah Nabi Ibrahim dan Islamil tidak cukup dijadikan sebagai bukti bahwa kedua nama tersebut memang benar-benar ada dalam sejarah yang sebenarnya. Singkatnya, dalam pandangan Thaha, ketika sebuah kisah dinarasikan oleh Al-Qur’an tidak otomatis kisah itu bisa diklaim sebagai bukti sejarah: bahwa kisah tersebut benar-benar pernah terjadi.

Sarjana lain yang sejalan dengan Thaha adalah Muhammad Khalafallah. Ia berpendapat bahwa kisah-kisah yang ada dalam Al-Qur’an tidak mesti merupakan kisah nyata.

Menurutnya , sebagaimana ia tulis dalam bukunya Al-Fann al-Qasasi, intisari sebuah kisah adalah seni bercerita yang lebih menitikberatkan keindahan gaya, keterpautan ide dengan tujuan cerita. Hal tersebut berlaku pada kisah nyata maupun fiksi. Oleh karena itu, menurutnya tidak mengapa jika kita berpendapat bahwa kisah-kisah Al-Qur’an merupakan dongeng belaka, apalagi faktanya banyak di antara kisah-kisah tersebut yang tidak ada bukti sejarahnya.

Pandangan-pandangan seperti di atas tentu saja menuai reaksi dan kritikan dari banyak pihak. Jika merujuk pada Tafsir Tematik yang disusun oleh Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an: Kisah Para Nabi Pra ibrahim dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains, disebutkan setidaknya ada dua hal yang menjadi persoalan dari pandangan Thaha maupun Khalafullah, terutama yang berkaitan dengan keyakinan umat Islam.

Pertama, pandangan tersebut secara tidak langsung akan menggiring pada pembenaran tuduhan oleh sebagian kalangan bahwa Al-Qur’an tidak lain hanyalah karya atau karangan Nabi Muhammad. Kedua, pernyataan seperti yang diungkapkan kedua tokoh di atas merupakan bentuk pernyataan bahwa informasi yang disampaikan dalam Al-Qur’an melalui kisah-kisah tersebut merupakan suatu kebohongan. Karena setiap informasi yang tidak sesuai dengan fakta merupakan berita bohong.

Jika dicermati secara seksama, tentu dua bantahan yang dinyatakan dalam Tafsir Kemenag tersebut masih bersifat apologetika. Makanya, untuk menguatkan bantahan tersebut, dalam tafsir tersebut juga disuguhkan beberapa bukti empiris seperti temuan-temuan arkeologis sebagai penegas bahwa pandangan-pandangan yang meragukan kebenaran kisah yang disampaikan Al-Qur’an tidaklah relevan.

Lantas bagaimana kita menyikapi wacana tentang hal ini secara bijaksana?

Melihat konteks diskursus wacana khususnya dalam ruang diskusi ilmiah tentu saja hal tersebut sesuatu yang lumrah. Bahkan di saat yang sama, hal tersebut bisa dijadikan sebagai penguat keyakinan bahwa kisah-kisah yang disampaikan Al-Qur’an merupakan bentuk kemukjizatan Al-Qur’an terutama untuk menguatkan bukti kerasulan Nabi Muhammad yang meskipun tidak pernah mendengar maupun membaca tentang kisah tersebut sebelumnya namun bisa mengetahui tabir kisah melalui wahyu yang disampaikan kepadanya.

Namun lebih dari itu, kisah dari kata qissah atau qasas yang bearti penelusuran jejak (tatabbu’ul-asar) untuk mengetahui arah perjalanan merupakan bentuk isyarat bahwa kita seharusnya bisa selalu mengambil pelajaran dari kisah yang dinarasikan khususnya oleh Al-Qur’an.

Jika kita kembali ke persoalan dasar tentang fungsi Al-Qur’an sebagai pedoman hidup, bukankah salah satu pertanyaan yang harus kita renungkan adalah pesan apa yang kiranya yang ada di balik kisah yang disampaikan oleh Al-Qur’an? Apalagi jika mengingat fakta bahwa sekitar seperempat dari isi Al-Qur’an justru berbentuk kisah.

Baca juga: Al-Qur’an Kitab Hidayah: Mengenal Pemikiran Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manar

Al-Qur’an sendiri mengenalkan kisah-kisah yang dinarasikannya tersebut sebagai kisah yang terbaik (ahsanal-qasas), kisah-kisah tersebut bukanlah kisah biasa:

Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al-Qur’an ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan)nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui. (QS. Yusuf/12: 3)

Artinya, terlepas dari wacana apakah kisah-kisah Al-Qur’an merupakan fakta sejarah atau cerita fiktif, agaknya akan lebih pas, terutama jika kita memosisikan Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk atau pedoman hidup, kita mengukur kebenaran kisah-kisah Al-Qur’an menggunakan standar kebenaran dalam kacamata teori pragmatisme.

Menurut perspektif pragmatisme seperti yang dikatakan oleh Pierce misalnya bahwa tolak ukur kebenaran pragmatis adalah value dalam action (Muhadjir, 2015), yakni suatu pernyataan dianggap benar jika memiliki nilai dalam kegunaaanya sehari-hari. Begitu juga misalnya ditegaskan oleh Wiliam James bahwa kebenaran itu adalah fungsional, seberapa berfungsinya suatu kebenaran tersebut bagi kehidupan praktis (1907: 28).

Hal lain yang bisa kita jadikan sebagai penguat perspektif pragmatisme dalam melihat kisah-kisah Al-Qur’an adalah fakta bahwa kisah-kisah tersebut hampir tidak ada yang diceritakan secara detail dan kronologis. Dengan kata lain, hal ini menegaskan bahwa kehadiran Al-Qur’an memang bukan dimaksudkan untuk menjadi kitab sejarah, tetapi, harus ditegaskan lagi: sebagai kitab petunjuk.

Oleh karena itu, ketika kita benar-benar menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup khususnya kisah-kisah yang dinarasikannya, maka patokan kebenaran sebuah kisah yang ada adalah seberapa kemanfaatan dan pengaruh kisah tersebut dalam kehidupan kita masing-masing baik sebagai individu maupun dalam bermasyarakat.

Tentu saja yang terakhir, untuk bisa mengambil nilai-nilai kisah yang diceritakan Al-Qur’an perlu disertai usaha dalam men-tadabburi ayat-ayat kisah tersebut, mulai dari membaca, mempelajari maknanya melalui penafsiran-penafsiran para ulama dan kemudian mengimplementasikannya serta merefleksikannya kehidupan kita.

wallahualam bissawab.

Editor: Ahmad Mufarrih
_ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]

Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂

Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!

Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

2
Dr. Khairunnas Jamal, M.Ag
Dosen Prodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Sultan Syarif Kasim Riau

One Comment

Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

  1. Tulisan jenengan mengingatkan saya pada saat-saat sedang mempelajari mata kuliah studi ilmu Al-Qur’an pada semester empat dulu. Kala itu, topik kisah-kisah dalam Al-Qur’an memnjadi salah satu persoalan hangat yang banyak diperdebatkan berdampingan dengan topik-topik israiliyyat. Tulisan bergizi.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals